Diskusi tentang Kelompok Minoritas Rentan di UPI: Menjaga Harmoni, Mendorong Jurnalisme Inklusif
Keberagaman bukan sekadar toleransi. Semua kelompok, tak terkecuali minoritas rentan, mendapatkan ruang dan fasilitas yang sama.
Penulis Leo Saputra19 Juni 2025
BandungBergerak.id – Sejumlah jurnalis, Persma, pegiat hak asasi manusia, dan budayawan berkumpul di Auditorium PKM Gegeut Winda, Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Bandung, Rabu, 18 Juni 2025. Diskusi ini menyoroti bagaimana media bisa (atau gagal) memberikan ruang bagi kelompok minoritas rentan, dalam diskusi publik bertajuk "Menjaga Eksistensi, Merawat Harmoni: Belajar dari Reportase tentang Kelompok Rentan".
Hadir sebagai narasumber Jennifer Norine dari Isola Pos yang menulis liputan tentang komunitas Syiah dan Sunda Wiwitan di kawasan Gegerkalong, Puput Siti Aisyah dari Pikiran Rakyat dengan liputan soal aksesibilitas ibadah bagi penyandang disabilitas, Syafira Khairani dari International NGO Forum on Indonesian Development (INFID), serta budayawan Hawe Setiawan. Diskusi dimoderatori oleh jurnalis Awla Rajul dari BandungBergerak.id.
Diskusi ini bertitik tolak dari hasil rangkaian pelatihan dan reportase yang diinisiasi INFID bersama Bandung Bergerak selama tiga bulan terakhir. Reportase tersebut menggambarkan tantangan dan potensi dalam peliputan isu keberagaman: pertama, stigma dan disinformasi terhadap kelompok Syiah yang kerap dituduh menyimpang; dan kedua, kurangnya aksesibilitas fasilitas ibadah bagi penyandang disabilitas di ruang-ruang publik.
Hawe Setiawan menilai kedua liputan ini mampu membuka percakapan baru dalam isu toleransi. Ia juga menggarisbawahi pentingnya narasi yang tidak sekadar melaporkan kelompok rentan sebagai objek, melainkan memahami perubahan sosial yang melatarbelakangi keberadaan mereka, seperti di Gegerkalong yang menurutnya sudah menjadi kota dengan keragaman sosial.
Syafira Khairani dari INFID menambahkan, berdasarkan hasil survei lembaganya, ada tren penurunan indeks toleransi dan inklusivitas, terutama dalam hal kebebasan beragama dan berkeyakinan. INFID juga mencatat bahwa pemahaman ideologis yang rendah turut mempengaruhi praktik diskriminasi di masyarakat.
"Dari tahun ketahun indeks toleransi mulai menurun dari 3,7 jadi 3,5, jadi 3,2. Tren kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia makin menurun dan banyak tantangannya," ujar Syafira.
Baca Juga: KABAR DARI REDAKSI: Membuka Ruang Keberagaman Bersama Pers Mahasiswa dan Jurnalis Muda
Membangun Kerukunan Antarumat Bergama dengan Memaknai Keberagaman

Akses Ibadah yang Tidak Setara dan Ruang Publik yang Eksklusif
Isu aksesibilitas rumah ibadah menjadi pembahasan penting dalam diskusi ini. Puput Siti Aisyah, dalam liputannya, menyoroti ketimpangan fasilitas ibadah di ruang publik Kota Bandung, seperti di fasilitas ibadah Masjid Alun Alun Bandung. Masjid yang menjadi ikon kota ini justru belum ramah difabel. Temuan di lapangan menunjukkan tidak adanya jalur kursi roda dan ketiadaan petugas atau penerjemah bahasa isyarat saat khotbah.
“Tidak ada fasilitas yang memadai di sana. Padahal Masjid Alun Alun adalah ikon kota Bandung,” ujar Puput.
Sebagai perbandingan, Gereja Katedral Bandung disebut telah memiliki akses ramah disabilitas, meski terbatas karena status bangunan cagar budaya. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun ada keterbatasan struktural akibat perlindungan bangunan bersejarah, upaya untuk menyediakan akses tetap dilakukan.
Syafira Khairani dari INFID menanggapi bahwa aksesibilitas bukan sekadar soal infrastruktur, melainkan juga paradigma. Ia menegaskan bahwa penyandang disabilitas bukan kelompok yang harus dikasihani, tetapi warga negara yang berhak mendapatkan fasilitas setara dalam menjalankan keyakinannya.
“Isu disabilitas bukan lagi sekadar soal kesehatan, tapi bagian dari hak asasi manusia,” ujarnya.
Syafira mengajak peserta untuk mengubah cara pandang terhadap disabilitas, agar tidak sekadar melihatnya sebagai ketidakmampuan atau kekurangan, tetapi sebagai keragaman kemampuan yang sah dalam masyarakat.
"Jika kita menganggap isu kesehatan, kita menganggap jika mereka adalah the others. Padahal bukan itu yang mereka mau," kata Syarifa.
Liputan Puput beririsan dengan reportase Jennifer Norine yang menelusuri jejak komunitas Syiah di Gegerkalong. Dalam proses peliputan, keduanya menghadapi tantangan dalam membangun kepercayaan dengan narasumber, terutama karena isu yang diangkat lekat dengan stigma sosial.
Jennifer menceritakan bahwa ia dan timnya harus berulang kali berkunjung ke lokasi untuk mencairkan kekakuan dan mendapatkan wawancara yang jujur dan terbuka.
"Untuk menambah kepercayaan narasumber itu kita berulang kali berkunjung ke sana. Membangun komunikasi dulu yang lebih baik," ujar Jennifer.
Pendekatan semacam ini memperlihatkan pentingnya jurnalisme yang tidak sekadar datang untuk mendapatkan kutipan, tetapi hadir secara utuh untuk mendengar dan memahami. Kedua liputan tersebut bukan hanya membongkar stigma, tetapi juga menunjukkan bahwa kelompok yang kerap dimarjinalkan memiliki cara tersendiri untuk merawat eksistensinya di tengah tekanan sosial dan struktural.
Dalam hal ini, Hawe Setiawan memberikan catatan penting. Menurutnya, pemilihan diksi dan sudut pandang dalam peliputan menjadi krusial agar tidak melanggengkan stereotip atau kekuasaan bahasa. Ia mencontohkan bagaimana media sering kali tidak menyadari kekuatan mereka dalam menciptakan diksi baru yang lebih adil dan representatif bagi kelompok marjinal.
“Media jangan sekadar mengulang bahasa otoritas. Tugas media adalah menggali makna dan menghadirkan suara-suara yang kerap disingkirkan,” ujarnya.
Ia juga menambahkan bahwa media memiliki kuasa untuk menyumbangkan istilah baru yang lebih tepat, namun sering kali justru terjebak dalam narasi formal yang tidak mencerminkan kenyataan sosial.
***
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB