Upaya Warga Sukahaji Mengungkap Kejelasan Sertifikat Tanah ke Kelurahan
Warga mendesak Kelurahan Sukahaji membeberkan sejarah dan data kepemilikan tanah. Menuntut kejelasan demi ruang hidup.
Penulis Muhammad Akmal Firmansyah18 Juni 2025
BandungBergerak.id – Warga Sukahaji mendesak kelurahan menjelaskan pada publik mengenai sejarah dan data tanah yang mereka tempati. Warga berbondong-bondong mendatangi Kantor Kelurahan Sukahaji yang dijaga cukup ketat oleh aparat kepolisian, Selasa, 17 Juni 2025. Aksi ini dilatarbelakangi konflik tanah di Sukahaji antara warga dan pihak pengusaha yang mengklaim memiliki sertifikat tanah hasil pendaftaran ke BPN.
Seorang warga Sukahaji, April menjelaskan datang ke kantor kelurahan beralamat di Gang Zakaria, Kecamatan Babakan Ciparay, Bandung itu bukan tanpa alasan. Setiap hari warga mengalami intimidasi dan kekerasan di tanah yang sedang berkonflik. Menurutnya, hasil dari jawaban pihak kelurahan menjadi data baru untuk menanyakan ke Kantor Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan (ATR/BPN) Kota Bandung.
“Seengaknya jadi tambahan data lagi buat kita menuju ke BPN. Hasilnya seperti apa, kita nantikan hasilnya di sini dulu,” kata April, di lokasi.
Ibu tiga anak ini merasa kecewa dengan pengamanan berlebihan saat warga datang ke kelurahan. Padahal warga hanya meminta penjelasan. Senada, Yayu, warga Sukahaji lainnya, menjelaskan warga datang hanya untuk mengonfirmasi ulang mengenai sejarah dan data kepemilikan tanah. Menurutnya, seharusnya data dan arsip tanah Sukahaji tersimpan di kelurahan.
Warga Sukahaji ingin mengetahui peran kelurahan dalam perkara tanah yang didaftarkan ke BPN/ATR Kota Bandung. Sepengetahuan warga, mendaftarkan sertifikat tanah harus melewati prosedur melalui kelurahan, sebelum ke BPN.
“Dia kan mendaftarkan tanah itu. Otomatis kalau mendaftarkan, harus ada surat rekomendasi dari lurah. Tapi pihak lurah bilang tidak mengetahui dan tidak mendapat tembusan,” jelas Yayu, seraya menambahkan keterengan dari keluruhan menjadi bukti kuat soal status tanah Sukahaji.
Jawaban Kelurahan Sukahaji
Plt Lurah Sukahaji R Hardianto menuturkan pihaknya tidak mengetahui tentang sejarah tanah di wilayah RW 01 hingga RW 04. Pihaknya juga menyebut, tidak mengetahui daftar sertifikat tanah di lokasi berserta nomor sertifikatnya di wilayah tersebut.
“Surat ini dibuat tanpa tekanan siapapun baik dari pihak warga, atau pun pihak Junus Jen Suherman. Kami benar-benar tidak mengetahui apalagi data tentang sertifikat tanah,” kata Hardianto yang menyampaikan kepada warga melalui pengeras suara.
Menurutnya, data kepemilikan tanah hanya ada di BPN dan pihaknya tidak pernah mendapatkan tembusan. “Kami tidak memiliki apapun di sini, kami tidak mengetahui data dan nomor sertifikat dan lain-lain. Termasuk di bagian arsip gak. Gak ada arsip sama sekali,” jelasnya.
Pengabdi Bantuan Hukum LBH Bandung Fariz Hamka mengatakan, penjelasan dari pihak kelurahan akan menjadi bahan kajian. “Terkait dengan hasil kelurahan tadi, itu akan kami kaji yang menjadi atensi adalah bahwa penyertaan mereka patut diuji. Tidak memiliki atau sebenarnya ada. Kami akan mengkaji terlebih dahulu,” singkat Fariz, saat dihubungi, Selasa, 17 Juni 2025.
Riwayat Konflik di Sukahaji
Sebelumnya warga Sukahaji berkumpul di Kantor ATR/BPN Kota Bandung, pada 14 April 2025 lalu. Mereka mendesak agar BPN Kota Bandung membuka data pemilik sertifikat dan memberikan pendampingan terhadap warga terdampak yang terancam digusur.
Kasi Survei dan Pemetaan BPN Kota Bandung Yudi mengatakan, dari 90 permohonan sertifikat di Sukahaji, hanya 53 sudah tervalidasi dan hanya 5 sertifikat yang baru didaftarkan oleh pihak pengklaim.
Sengketa lahan di Sukahaji bermula pada tahun 2009. Pihak penguasa mengklaim tanah yang telah dihuni warga selama puluhan tahun. Insiden kebakaran juga terjadi beberapa kali di tanah sengketa, mulai dari 2018, 2022, dan April 2025 yang merusak puluhan kios dan rumah warga.
Warga Sukahaji terus menuntut kejelasan hukum dan perlindungan dari pemerintah mengenai tanah yang telah mereka garap selama puluhan tahun. BPN menjanjikan netralitas dan menunggu proses investigasi aparat, sementara warga berharap data sertifikat tanah dapat segera dipublikasikan untuk mengakhiri ketidakpastian hukum.
Sebelumnya diberitakan, pihak pengusaha Junus Jen Suherman dan Juliana Kusnadar yang diwakili Rizal Nusi, kuasa hukum, mengklaim bahwa tanah yang disengketakan adalah milik kliennya, dan karenanya tidak ada sengketa kepemilikan. "Sampai detik ini, itu tidak ada sengketa kepemilikan lahan di lokasi tanah milik klien," kata Rizal, ditemui BandungBergerak di Jalan Riau, Selasa, 8 April 2025.
Rizal juga menjelaskan bahwa sertifikat yang dipegang oleh kliennya sudah memiliki Surat Keterangan Pendaftaran Tanah (SKPT) yang sah, yang menunjukkan bahwa tidak ada sengketa terkait kepemilikan lahan. "Karena sertifikat yang dipegang sama klien saya (Junus Jen Suherman) ini sudah memiliki SKPT (Surat Keterangan Pendaftaran Tanah)," katanya.
Baca Juga: Ibu-ibu dan Bapak-bapak Sukahaji Mendesak BPN Kota Bandung Membuka Data Pemilik Sertifikat Tanah
Kecurigaan Warga Saat Melihat Api Begitu Cepat Melahap Kios Kayu dan Rumah di Sukahaji
Bagaimana Pola Sengketa Agraria Bekerja
Peneliti dari Agrarian Resource Center, Dianto Bachriadi, menyebut konflik agraria di kawasan perkotaan menunjukkan pola yang berulang dan semakin parah. Umumnya, konflik terjadi karena warga tinggal di atas tanah yang secara administratif dianggap sebagai “tanah negara”, meskipun mereka sudah menempatinya selama puluhan tahun.
Menurut Dianto, warga seperti di Sukahaji sebenarnya berhak atas tanah yang mereka tempati. Hukum memberi prioritas kepada warga yang sudah menguasai tanah negara lebih dari 10 tahun untuk mendapat hak atas tanah tersebut. Ia menegaskan, Badan Pertanahan Nasional (BPN) seharusnya berpegang pada aturan yang ada untuk menentukan siapa yang paling berhak, dan apa dasar hak tersebut. “Setiap orang punya hak yang sama untuk mendapatkan tanah, termasuk di atas tanah negara,” kata Dianto.
Sebagai mantan Komisioner Komnas HAM (2012–2017), Dianto juga menyoroti mengapa banyak warga tidak memiliki sertifikat. Bukan karena tidak mau mengurus, melainkan karena ada hambatan struktural yang membuat mereka tetap dalam posisi lemah. Penelitiannya menemukan tiga alasan utama: keterbatasan ekonomi, anggapan bahwa mereka tidak punya hak, dan persepsi bahwa birokrasi pertanahan sangat rumit. “Sekarang mungkin lebih mudah, tapi di masyarakat tetap dianggap mahal dan ribet,” ujarnya.
Warga yang mencoba mengurus sertifikat ke BPN juga sering ditolak dengan alasan tidak memenuhi syarat. Padahal, Kementerian ATR/BPN sudah mengizinkan penerbitan sertifikat dengan bukti penguasaan fisik dan kesaksian warga sekitar. Namun, aturan ini sering tidak diterapkan di lapangan.
Konflik agraria di kota juga sering dilakukan lewat cara yang memecah solidaritas warga. Salah satunya dengan memberi kompensasi sepihak kepada sebagian warga yang sedang kesulitan ekonomi. Mereka lalu dijadikan saksi untuk melawan warga lain yang menolak pindah. Pola ini menimbulkan konflik antarwarga dan melemahkan ketahanan sosial.
Dianto menegaskan, banyak warga tinggal di tanah negara bukan karena pilihan, tapi karena tidak mampu membeli rumah. Dalam situasi ini, negara seharusnya hadir untuk melindungi mereka. “Kalau pemerintah benar-benar ingin melindungi rakyat, lindungi dulu warganya. Apalagi kalau status tanahnya belum jelas, dan kesalahan warga juga belum tentu ada. Setiap orang punya hak,” ujarnya.
***
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB