Melihat Kasus Gugatan Youtuber terhadap Berita KCIC Kompas TV dari Sudut Kebebasan Pers dan Berekspresi
Gugatan Youtuber terhadap Kompas TV mengenai berita utang dalam proyek PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) menimbulkan keprihatinan bagi kebebasan pers.
Penulis Iman Herdiana27 Mei 2023
BandungBergerak.id - Kasus gugatan Youtuber terhadap berita mengenai utang dalam proyek PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) yang ditayangkan Kompas TV menjadi keprihatinan bagi kebebasan pers dan berekspresi di Indonesia. Kasus ini dirasa penting didiskusikan untuk memahami masalah yang muncul serta mencari solusi tepat agar preseden serupa tidak terulang di masa depan.
Demikian salah satu kesimpulan dalam diskusi publik tentang tantangan kebebasan pers di era digital yang digelar Pusat Studi Komunikasi, Media, dan Budaya Universitas Padjadjaran (Unpad) di Ruang Oemi Abdurrachman, Fakultas Ilmu Komunikasi Unpad, Jatinangor, dikutip dari laman Unpad, Sabtu (27/5/2023).
Kasus tersebut bermula saat ada gugatan yang dilayangkan salah seorang Youtuber kepada Kompas TV terkait penggunaan konten audiovisual untuk berita yang membahas hutang PT. KCIC. Salah satu materi visual yang digunakan dalam berita yang diunggah di Kanal YouTube Kompas TV diambil dari kanal YouTube resmi milik PT. KCIC dan kemudian diklaim sebagai milik akun penggugat.
Kepala Pusat Studi Komunikasi, Media, dan Budaya Unpad Kunto Adi Wibowo menyoroti bahwa terdapat permasalahan yang mendasar dari platform, di mana YouTube tidak membedakan produk jurnalisme dan bukan.
Hal ini memiliki implikasi terhadap kurasi informasi dan kemungkinan penyensoran akibat pelaporan konten dari audiens yang riil atau hasil manipulasi.
Kunto juga menekankan saat ini posisi influencer cenderung kuat dan memiliki daya tawar besar. Hal ini dibuktikan dengan alokasi dana besar pemerintah yang digelontorkan pemerintah pada pemengaruh (influencer) dibandingkan media arus utama berdasarkan data ICW.
Persoalan yang muncul kemudian, seharusnya influencer bertanggung jawab dan memiliki akuntabilitas untuk memastikan sumber dana yang masuk ke mereka. Kunto memungkas bahwa tanggung jawab influencer pada dasarnya bukan hanya pada pemerintah, tetapi juga pada publik yang membayar pajak.
Baca Juga: Catatan Akhir Tahun AJI: Kebebasan Pers dalam Kabut Kekerasan dan Kriminalisasi
Kebebasan Pers, Sudah Jatuh Ditimpa RKUHP
Hari Kebebasan Pers Sedunia 2022, Lemahnya Komitmen Negara dalam Melindungi Pers
Hak Cipta Tidak Boleh Digunakan Untuk Membatasi Kebebasan Berekspresi
Sekretaris Jenderal Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, Ika Ningtyas menekankan perlunya jaminan kebebasan berekspresi dan perlindungan hak cipta. Namun, pengakuan hak cipta tidak boleh digunakan untuk membatasi kebebasan berekspresi.
“AJI menuntut adanya perbaikan regulasi dan keterlibatan Dewan Pers dalam penanganan kasus serupa di masa depan, dengan tetap mengedepankan prinsip kebebasan berekspresi,” kata Ika, dalam acara yang sama.
Dalam diskusi yang berlangsung Selasa (23/5/2023) itu, Wakil GM News and Current Affair Digital Kompas TV Alexander Wibisono menjelaskan bahwa materi visual yang sama sebelumnya telah digunakan dalam berita uji coba kereta api cepat pada perhelatan G20 sekitar bulan November 2022 dan tidak menimbulkan kontroversi.
Setelah terjadi perselisihan antara redaksi Kompas TV dan Kompas.com dengan Youtuber tersebut, pihak-pihak terkait telah menghentikan proses hukumnya. Kompas TV juga menyesalkan sikap PT KCIC yang terkesan menghindar dan seolah-olah mendukung upaya gugatan terhadap berita tersebut.
Dalam diskusi tersebut, terungkap adanya indikasi ancaman terhadap kebebasan pers, di mana footage dari PT KCIC tidak digugat ketika berita yang disiarkan bersifat positif. Kontroversi muncul hanya saat berita tersebut memiliki nada negatif.
Selain itu, PT. KCIC juga menggunakan influencer untuk menyebarkan informasi mengenai program pemerintah. Namun ketika terjadi permasalahan seperti ini, PT. KCIC minim upaya untuk menengahi dan menyelesaikannya.
Hal ini menunjukkan adanya upaya pengendalian informasi ketika informasi negatif dipersoalkan, yang berdampak pada kebebasan media.
Keinginan untuk memiliki citra positif dari klien ini juga dibenarkan oleh Ilham Ramdhana, seorang Kreator Konten. Ilham menyatakan bahwa kerja sama dengan pemerintah sering kali memiliki beberapa syarat seperti konten yang harus bersifat positif dan edukatif.