Menggambar Bersama Anak-anak Sukahaji
Kegiatan menggambar di Sanggar Anak Sukahaji bermula dari trauma healing setelah ancaman penggusuran, Anak-anak bermain sambil mengenal realitas sosial.
Penulis Fitri Amanda 21 Juni 2025
BandungBergerak.id - Tawa riang anak-anak menggema di posko kampung Sukahaji, Sabtu siang, 14 Juni 2025. Sebagian dari mereka berlari-lari dengan gembira dan sebagian lagi duduk melingkar di atas terpal. Tangan-tangan kecil mereka sibuk menggoreskan warna ke atas kertas gambar: ada gambar rumah dan ada juga gambar warga yang menolak rumahnya digusur.
Kegiatan menggambar ini di Sanggar Anak Sukahaji ini sebagai inisiatif baru yang lahir dari semangat kawan-kawan Forum Mahasiswa Nasional (FMN) dari Universitas Pendidikan Indonesia (UPI). Acara ini sekaligus untuk menciptakan ruang aman bagi anak-anak di tengah perjuangan mempertahankan rumah mereka dari penggusuran. Kegiatan perdana sanggar ini digelar pada akhir pekan dan direncanakan akan berlangsung rutin setiap minggu.
Bermula dari trauma healing setelah ancaman penggusuran, kini pendekatan diperluas menjadi ruang alternatif untuk pendidikan kesadaran sosial bagi anak-anak melalui seni dan kebudayaan. Anak-anak tidak hanya diajak bermain, melainkan juga dikenalkan pada realitas sosial yang mereka alami dengan metode yang sesuai dengan usia mereka.

“Tujuan utamanya itu pengin ngedekatin anak-anak sama perjuanganya rakyat. Jadi karena mereka masih kecil, tapi mereka kan sangat terdampak. Makanya mereka harusnya lebih tahu dan harusnya diajak juga untuk berjuang,” tutur Dedes, salah satu penggerak Sanggar Anak Sukahaji.
Anak-anak memang tidak diajak berdiskusi langsung soal konflik agraria yang terjadi, tetapi melalui kegiatan kreatif seperti mewarnai, mereka diperkenalkan pada realitas perjuangan secara perlahan. Dedes menjelaskan meski metode pendekatan yang dilakukan disesuaikan dengan usia seperti mewarnai dan bermain, tetapi mereka tetap menyelipkan pesan-pesan perjuangan seperti “Tanah untuk Rakyat” atau ‘Usir Setan Tanah”.
Dedes mengakui bahwa hubungan para relawan dan anak-anak masih belum terbentuk sepenuhnya, kegiatan mewarnai ini juga bukan hanya untuk menyampaikan pesan, tetapi juga menjadi alat perkenalan antara relawan dan anak-anak. Harapannya, setelah anak-anak lebih nyaman, sanggar bisa berkembang menjadi ruang ekspresi yang lebih kompleks.

Dalam beberapa minggu mendatang, para relawan akan mulai mengajak anak-anak untuk berlatih membaca puisi, lalu mencoba membuat pertunjukan kecil yang bisa mereka tampilkan sendiri. Dedes menyebutkan bahwa inspirasi ini datang dari wilayah lain seperti Dago Elos, di mana anak-anak tampil membawakan kisah perjuangan tanah mereka sendiri.
Persiapan untuk Sanggar Anak Sukahaji ini tidak dilakukan secara terburu-buru. Sebelum memulai, tim sempat tinggal selama beberapa hari di Sukahaji. Hal ini dilakukan agar mereka tidak datang sebagai orang luar semata, tetapi benar-benar memahami ritme hidup warga, termasuk kebutuhan anak-anak.

“Kemarin seminggu yang lalu kita itu nyoba buat tinggal secara langsung di sini. Hampir seminggu atau lima hari gitu, itu full menginap di sini. Ikut tidur sama warga, makan sama warga, kerja sama warga gitu. Biar kita tahu warga Sukahaji itu kalau sehari-harinya kayak gimana sih? Jadi kita juga punya harapan buat belajar dari warga Sukahaji,” jelas Dedes.
Baca Juga: Warga Sukahaji Berbondong-bondong ke ATR/BPN Kota Bandung, Menuntut Kejelasan Status Tanah
Upaya Warga Sukahaji Mengungkap Kejelasan Sertifikat Tanah ke Kelurahan
Momen Belajar Memahami Anak-anak
Sanggar Anak Sukahaji menjadi momen belajar bagi Dedes. Meski ia tampil sebagai pembawa acara dalam kegiatan anak-anak hari itu, ia merasa banyak hal baru yang harus ia hadapi. Bagi Dedes, hari itu ia bukan sekedar menjadi pendamping untuk anak-anak. Ia sedang belajar. Tanpa latar belakang pendidikan anak, Dedes mengaku bahwa mengelola perhatian anak-anak merupakan tantangan untuknya dan menganggap pengalaman ini sebagai pijakan awal. Ia merasa tertantang untuk terus belajar, mencari tahu lebih banyak tentang cara mendampingi anak-anak, khususnya di konteks yang kompleks seperti Sukahaji.
Sementara itu, Kenzi yang merupakan salah satu relawan di kegiatan Sanggar Anak Sukahaji ini menjalani kegiatan dengan kepekaan yang berbeda. Ia mengaku merasa terhubung secara emosional dengan anak-anak yang didampingi. Kenzi menyoroti salah satu momen yang membekas baginya yaitu ketika melihat seorang anak yang tampak sedih saat mewarnai. Meski tidak diungkapkan secara langsung, Kenzi merasa anak tersebut mungkin tersentuh oleh kenangan yang menyakitkan.

“Aku rada sedih sih karena ternyata ada beberapa salah satu peserta dari anak-anak di sini yang mungkin karena ngelihat gambarnya itu agak ke-trigger kali ya. Jadi rada sedih gitu.
Makanya tadi pun kita mendampingi, mungkin mau diajak ngobrol tapi belum bisa. Dan ini bakal jadi PR kita juga gimana caranya supaya lebih dekat sama anak-anak supaya anak-anak juga percaya sama kita,” ucap Kenzi.
Hal tersebut membuat Kenzi kembali tersadar pada tujuan awal mereka, sanggar ini bukan hanya ruang bermain melainkan juga sebagai tempat penting di mana anak-anak bisa merasa aman. Dedes pun merasakan hal yang serupa. Dari pengalamannya mendampingi anak-anak di Sukahaji, ia melihat betapa pentingnya kehadiran ruang sanggar ini untuk anak-anak berekspresi tanpa rasa takut.
***
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB