• Indonesia
  • AJI, IJTI, dan PFI Menolak Program Rumah Bersubsidi Bagi Jurnalis, Semua Warga Negara Berhak Mendapatkan Rumah

AJI, IJTI, dan PFI Menolak Program Rumah Bersubsidi Bagi Jurnalis, Semua Warga Negara Berhak Mendapatkan Rumah

AJI, IJTI, dan PFI: persyaratan kredit rumah harus berlaku untuk semua warga negara tanpa memandang profesi. Tanpa diskriminasi.

Mahasiswa perwakilan Persma melakukan aksi unjuk rasa terkait 19 pasal bermasalah yang mengancam kebebasan pers dalam draf RKUHP di Bandung, Jawa Barat, Sabtu (20/8/2022). Aksi ini diinisiasi oleh AJI guna mendesak pemerintah untuk mencabut 19 pasal bermasalah dari draf RKUHP versi 4 Juli 2022. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

Penulis Iman Herdiana16 April 2025


BandungBergerak.idRencana pemerintah menyalurkan 1.000 unit rumah subsidi bagi jurnalis menuai penolakan dari tiga organisasi profesi pers: Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI), dan Pewarta Foto Indonesia (PFI). Ketiganya menyatakan, pemberian jalur khusus kepada jurnalis dalam program subsidi rumah tidak hanya mencederai prinsip kesetaraan, tetapi juga berisiko merusak independensi profesi jurnalis di mata publik.

Program yang dijadwalkan mulai berjalan pada 6 Mei 2025 ini merupakan hasil kerja sama antara Kementerian Perumahan dan Kawasan Permukiman, Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi), Badan Pusat Statistik (BPS), Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera), dan Bank Tabungan Negara (BTN). Skema yang digunakan adalah FLPP (Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan), yang secara prinsip terbuka bagi seluruh warga negara yang memenuhi kriteria.

Adapun syarat utama program FLPP ini antara lain adalah belum memiliki rumah, serta penghasilan maksimal Rp7 juta bagi lajang atau Rp8 juta untuk yang sudah berkeluarga. Dengan bunga tetap 5% dan uang muka hanya 1% dari harga rumah, program ini dinilai sangat menguntungkan. Namun, pemberian akses khusus kepada jurnalis menimbulkan pertanyaan soal keadilan.

“Subsidi rumah mestinya bukan berdasarkan profesi tapi untuk warga yang membutuhkan dengan kategori penghasilan, apapun profesinya,” ujar Reno Esnir, Ketua Umum Pewarta Foto Indonesia (PFI).

Ketua Umum AJI, Nany Afrida, juga menolak program tersebut. Ia menilai, keterlibatan Komdigi dalam penyediaan rumah untuk jurnalis bisa menciptakan persepsi negatif di tengah masyarakat.

“Jika jurnalis mendapatkan rumah dari Komdigi, tidak bisa dielakkan kesan publik bahwa jurnalis sudah tidak kritis lagi. Maka sebaiknya program ini dihentikan saja, biarlah teman-teman mendapatkan kredit lewat jalur normal seperti lewat Tapera atau bank,” tegas Nany.

Hal senada disampaikan Ketua Umum IJTI, Herik Kurniawan. Ia menekankan bahwa kebutuhan akan rumah tidak hanya dirasakan oleh jurnalis, melainkan seluruh warga negara dari berbagai latar belakang profesi.

“Pemerintah mesti fokus bagaimana persyaratan kredit rumah terjangkau semua lapisan masyarakat,” ujarnya. “IJTI mengucapkan terima kasih kepada pemerintah atas perhatian kepada jurnalis, tapi berharap pemerintah bisa membantu pers dengan berbagai regulasi yang bisa membangun ekosistem media dengan baik.”

Herik juga menyarankan agar Dewan Pers tidak dilibatkan dalam program ini, mengingat mandat lembaga tersebut tidak berkaitan dengan urusan perumahan.

“Tidak perlu ada campur tangan Dewan Pers. Karena bukan mandat Dewan Pers untuk mengurusi perumahan,” tambahnya.

Menurut ketiga organisasi ini, jurnalis memang layak mendapatkan tempat tinggal yang layak, namun harus melalui jalur normal yang sama dengan warga negara lainnya. Pemerintah sebaiknya fokus pada pengadaan rumah terjangkau yang bisa diakses oleh semua kalangan masyarakat tanpa diskriminasi profesi.

Dalam pandangan Nany Afrida, bila pemerintah serius ingin meningkatkan kesejahteraan jurnalis, maka langkah yang seharusnya diambil adalah memastikan pelaksanaan Undang-Undang Ketenagakerjaan di sektor media.

“Termasuk memastikan upah minimum jurnalis, memperbaiki ekosistem media dan menghormati kerja-kerja jurnalis,” ujarnya. Ia menambahkan, jika jurnalis mendapat upah yang layak, maka mereka akan mampu mengakses kredit rumah tanpa perlu keistimewaan.

Baca Juga: Komite Keselamatan Jurnalis Mendesak Polisi Mengusut Teror Bom pada Jurnalis Papua
Indeks Kemerdekaan Pers 2022 Naik, tetapi Dihantui Masalah Kekerasan dan Kesejahteraan Jurnalis

Selain persoalan perumahan, PFI juga menyoroti perlindungan terhadap jurnalis yang masih lemah. Reno Esnir menegaskan bahwa jurnalis, termasuk fotografer, membutuhkan jaminan kebebasan dan keamanan saat menjalankan tugas jurnalistik di lapangan.

“Jurnalis termasuk fotografer, membutuhkan jaminan kebebasan dan keamanan ketika melakukan liputan,” kata Reno. Ia menambahkan bahwa perhatian pemerintah seharusnya diarahkan pada perlindungan jurnalis, bukan pada pemberian fasilitas yang bisa merusak independensi profesi.

Fakta di lapangan mendukung kekhawatiran ini. Berdasarkan data Aliansi Jurnalis Independen (AJI), sepanjang 1 Januari hingga 31 Desember 2024, tercatat 73 kasus kekerasan terhadap jurnalis dan media. Rinciannya meliputi satu kasus pembunuhan, 19 kasus kekerasan fisik, 17 kasus teror dan intimidasi, delapan pelarangan liputan, delapan ancaman, enam serangan digital, tiga pemanggilan klarifikasi oleh polisi, tiga kekerasan berbasis gender, dua gugatan hukum perdata terhadap media, lima kasus perusakan alat/penghapusan data, dan satu kasus swasensor di ruang redaksi.

Dari segi pelaku, polisi menempati posisi tertinggi dengan 19 kasus, diikuti TNI dan warga termasuk ormas masing-masing 11 kasus, perusahaan lima kasus, aparat pemerintah empat kasus, pekerja profesional empat kasus, pejabat legislatif dua kasus, pejabat pengadilan satu kasus, rektorat kampus satu kasus, serta pelaku tidak dikenal sepuluh kasus.

Dengan kondisi tersebut, AJI, IJTI, dan PFI sepakat bahwa prioritas utama pemerintah seharusnya adalah memperbaiki perlindungan hukum dan ekosistem kerja jurnalis di Indonesia, bukan memberi keistimewaan yang justru bisa melemahkan posisi mereka sebagai pilar keempat demokrasi.

*Kawan-kawan bisa membaca artikel-artikel lain dari tentang Kebebasan Pers dalam tautan berikut ini

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//