Indeks Kemerdekaan Pers 2022 Naik, tetapi Dihantui Masalah Kekerasan dan Kesejahteraan Jurnalis
Indeks Kemerdekaan Pers nasional sebesar 77,88, naik 1,86 poin dari IKP 2021. Hasil survei masih menemukan adanya kekerasan terhadap jurnalis.
Penulis Iman Herdiana25 Agustus 2022
BandungBergerak.id - Indeks Kemerdekaan Pers (IKP) 2022 mengalami kenaikan daripada tahun 2021. Meski demikian, kenaikan IKP hasil survei Dewan Pers ini masih diwarnai dengan adanya kasus kekerasan dan kesejahteraan yang merundung kebebasan pers.
Survei IKP 2022 menghasilkan nilai IKP Nasional sebesar 77,88, naik 1,86 poin dari IKP 2021. Menurut Dewan Pers, hasil ini menggambarkan bahwa secara nasional kemerdekaan pers berada dalam kondisi “Cukup Bebas” sepanjang tahun 2021. Hasil ini sekaligus mempertahankan tren kenaikan yang telah berlangsung selama lima tahun berturut-turut, yaitu periode 2018-2022.
Melalui IKP 2022, Dewan Pers menyajikan gambaran situasi kemerdekaan pers di tingkat nasional dengan berpijak dari situasi kemerdekaan pers di 34 Provinsi dalam rentang waktu Januari sampai dengan Desember 2021.
“Kami berharap, IKP 2022 ini dapat dijadikan titik pijak untuk membangun berbagai langkah ke depan dalam upaya mengembangkan kemerdekaan pers di Indonesia,” kata Ketua Dewan Pers, Azyumardi Azra, dikutip dari kata pengantar dokumen hasil survei IKP 2022, Kamis (25/8/2022).
Perlu diketahui, Dewan Pers melakukan survei Indeks Kemerdekaan Pers (IKP) tahun 2022 di 34 provinsi yang meliputi tiga lingkungan dengan 20 indikator, serta melibatkan 340 Informan Ahli sebagai responden dan 10 anggota Dewan Penyelia Nasional (National Assessment Council, NAC). Tiga lingkungan tersebut meliputi Lingkungan Fisik dan Politik, Lingkungan Ekonomi, Lingkungan Hukum.
Survei dengan metode kuantitatif dan kualitatif ini memberikan penilaian pada masing-masing indikator dalam skala 1-100. Kategorinya angka 1-30 Sangat Buruk (Tidak Bebas), 31-55 Buruk (Kurang Bebas), 56-69 Sedang (Agak Bebas), 70-89 Baik (Cukup Bebas), dan skor 90-100 Sangat Baik (Bebas).
Persoalan Kemerdekaan Pers di Papua Barat
Nilai Indeks Kemerdekaan Pers IKP 2022 di 34 provinsi menunjukkan rentang nilai IKP yang lebar, yaitu antara 69,23–83,78 dengan rata-rata dari 34 provinsi (IKP Provinsi) adalah 78,71. Jawa Barat memiliki nilai IKP 81,53, nilai ini turun 1,13 dibandingkan IKP 2021.
Provinsi Kalimantan Timur mendapatkan nilai IKP Provinsi sebesar 83,78 yang menempatkannya pada peringkat pertama dari 34 provinsi yang dinilai secara nasional. Sementara Provinsi Papua Barat memperoleh nilai 69,23 pada survei IKP 2022, yang menempatkannya pada peringkat terendah dari 34 provinsi.
Provinsi Kalimantan Timur secara konsisten menempati posisi tiga besar pada hasil survei IKP 2020–2021, sebelum naik ke peringkat teratas pada hasil survei IKP 2022. Meskipun menjadi peringkat tertinggi, kondisi kemerdekaan pers di Kalimantan Timur masih menunjukkan perlu adanya pembenahan pada Lingkungan ekonomi, terutama tata kelola perusahaan pers.
Perusahaan pers di Kalimantan Timur perlu didorong agar dapat meningkatkan kesejahteraan wartawan dan memastikan wartawan mendapatkan paling sedikit 13 kali gaji setara Upah Minimum Provinsi (UMP) dalam satu tahun dan jaminan sosial lainnya sebagaimana diatur oleh Dewan Pers.
Persoalan lain lagi ditemukan pada Indeks Kemerdekaan Pers di Provinsi Papua Barat. Selama tiga tahun terakhir, Provinsi Papua Barat secara konsisten menempati posisi tiga besar terendah, yaitu peringkat 33 pada IKP 2020, peringkat 32 pada IKP 2021, dan turun ke peringkat 34 pada IKP 2022.
Salah satu indikatornya yang membuat IKP Papua Barat turun adalah terkait Kebebasan Media Alternatif (6,82 poin). Berdasarkan FGD di Provinsi Papua Barat, mayoritas informan ahli survei IKP Dewan Pers sepakat tidak ada larangan kepada siapa pun untuk mendirikan media alternatif, namun belum ada dorongan dari pemerintah daerah.
Pada Lingkungan Hukum, penurunan yang besar terjadi pada indikator Independensi dan Kepastian Hukum Lembaga Peradilan (turun -3.33 poin) dan Kebebasan Mempraktikkan Jurnalisme (turun -4,37). Berdasarkan hasil wawancara, akademisi dari Universitas Papua, Yusuf W. Sawaki mengatakan bahwa hingga saat ini belum ada peraturan daerah yang khusus menghormati dan melindungi kemerdekaan pers di Provinsi Papua Barat.
Problematika Utama Kemerdekaan Pers
Selama tahun 2021, terdapat tiga provinsi yang mendapat nilai di bawah 70,00 (Agak Bebas) pada indikator Kebebasan dari Kekerasan, yaitu Sumatera Utara, Maluku Utara, dan Jawa Timur. Sedangkan Provinsi Papua Barat mendapat nilai 70,70 dengan kategori “Cukup Bebas”.
Sepanjang tahun 2021, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers mencatat adanya kekerasan pers yang tersebar di 19 provinsi dengan jumlah 55 kasus. Jumlah kasus ini menurun dibandingkan yang terjadi selama tahun 2020, yaitu 117 kasus. Sedangkan AJI Indonesia mencatat 43 kasus kekerasan di tahun 2021, jumlah kasus ini menurun dibandingkan tahun 2020.
Pada FGD NAC, para nara sumber menyatakan bahwa kekerasan pada wartawan masih terjadi selama tahun 2021. Menurut informan ahli dari Papua Barat, Petrus Rabu yang merupakan Kepala Dinas Komunikasi Informatika Persandian dan Statistika Provinsi Papua Barat, “Kekerasan dan intimidasi masih ada.”
Informan ahli dari Maluku Utara juga menyatakan adanya intimidasi dan kekerasan non fisik pada wartawan oleh oknum aparat negara karena isi pemberitaan. "Ini sering terjadi di lapangan, ketika wartawan meliput, biasanya ada intimidasi seperti mengancam," kata Ketua IJTI Maluku Utara, Mufrid Tawary.
"Tidak ada perlindungan dari aparat penegak hukum kepada wartawan," tambah Ketua AJI Kota Ternate, Ikram Salim.
Peristiwa kekerasan terhadap jurnalis juga terjadi di Jawa Timur pada tahun 2021. Nurhadi, jurnalis Majalah Tempo, mengalami kekerasan saat menjalankan tugas jurnalistiknya hari Sabtu, 27 Maret 2021 di Surabaya.
Pemimpin Redaksi Majalah Tempo, Wahyu Dhyatmika menjelaskan, ketika itu Nurhadi tengah meminta konfirmasi kepada mantan Direktur Pemeriksaan Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan (DJP Kemenkeu), Angin Prayitno Aji. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebelumnya menyatakan bahwa Angin merupakan tersangka dalam kasus suap pajak.
Kekerasan tersebut dipandang sebagai catatan negatif dalam penilaian kemerdekaan pers. Namun survei Dewan Pers juga menekankan pentingnya bagi jurnalis untuk menegakkan kode etik jurnalistik.
Baca Juga: Malam Resepesi AJI, dari Penghargaan Jurnalis Warga hingga Udin Award 2022
Catatan Akhir Tahun AJI: Kebebasan Pers dalam Kabut Kekerasan dan Kriminalisasi
Hari Demokrasi Internasional 2021: Maraknya Parade Kekerasan dan Serangan terhadap Pembela HAM
Gaji Layak dan Kehidupan Sejahtera
Hasil survei IKP tahun 2022 menunjukkan ada 12 provinsi dengan indikator Tata Kelola Perusahaan yang Baik rendah, berada di bawah nilai 70,00. Nilai rendah pada indikator ini terutama disebabkan oleh nilai yang rendahnya gaji jurnalis. Dalam hal ini, Peraturan Dewan Pers Nomor 03/Peraturan DP/X/2019 tentang Standar Perusahaan Pers menyatakan wartawan mendapat paling sedikit 13 kali gaji setara Upah Minimum Provinsi (UMP).
Kondisi Pandemi Covid-19 yang masih berlangsung selama tahun 2021 memunculkan situasi ekonomi yang sulit pada perusahaan pers akibat menurunnya pendapatan iklan sehingga berdampak pada tidak optimalnya pemenuhan kesejahteraan insan pers.
Pemimpin Redaksi Harian Mistar, Rika Suartiningsih yang merupakan informan ahli dari Provinsi Sumatera Utara, berpendapat bahwa perusahaan media yang berkedudukan di daerah belum bisa memenuhi aturan menyediakan jaminan sosial melali Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, BPJS Ketenagakerjaan, dan lainnya karena soal upah saja belum bisa sesuai.
“Kondisi kami ini di daerah lebih parah lagi, bagaimana kita berharap ada independensi dari jurnalis,” ujarnya.
Kondisi di Yogyakarta digambarkan oleh Masduki, Ketua LSM Pemantau Regulasi dan Regulator Media (PRRM) bahwa baru sedikit perusahaan pers yang dapat menjalankan Peraturan Dewan Pers Nomor 03 Tahun 2019, yaitu hanya perusahaan pers yang besar. Tetapi, untuk media online, peraturan Dewan Pers tersebut belum bisa diterapkan.
“Kalau UMR di Yogya itu dua juta lebih, nah gaji wartawan 1,5 juta sudah bagus untuk media lokal. Di radio juga masih kecil, tidak bisa mengikuti peraturan Dewan Pers tersebut,” katanya.
Di Papua Barat pun serupa kondisinya, bahwa pendapatan perusahaan pers makin berkurang drastis sejak pandemi Covid-19, dan berdampak pada upah karyawan.
Pada FGD Provinsi DKI Jakarta, hanya lima dari 10 informan ahli yang sepakat bahwa wartawan di Jakarta mendapat paling sedikit 13 kali gaji setara UMP dalam satu tahun dan jaminan sosial lainnya. Sementara sisanya masih menemukan wartawan yang mendapat gaji di bawah UMP. Bahkan masih ada jurnalis yang menerima upah Rp 1 juta per bulan, jauh di bawah UMR.