Eksternal Day Mahasiswa Unpad, Mengkritik Budaya Patriarki Digital dan Ketimpangan Gender
Menyoroti akar budaya patriarki di era digital, Mahasiswa Manajemen Produksi Media Universitas Padjadjaran menggelar Eksternal Day: Seruan Luka.
Penulis Tim Redaksi21 Juni 2025
BandungBergerak.id - Himpunan Mahasiswa Manajemen Produksi Media Universitas Padjadjaran, melalui Departemen Hubungan Eksternal, kembali menggelar program tahunan bertajuk “Eksternal Day”. Tahun ini, tema yang diangkat adalah "Seruan Luka", sebuah kampanye yang menyoroti ketimpangan gender dan budaya patriarki, terutama dalam konteks perundungan siber (cyberbullying).
Rangkaian kegiatan "Seruan Luka" terdiri atas dua bagian: pre-event dan main event. Pre-event diselenggarakan pada 8 Mei 2025 di Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran, dengan tujuan untuk memperkenalkan kampanye sekaligus membuka ruang partisipasi publik melalui karya instalasi.
Desta (18 tahun), selaku Project Officer "Seruan Luka" menjelaskan, “Acaranya tuh lebih ke tujuannya itu untuk ngasih tau si Seruan Luka itu apa. Terus, kita open submission untuk karya-karya di sini. Jadi, kalau lihat di pameran ada satu instalasi besar yang isinya beberapa karya yang disubmit ke kita,” ujarnya, 12 Juni 2025.
Main event kemudian digelar di Bandung Creative Hub pada Kamis, 12 Juni 2025. Dalam acara ini, pengunjung disuguhkan pameran instalasi yang menggambarkan pengalaman perempuan terhadap budaya patriarki di ranah digital, serta pemutaran video feature berisi wawancara narasumber yang membahas isu serupa.
Talkshow menjadi bagian utama dalam acara ini, menghadirkan Fainna Safitri, seorang psikolog, serta Antik Bintari, dosen konselor dan Kepala Pusat Riset Gender di Universitas Padjadjaran. Diskusi dimoderatori oleh Muhammad Furqon Hendrata, akademisi sekaligus praktisi industri.
Para narasumber membahas bahwa budaya patriarki masih sangat lumrah di Indonesia. Salah satu contoh yang masih sering dijumpai adalah anggapan bahwa perempuan tidak perlu menempuh pendidikan tinggi karena dianggap hanya akan berakhir di dapur. Di era digital, budaya ini tak hanya bertahan, tetapi juga berkembang melalui media sosial dalam bentuk "cyberbullying"—dengan narasi bahwa laki-laki layak berada di ruang publik, sementara perempuan seharusnya di ruang domestik.
Fainna mengungkapkan bahwa pola pikir patriarki tidak hanya datang dari laki-laki, tetapi sering kali juga diperkuat oleh perempuan sendiri.
“Kadang-kadang patriarki itu juga didukung oleh perempuan itu sendiri. Banyaknya "body shaming", itu kadang-kadang dari perempuan. Banyaknya "hate speech" terkait peran perempuan di luar, area publik juga banyak dikritisi oleh perempuan lain,” jelasnya.
Dalam paparannya, Antik Bintari menjelaskan bahwa ketimpangan gender memiliki bentuk yang kompleks, mulai dari kekerasan, stereotip, hingga beban berlapis (multi burden). Fenomena ini telah berlangsung lama sejak masa kolonialisme dan terus berlanjut hingga hari ini.
Baca Juga: Mengganti Budaya Patriarki dengan Kesetaraan Gender, Dimulai dari Keluarga dan Sekolah
Budaya Patriarki, Sumber Utama Kekerasan Seksual

Cyberbullying
Salah satu bentuk kekerasan yang menonjol dalam konteks digital adalah "cyberbullying". Menurut Antik, perilaku perundungan yang sebelumnya berlangsung secara konvensional kini berpindah ke media sosial seiring perkembangan teknologi. Ia menegaskan adanya keterkaitan erat antara budaya patriarki dan praktik perundungan daring.
“Jadi, kalau anak baik laki maupun perempuan itu dididik menjadi superior. Akibat dia harus merendahkan salah satu pihak, maka ia akan menjadi pelaku,” jelasnya.
Antik juga menekankan bahwa pihak yang memiliki kekuasaan besar di masyarakat memainkan peran penting dalam melanggengkan atau menghentikan budaya patriarki. “Kalau mau setara, ya laki-laki yang harus menjadi inisiatornya,” tambahnya, merujuk pada pentingnya peran laki-laki dalam memutus rantai ketidaksetaraan.
Akses pendidikan yang baik turut disoroti sebagai elemen penting dalam membentuk pola pikir serta ketahanan mental individu. Kemampuan seseorang dalam mengelola emosinya menjadi kunci dalam menghadapi "cyberbullying".
Menurut Antik, pelaku perundungan digital adalah individu yang lemah secara emosional. Mereka adalah orang-orang yang paling lemah. Hal ini, karena rasa ketidakpemilikan dan rasa tidak nyaman akan dirinya sendiri.
Fenomena cyberbullying kerap kali muncul saat seseorang membagikan konten yang dianggap tidak sesuai dengan nilai-nilai dominan di masyarakat. Oleh karena itu, pengguna media sosial perlu memahami risiko dan konsekuensi dari setiap unggahan yang mereka buat.
Sebagai penutup, "Seruan Luka" menampilkan pertunjukan seni berupa teater dengan tema cyberbullying, serta pertunjukan tari dan vokal grup yang membawakan lagu "Tutur Batin" karya Yura Yunita. Seluruh rangkaian kegiatan ini menjadi wadah untuk menyuarakan keresahan kolektif terhadap budaya patriarki yang masih merugikan perempuan—baik dalam ruang nyata maupun digital.
***
*Reportase ini dikerjakan reporter BandungBergerak Wilda Nabila Yoga dan Aqeela Syahida Fatara
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB