• Berita
  • Sabtu Sore #25: Membicarakan Buku Kapitalisme dan Krisis Ekologis, Teringat Kerusakan Alam Papua

Sabtu Sore #25: Membicarakan Buku Kapitalisme dan Krisis Ekologis, Teringat Kerusakan Alam Papua

Buku Kapitalisme dan Krisis Ekologis mengingatkan bahwa kapitalisme mengekspolitasi alam untuk meraih keuntungan sebesar-besarnya, tanpa memulihkannya.

Diskusi buku Kapitalisme dan Krisis Ekologis karya John Bellamy Foster dan Brett Clark di acara Sabtu Sore Perpustakaan Bunga di Tembok, Bandung, Sabtu, 14 Juni 2025. (Foto: Fitri Amanda/BandungBergerak)

Penulis Salma Nur Fauziyah18 Juni 2025


BandungBergerak.idIzin tambang nikel di Kepulauan Raja Ampat, destinasi wisata unggulan Indonesia, baru-baru ini menyedot perhatian publik. Meski pemerintah telah mencabut izin empat perusahaan tambang nikel di kawasan tersebut, tetapi masih ada perusahaan tambang yang tetapi beroperasi. Kerusakan lingkungan akibat tambang masih mengancam surga tropis.

Sisca, perwakilan dari organisasi lingkungan Sa Pu Alam, mengatakan kondisi Papua, khususnya Raja Ampat, merupakan bagian dari pengrusakan alam yang terjadi secara global, seperti dipaparkan dalam buku “Kapitalisme dan Krisis Ekologis” karya John Bellamy Foster dan Brett Clark. Buku ini didiskusikan dalam acara Sabtu Sore #25: Diskusi Buku dan Perampokan Alam, di Perpustakaan Bunga di Tembok, Bandung, Sabtu, 14 Juni 2025.

Sisca, salah satu pengulas buku, menjelaskan bagaimana kapitalisme berdampak pada krisis lingkungan global. Baginya, hal itu selaras dengan kenyataan yang dialami masyarakat Papua selama ini.

Menurutnya, eksploitasi sumber daya alam di Papua bukanlah hal baru. Praktik itu sudah berlangsung sejak era kolonial Belanda, dan berlanjut dengan masuknya perusahaan-perusahaan besar seperti Freeport.

“Masyarakat Papua baik itu perempuan dan laki-laki itu saling bergantung hidupnya itu dengan alam,” ujar Sisca.

Bagi masyarakat Papua, alam bukan sekadar tempat tinggal, tetapi juga sumber kehidupan. Alam menjadi simbol keberlangsungan hidup, tempat di mana semua kebutuhan dasar terpenuhi. Karena itu, mereka memandang alam sebagai sosok ibu—sumber penghidupan yang tak tergantikan.

“Jika tidak tandah dan hutan tidak ada, maka perempuan pun tidak ada,” ujar Sisca, menggambarkan keterikatan mendalam antara perempuan Papua dan alam.

Eksploitasi di berbagai titik di Papua kini makin masif. Wilayah-wilayah yang dahulu menjadi tempat masyarakat mencari makan, kini berubah fungsi. Pos-pos penjagaan militer berdiri di banyak lokasi, dan masyarakat adat semakin terpinggirkan. 

Kapitalisme 

Kekuatan pemodal (kapitalisme) mempercepat kerusakan alam di lingkup lokal maupun global. “Kapitalismelah menjadi dasar persoalan yang kemudian menghasilkan apa yang kita hadapi hari ini,” ujar Sutami Amin, Staf Penelitian dan Pengelolaan Pengetahuan Pusaka Bentala Rakyat.

Sutami menghubungkan bagaimana kapitalisme beroperasi di Papua. Ia menyoroti progam Proyek Strategis Nasional (PSN) pembukaan lahan perkebunan di Papua. Lanskap hutan lebat seketika gundul. Kehidupan masyarakat adat terancam.

Menurut Sutami, pemerintah menganggap hutan-hutan di Papua sebagai tanah kosong. Anggapan ini menjadi dasar untuk merampas alam.

“Argumen-argumen seperti itulah yang kemudian yang selalu dibilang sama negara hari ini untuk mengambil tanah dan yang paling penting adalah merampas alam dan selanjutnya menciptakan akumulasi kekayaan di sana,” ujar Sutami, yang juga pengulas buku karya Foster dan Clark.

Baca Juga: Kapitalisme Budaya (Bukan) Soal Sesajen Saja
Jejak Tradisi Kapitalisme Ortodoks

Membaca Perampokan Alam Lewat Buku Foster dan Clark

Buku Kapitalisme dan Krisis Ekologis karya John Bellamy Foster dan Brett Clark mengajak pembaca melihat hubungan antara manusia dan alam dari sudut pandang Marxis. Selama ini, ajaran Marx sering dipahami hanya soal konflik antara pemilik modal dan buruh di tempat kerja. Padahal, ada hal lain yang tak kalah penting—hubungan antara manusia dan lingkungan.

Foster mengangkat kembali gagasan Marx soal metabolisme. Gagasan ini menjelaskan bagaimana manusia berbeda dari makhluk hidup lain karena memiliki hubungan timbal balik dengan alam. Tapi dalam sistem kapitalisme, hubungan ini jadi tidak seimbang. Alam dieksploitasi terus-menerus tanpa dipulihkan. Inilah yang disebut Foster dan Clark sebagai perampokan alam.

Rangga Kala Mahaswa, dosen filsafat di Universitas Gadjah Mada, mencatat Marx memang menulis banyak soal revolusi agraria di Inggris. Tapi dari situ juga terlihat bahwa perampokan alam sudah terjadi sejak lama—bahkan sebelum kapitalisme industri berkembang.

“Marx menyoroti bahwa perampokan alam ini sebetulnya sudah terjadi. Tidak hanya ketika kapitalisme dan industrial itu bekerja, tapi juga bahkan sebelumnya,” kata Rangga, narasumber lainnya di diskusi buku ini.

Karena itu, saat membahas kapitalisme, penting juga melihat bagaimana ia merusak hubungan antara manusia dan alam. Metabolisme antara keduanya jadi timpang. Kapitalisme mengambil dari alam tanpa memberi ruang untuk pemulihan. 

Inilah yang membuat ekologi marxisme penting dibaca hari ini. Sebab lewat kacamata inilah kita bisa melihat lebih jernih berbagai kerusakan lingkungan, termasuk yang terjadi di Papua.

***

*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//