Penangkapan Mahasiswi ITB karena Meme Jokowi - Prabowo Menuai Protes Publik, Kebebasan Berekspresi dalam Jerat Pasal Karet
Setelah muncul protes publik, SSS, mahasiswi Institut Teknologi Bandung (ITB) pembuat meme Jokowi - Prabowo, mendapatkan penangguhan penahanan.
Penulis Yopi Muharam14 Mei 2025
BandungBergerak.id - Penangkapan mahasiswi Institut Teknologi Bandung (ITB) berinisial SSS oleh Badan Reserse Kriminal Polri memicu gelombang protes dari berbagai pihak. Tak terkecuali di medan media sosial. SSS dijerat sebagai tersangka karena mengunggah gambar hasil rekayasa kecerdasan buatan (Meme AI) yang menampilkan wajah Presiden terpilih Prabowo Subianto dan Presiden ke-7 Joko Widodo. Unggahan ini dianggap melanggar norma kesusilaan, meski banyak pihak melihatnya sebagai ekspresi kritik melalui medium seni digital.
Keluarga Mahasiswa (KM) ITB pun mengeluarkan pernyataan sikap yang menolak kriminalisasi terhadap rekan mereka. Dalam siaran pers bertajuk “Tuntutan Pembebasan Mengenai Penahanan Salah Satu Anggota Keluarga Mahasiswa ITB”, mereka menilai unggahan meme AI dari SSS merupakan bentuk upaya kritis untuk menyampaikan bahaya penyalahgunaan teknologi kecerdasan buatan yang bisa berdampak negatif.
KM ITB menegaskan bahwa “membungkam satu suara kritis adalah ancaman bagi kebebasan seluruh rakyat”. Sebagai bentuk solidaritas, KM ITB melakukan aksi pembacaan pernyataan sikap di depan kampus ITB, Bandung, Sabtu, 10 Mei 2025.
Mereka bersikap akan terus mendampingi korban, keluarganya, dan tim kuasa hukum SSS. Mereka menolak tindakan penahanan yang dianggap sebagai bentuk represi terhadap kebebasan berpendapat.
Ada tiga tuntutan utama yang diajukan KM ITB: menolak penahanan SSS; menuntut pembebasan SSS karena seni adalah kebebasan berekspresi yang seharusnya dilindungi oleh hukum; bukan dikriminalisasi; dan KM ITB mengajak seluruh elemen kampus, akademisi, dan masyarakat sipil untuk menjaga solidaritas dan mengawal proses hukum demi tegaknya keadilan.
SSS sendiri dijerat dengan pasal-pasal dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), yakni Pasal 45 ayat (1) jo Pasal 27 ayat (1), dan Pasal 51 ayat (1). Pasal-pasal tersebut berkaitan dengan penyebaran konten yang dianggap melanggar kesusilaan serta manipulasi informasi elektronik. Ancaman hukumannya tidak main-main: pidana penjara hingga 12 tahun dan denda hingga Rp12 miliar.
Penangkapan tersebut dikonfirmasi oleh Kepala Bagian Penerangan Umum Divisi Humas Mabes Polri Komisaris Besar Erdi A. Chaniago. “Iya benar bahwa seorang perempuan berinisial SSS telah ditangkap dan diproses,” ujarnya, dikutip dari laman Tempo.
Baca Juga: Mural “Jokowi Tutup Mata” di Bandung Dihapus, AJI Bandung: Kebebasan Berekspresi dalam Ancaman
Komite Keselamatan Jurnalis: RKUHP Mengancam Kebebasan Berekspresi Warga dan Kebebasan Pers
Melihat Kasus Gugatan Youtuber terhadap Berita KCIC Kompas TV dari Sudut Kebebasan Pers dan Berekspresi
Jerat Kritik dengan Meme Jokowi - Prabowo
Sejak awal, penahanan SSS menuai kritik tajam. Sebuah sumber dari lingkungan kampus mengonfirmasikan kepada BandungBergerak bahwa, “Adik tingkat saya ada yang ditangkap oleh polisi di Jatinangor, karena beberapa bulan lalu dia menyuarakan kritik terhadap AI dan kabinet kepresidenan sekarang”.
Tekanan publik yang terus menguat akhirnya membuahkan hasil. Mahasiswi Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB itu kini telah mendapatkan penangguhan penahanan. ITB melalui pernyataan resminya menyampaikan terima kasih kepada berbagai pihak atas perhatian mereka terhadap kasus ini.
Direktur Komunikasi dan Hubungan Masyarakat ITB N. Nurlaela Arief menyampaikan, ITB akan melanjutkan proses pembinaan akademik dan karakter terhadap SSS. Ia menegaskan bahwa institusi berkomitmen membina mahasiswanya. "Aqgar dapat menjadi pribadi dewasa yang bertanggung jawab, menjunjung tinggi adab dan etika dalam menyampaikan pendapat dan berekspresi,” kata Nurlaela, dalam keterangan tertulis.
Sebagai langkah konkret, ITB akan memperkuat literasi digital, literasi hukum, dan etika berkomunikasi melalui diskusi terbuka, kuliah umum, dan program pembinaan yang melibatkan pakar, dosen, serta rekan sebaya.
“Kebebasan berekspresi adalah hak setiap warga negara, namun harus dijalankan dengan tanggung jawab, pemahaman hukum, serta penghormatan terhadap hak dan martabat orang lain,” lanjut Nurlaela.
Pembungkaman dengan Pasal Karet
Penangkapan SSS menyulut perhatian Amnesty International Indonesia. Direktur Amnesty Usman Hamid, menyebut tindakan tersebut sebagai praktik-praktik otoriter dalam merepresi kebebasan berekspresi di ruang digital. Ia menyoroti penggunaan dalih kesusilaan sebagai alasan untuk menjerat SSS sebagai bentuk kriminalisasi yang bertentangan dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia.
Menurut Usman, ekspresi dalam bentuk seni, termasuk satir dan meme politik, tidak seharusnya dipidana. “Respons Polri ini jelas merupakan bentuk kriminalisasi kebebasan berekspresi di ruang digital,” ujar Usman Hamid.
Pembungkaman lewat pasal-pasal karet UU ITE justru menciptakan iklim ketakutan dan menormalisasi represi terhadap kritik publik. Dalam catatan Amnesty selama periode 2019 hingga 2024, tercatat ada 530 kasus kriminalisasi terhadap 563 korban dengan menggunakan UU ITE. Sebagian besar dilakukan oleh patroli siber Polri dan laporan dari pemerintah daerah.
Amnesty mendesak Polri segera membebaskan SSS. "Negara tidak boleh anti-kritik, terlebih menggunakan hukum sebagai alat pembungkaman,” kata Usman Hamid.
Senada dengan itu, Deti Sopandi dari Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia (PBHI) yang menyebut tindakan kepolisian sebagai bentuk represi. “Kami menilai pihak kepolisian mempunyai selera seni yang rendah, dan juga telah melakukan tindakan abuse of power yakni sudah menyalahgunakan kewenangannya dengan membungkam kebebasan berpendapat dan berekspresi,” katanya, kepada BandungBergerak.
Deti menegaskan, kriminalisasi terhadap ekspresi lewat media seni menunjukkan buruknya kualitas demokrasi di Indonesia. Negara dinilai alergi terhadap kritik dari akar rumput baik lewat seni maupun media lainnya. "(Kritik) selalu didefinisikan kejahatan,” ujarnya.
Ironisnya, Mahkamah Konstitusi pada awal Mei 2025 telah memutuskan bahwa pasal dalam UU ITE terkait “penyerangan terhadap kehormatan atau nama baik” tidak dapat lagi digunakan oleh lembaga pemerintah maupun korporasi untuk membawa warga negara ke ranah pidana. Kasus penangkapan SSS mengabaikan putusan konstitusional itu.
*Kawan-kawan dapat membaca karya-karya lain dari Yopi Muharam, atau artikel-artiikel lain tentang Kebebasan Berekspresi