• Berita
  • Diskusi di Kedai Jante: Kontrasepsi untuk Perempuan dan Laki-laki Dalam Selimut Stigma, Mitos, dan Akses yang Terbatas

Diskusi di Kedai Jante: Kontrasepsi untuk Perempuan dan Laki-laki Dalam Selimut Stigma, Mitos, dan Akses yang Terbatas

Kontrasepsi lebih banyak dibebankan pada perempuan. Kontrasepsi untuk laki-laki seperti kondom dan vasektomi masih dianggap asing, penuh mitos dan stigma.

Diskusi terbuka tentang kontrasepsi aman, Sabtu 14 juni 2025, di kedai Jante, Bandung. (Foto: Selsha Seftifanie/BandungBergerak)

Penulis Selsha Septifanie Gunawan19 Juni 2025


BandungBergerak.idJawa Barat sempat digemparkan dengan wacana vasektomi sebagai syarat penerima bantuan sosial. Banyak pihak menilai wacana kebijakan ini diskriminatif; pemerintah dianggap melakukan intervensi pada otonomi tubuh setiap individu. Vasektomi yang merupakan salah satu jenis kontrasepsi, tidak lagi digunakan sebagai pilihan berdasarkan kesadaran, justru diposisikan sebagai paksaan.

Vasektomi sendiri masih terdengar asing bagi sebagian masyarakat. Padahal ia bagian dari alat kontraspesi atau KB (Keluarga Berencana). Namun isu kontrasepsi kadang-kadang diliputi tabu atau bahkan mitos dan stigma. Tak jarang orang merasa ragu, malu, bahkan takut untuk bersikap terbuka soal kontrasepsi, khususnya vasektomi.

Fenomena tersebut menyebabkan minimnya pengetahuan dan informasi mengenai sisi penting alat kontrasepsi. Minimnya pengetahuan menyebabkan terbukanya celah penyebaran mitos-mitos yang menyesatkan.

Founder Kawan Medis Dilla Anindita membeberkan berbagai jenis alat kontrasepsi, mulai dari metode hormonal, seperti pil KB, suntikan, dan implan; metode nonhormonal, seperti kondom dan IUD (alat kontrasepsi dalam rahim); serta metode permanen, seperti vasektomi untuk laki-laki dan tubektomi untuk perempuan.

Secara medis, masing-masing metode kontrasepsi tersebut aman bagi tubuh. Namun jenis-jenis KB tersebut merupakan pilihan bagi setiap individu. Mereka berhak memutuskan memilih kontrasepsi ataupun tidak.

“Kontrasepsi aman itu sebenarnya sangat personal. Kita harus lihat dari efek samping dan bagaimana dampaknya ke tubuh masing-masing orang, karena tiap tubuh itu punya respons yang berbeda,” tutur Dilla, di diskusi terbuka tentang kontrasepsi aman yang digelar Samahita Foundation, di Kedai Jante, Bandung, Sabtu, 14 Juni 2025.

Diskusi ini dibuka sebagai ruang aman untuk belajar mengenai alat kontrasepsi. Diskusi dipandu oleh Nadiyah Utami, Direktur dari Samahita Foundation, dan dua narasumber utama, Sekretaris Balai KPI Kota Bandung Putri Nabila, serta pendiri komunitas Kawan Medis Dilla Anindita.

Mitos dan Stigma Kontrasepsi

Sampai saat ini sejumlah mitos mengenai kontrasepsi masih bertahan kuat di masyarakat. Salah satunya adalah mitos bahwa vasektomi dianggap mengurangi kejantanan dan fungsi seksual. Padahal secara medis, vasektomi hanya memutus saluran sperma dan tidak mempengaruhi hormon maupun kemampuan seksual.

“Stigma yang mengatakan bahwa laki-laki jadi ‘tidak laki-laki’ lagi setelah vasektomi itu tidak berdasar. Tapi karena kurangnya edukasi, banyak yang takut atau malu mempertimbangkan pilihan ini,” tambah Dilla.

Selain itu, masih banyak anggapan keliru bahwa kontrasepsi hanya digunakan dan diukur efektivitasnya sebagai alat penunda kehamilan. Karena sebenarnya kontrasepsi mempunyai dua tujuan: mencegah kehamilan dan mencegah penyakit menular seksual. Jika hanya salah satu yang terpenuhi, maka kontrasepsi yang digunakan belum bisa sepenuhnya dikatakan sebagai kontrasepsi yang aman.

Lebih lanjut, Elisabeth, salah satu peserta yang juga merupakan seorang bidan muda mengatakan bahwa masih banyak yang beranggapan ketika sudah memakai kontrasepsi permanen seperti implan, IUD, atau steril maka tidak perlu menggunakan kondom. Hal ini jelas keliru, karena hanya alat kontrasepsi kondom yang bisa mencegah penyakit menular seksual sekaligus mencegah kehamilan.

Diketahui, setiap jenis kontrasepsi memiliki kekurangan dan kelebihan. Salah satu kelebihan kondom adalah mampu mencegah kehamilan sekaligus melindungi dari penyakit menular seksual. Kelebihan ini tak dimiliki alat atau metode kontrasepsi lain.

Elisabeth menekankan, pentingnya konseling dalam memutuskan alat kontrasepsi yang pas untuk setiap orang. Maka dari itu, pendekatan ABK (Alat bantu Keputusan) digunakan sebagai metode yang dirancang untuk membantu proses memilih kontrasepsi secara sadar dan berbasis informasi.

“Karena tubuh perempuan berbeda-beda, kontrasepsi tidak bisa disamaratakan. Setiap orang berhak tahu risiko dan memilih yang paling sesuai,” ujar Elisabeth.

Baca Juga: Data Peserta Keluarga Berencana (KB) di Kota Bandung 2010-2019, Jumlah Peserta KB Aktif Cenderung Turun
Pendidikan Seks Terganjal Tabu, Berpengaruh terhadap Kesehatan Reproduksi 

Akses dan Edukasi Kontrasepsi Masih Sangat Terbatas

Akses terhadap alat kontrasepsi, khususnya kontrasepsi darurat (kondar) masih menjadi tantangan. Kontrasepsi darurat merupakan kontrasepsi yang digunakan setelah melakukan hubungan seksual yang berisiko, misalnya tidak menggunakan alat kontrasepsi, kondom bocor, ataupun terjadi kekerasan seksual. Kontrasepsi darurat biasanya berbentuk pil yang diminum setelah melakukan hubungan seksual berisiko.

Sayangnya, pengetahuan akan kontrasepsi darurat masih terbilang minim. Serta prosedur birokrasi yang rumit dan sikap diskriminatif tenaga kesehatan juga memperburuk aksesibilitas kontrasepsi darurat.

“Sebagai dokter saja, saya sering kesulitan membeli kontrasepsi darurat di apotek. Harus bawa resep, STR, dan tetap ditolak. Akses semacam ini seharusnya tidak terjadi,” ungkap Dilla.

Sulitnya akses kontrasepsi terjadi karena masih kuatnya stigma dan dalih norma moral yang mengikat. Banyak apotek yang menolak menjual dan menghakimi pembeli kontrasepsi darurat dengan pertimbangan moral atau stigma, bukan karena pertimbangan medis.

Hal itu seharusnya tidak terjadi, karena kontrasepsi darurat dirancang sebagai bentuk pencegahan dini. Ketika akses terhadap kontrasepsi darurat dibatasi, itu berarti turut membatasi hak dasar setiap manusia. Sebab pada akhirnya, keputusan setiap individu untuk mendapatkan dan menentukan jenis kontrasepsi secara sadar adalah bagian dari hak atas kesehatan reproduksinya. Hak ini seharusnya dapat dijalankan tanpa rasa takut, tanpa stigma, dan tanpa intervensi yang menghakimi. Kontrasepsi bukan sekadar soal alat, tetapi tentang kendali atas tubuh dan pilihan hidup seseorang.

Edukasi juga menjadi masalah utama dalam isu kontrasepsi. Meskipun berbagai bentuk program edukasi banyak dijalankan, beberapa lembaga atau institusi justru membatasi ruang edukasi dengan standar moral yang sempit dan penuh stigma. Hal ini membuat proses edukasi menjadi kontradiktif. Berniat memberi pemahaman, namun terkungkung oleh nilai-nilai yang membatasi.

Putri, aktivis yang bergerak di bidang edukasi tentang kontrasepsi, membagikan pengalamannya saat terlibat dalam kegiatan edukasi yang justru dibatasi secara ketat. Ia tidak diperbolehkan membawa contoh alat kontrasepsi atau membahas seks aman dengan dalih untuk tidak mendorong perilaku seksual berisiko.

“Gimana caranya edukasi berhasil kalau kita nggak boleh menunjukkan contoh? Edukasi seharusnya objektif dan inklusif,” tegas Putri. 

Beban Kontrasepsi Masih Ditanggung Perempuan

Urusan kontrasepsi hingga saat ini masih dianggap sebagai urusan perempuan semata. Mulai dari alat yang jumlahnya lebih banyak hingga risiko dan efek sampingnya selalu dibebankan kepada tubuh perempuan.

Perempuan sedari dulu dilekatkan pada reproduksi, karena kehamilan sampai menyusui dijalankan oleh perempuan. Maka kontrol terhadap kehamilan pun dianggap sebagai tanggung jawab perempuan sepenuhnya.

“Karena yang menjalani kehamilan dan proses melahirkan adalah perempuan, maka alat kontrasepsi pun sejak awal dirancang untuk mengatur jarak kehamilan dengan cara mengendalikan tubuh perempuan,” lanjut Elisabeth.

Akhirnya, perempuan disodori begitu banyak pilihan kontrasepsi: pil, suntik, implan, IUD, bahkan metode permanen seperti tubektomi. Sebaliknya, laki-laki hanya diberi dua pilihan: kondom dan vasektomi.  Itu pun seringkali ditolak karena alasan kenyamanan atau stigma.

Mengacu pada PP No. 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi, layanan kontrasepsi memang telah diatur secara legal. Namun fokus kebijakannya masih sangat terpusat pada tubuh perempuan, terutama ibu yang ingin hamil atau melahirkan.

Hal-hal tersebut mencerminkan bagaimana kontrasepsi masih dipandang sebagai tanggung jawab perempuan semata. Padahal, kontrasepsi seharusnya menjadi keputusan dan tanggung jawab bersama yang adil dan setara. Perempuan tidak seharusnya menjadi objek yang diminta untuk mengorbankan tubuhnya atas nama kenyamanan bersama.

“Pilihan KB untuk perempuan itu segambreng, tapi untuk laki-laki? Cuma dua: kondom dan vasektomi,” timpal Putri.

Salah satu peserta diskusi membagikan ceritanya tentang keinginannya agar pasangannya melakukan vasektomi, respons yang didapat adalah penolakan mentah-mentah. “Kamu aja yang KB,” ujar si pasangan.

Mendorong keterlibatan laki-laki dalam edukasi kontrasepsi, membuka ruang dialog dalam relasi, serta menantang norma-norma lama yang timpang adalah langkah awal untuk membagi ulang tanggung jawab ini secara lebih adil. Sebab, urusan reproduksi bukan beban satu pihak, ini adalah persoalan bersama.

***

*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//