• Berita
  • Diskusi di LBH Bandung: Menguatkan Masyararakat Sipil dengan Membangun Solidaritas

Diskusi di LBH Bandung: Menguatkan Masyararakat Sipil dengan Membangun Solidaritas

Masyarakat sipil yang kritis rentan menjadi korban kriminalisasi. Berjejaring dan bersolidaritas adalah modal utama.

Sejumlah mahasiswa perwakilan Persma melakukan aksi unjuk rasa terkait 19 pasal bermasalah yang mengancam kebebasan pers dan berekspresi di draf RKUHP, Bandung, 20 Agustus 2022. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak)

Penulis Ryan D.Afriliyana 19 Juni 2025


BandungBergerak.id – Kriminalisasi maupun represi terhadap kelompok masyarakat kritis semakin marak akhir-akhir ini. Munculnya sejumlah regulasi dan pasal-pasal karet kian memperkeruh situasi. Dalam kondisi ini, solidaritas masyarakat sipil menjadi penawar untuk saling menguatkan.  

Tema membangun dan menguatkan kembali jaringan solidaritas masyarakat sipil dibahas dalam diskusi dengan tajuk “Membaca Pola Kriminalisasi, Bangkit Melawan Represi!” di Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandung, Selasa 17 Juni 2025. 

Asisten Pengabdi Bantuan Hukum LBH Bandung Dandi Rizki mengatakan, kriminalisai terhadap masyarakat kritis diawali dengan penangkapan. “Terkadang penangkapan itu enggak selalu karena ada intensi kejahatan tapi kadang-kadang juga ada intensi kebutuhan politik gitu loh,” ungkap Dandi. 

Salah satu contoh mutakhir adalah penangkapan terhadap mahasiswa Institut Teknologi Bandung (ITB) berinisial S karena meme Presiden Prabowo Subianto dan mantan Presiden Joko Widodo di media sosial X. Perwakilan serikat Mahasiswa Ganesha ITB Naufal Aufa mengatakan, sebelum ditangkap S mengalami doxxing dan teror di media sosial. 

S ditangkap dengan dasar melanggar pasal UU ITE terkait asusila. Menurut Naufal, memang tidak mengalami tindakan represif dari aparat. Namun ia tetap masuk kamar tahanan bersama tahanan lainnya. S kemudian mendapatkan penangguhan penahanan. 

Berdasarkan data KontraS, angka peristiwa kekerasan dan dugaan pelanggaran HAM oleh aparat negara sepanjang Juli 2023-Juni 2024 sebanyak 645 peristiwa. KontraS mencatat, ada 75 peristiwa pelanggaran terhadap kebebasan sipil yang meliputi tindakan pembubaran paksa sebanyak 36 kali, penangkapan sewenang-wenang sebanyak 24 kali, dan tindakan intimidasi sebanyak 20 kali. Sementara itu, LBH Bandung mencatat, represi terjadi di saat aksi demonstrasi, seperti yang terjadi di aksi penolakan RUU TNI dan May Day 2025.

Baca Juga: Koalisi Sipil Mengecam Kriminalisasi Dugaan Korupsi di Lembaga Publik Pengumpul Zakat, Baznas Jabar Membantah
Penangkapan Mahasiswi ITB karena Meme Jokowi - Prabowo Menuai Protes Publik, Kebebasan Berekspresi dalam Jerat Pasal Karet

Kilas Balik Tindakan Represif Aparat Negara di Reformasi 1998 

Tindakan represif aparat negara di Indonesia memiliki sejarah panjang, salah satunya berpusar di era reformasi 1998. Waktu itu, para demonstran tidak hanya menuntut turunnya Suharto dari jabatan presiden tetapi juga menggugat perubahan sistem pemerintahan menuju demokrasi. Tuntutan masa menghadapi tentara dan polisi yang dipersenjatai. 

Reformasi meninggalkan data kelam, banyak korban berjatuhan, para aktivis diculik, sebagian kembali dan sebagian hilang tanpa jejak. Dalam situasi itu, di Bandung muncul Gerakan Lumbung Kota yang fokus merespons krisis ekonomi. Kondisi Bandung relatif tidak rusuh seperti daerah lain. 

Sely Martini dari Yayasan Jari yang juga aktivis 1998 menuturkan, gerakan di Bandung era Reformasi diinisisasi oleh mahasiswa dan berbagai elemen masyarakat sipil. 

“Nah, salah satu gerakan kenapa Bandung enggak rusuh? Saya tuh ikut ronda karena kami itu membaca bahwa krisis ekonomi itu dilakukan secara sistematis. Kami tuh siskamling bareng sama RW. Jadi, Gerakan Lumbung Kota ini mengumpulkan RW-RW yang ada di sekitar bantaran jalan kereta api untuk menghadang pendatang yang rusuh,” katanya. 

Sely merasakan ketakutan yang tak biasa waktu itu. Ia memaksa diri untuk lebih waspada terhadap orang-orang yang turun dari kereta. “Kalau tiba-tiba ada banyak orang gila datang dan bukan orang sini karena RW itu yang paling tahu kan itu. Nah, jadi diusir, kita usir gitu ya. Jadi udah siap siaga banget,” kata Sely. 

Di masa Reformasi, Sely bercerita, orang-orang pergerakan rentan diangkut oleh orang tak dikenal. Namun, salah satu yang paling diingatnya adalah upaya membentrokan masyarakat sipil dengan preman. Menurutnya, tahun 1998 aparat negara justru membentuk Pasukan Pengamanan Masyarakat (Pamswakarsa) yang terdiri dari kelompok sipil dengan tugas membendung massa aksi. 

“Jadi saya waktu itu ke Jakarta tahun 1999 bergabung dengan massa aksi untuk meminta pemilu dan dibentrokin sama Pamswakarsa. Itu kan ngeri ya,” tutur Sely.

Sely menyebutkan, ketika massa aksi berhadapan dengan aparat bisa jadi terkesan heroik. Tapi ketika berhadapan dengan masyarakat sipil maka risikonya luar biasa berbahaya.

***

*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//