• Berita
  • Membuat Sabun Ramah Lingkungan, Meningkatkan Konsumsi Produk Kelapa Sawit Berkelanjutan

Membuat Sabun Ramah Lingkungan, Meningkatkan Konsumsi Produk Kelapa Sawit Berkelanjutan

Salah satu cara melihat produk kelapa sawit berkelanjutan adalah dengan melihat ecolabel RSPO dan ISPO. Namun, konsumen biasanya memilih yang lebih murah.

WWF Indonesia menggelar Susfunaible Talkshow dan Workshop pembuatan sabun ramah lingkungan, Sabtu, 14 juni 2025, di Sky Tree Coffee and Eatery, Bandung. (Foto: Awla Rajul/BandungBergerak)

Penulis Awla Rajul21 Juni 2025


BandungBergerak.idSebagai negara produsen sekaligus konsumen kelapa sawit terbesar dunia, konsumsi kelapa sawit berkelanjutan Indonesia jauh lebih sedikit dibandingkan konsumsi Malaysia. Atas alasan inilah, WWF Indonesia menggelar Susfunaible Talkshow dan Workshop pembuatan sabun berbahan ramah lingkungan, dengan tajuk "Make Sustainable Life, Fun!", Sabtu, 14 juni 2025, di Sky Tree Coffee and Eatery, Bandung.

Kegiatan yang dihadiri berbagai komunitas orang muda maupun perorangan di Bandung ini, digelar untuk mengajak masyarakat mempraktikkan gaya hidup berkelanjutan, salah satunya dengan memilih produk kelapa sawit yang berkelanjutan.

Sustainable Communities Lead WWF Angga Prathama Putra menerangkan, kelapa sawit berkelanjutan adalah suatu sistem yang memastikan pembukaan lahan, produksi, maupun proses akhirnya berkelanjutan, ramah terhadap sosial, ekonomi, dan lingkungan. Bagi lingkungan, artinya, pembukaan lahan dilakukan dengan tidak serampangan dan meminimalkan dampak bagi satwa maupun masyarakat.

Bagi sosial, pembukaan lahan maupun proses produksinya harus menghormati dan menghargai masyarakat adat. Sementara faktor ekonomi, melibatkan masyarakat setempat untuk memperoleh keuntungan ekonomi dari industri kelapa sawit. Faktor ini juga perlu memastikan perusahaan menerapkan standar Human Right Due Diligence (HRDD) dan tidak mempekerjakan anak di bawah umur.

"Jadi walaupun lahan dibuka, tapi mereka (masyarakat adat) bisa hidup berdampingan," terang Angga dalam sesi talkhow.

Salah satu cara melihat produk kelapa sawit berkelanjutan adalah dengan melihat adanya ecolabel RSPO (Roundtable on Sustainable Palm Oil) – label yang diakui di internasional – dan ISPO (Indonesian Sustainable Palm Oil). Keduanya merupakan sertifikasi bagi produk kelapa sawit. Sertifikasi ISPO sendiri bersifat wajib bagi seluruh perusahaan perkebunan kelapa sawit di Indonesia untuk meningkatkan daya saing minyak sawit Indonesia di pasar global, mengurangi emisi gas rumah kaca, serta memperhatikan aspek lingkungan dan sosial. 

Secara global, seritifikasi kelapa sawit berkelanjutan menjadi polemik dan mendapatkan kritik karena dinilai sebagai greenwashing—memberi ”citra baik” untuk menutupi kebobrokan perusahaan serta ajang ”cuci tangan”. Sertifikasi ini juga dinilai belum maksimal menyelesaikan persoalan konflik lahan, konflik sosial, maupun keadilan iklim.

Meski begitu, Angga menegaskan, bicara kelapa sawit akan selalu berhadapan dengan pasar global. Ia menyebutkan, WWF tidak pernah memberi pernyataan anti-sawit. Sebab, tidak bisa mengeneralisasi semua perusahaan sawit buruk. Beberapa perusahaan, bahkan sudah mengadopsi prinsip dan praktik berkelanjutan dalam bisnisnya.

"Bukan pro atau tidak dengan kelapa sawit, tapi melihat produk ini bermanfaat atau tidak. Kan ada sertifikasi (RSPO/ISPO) itu bukan mutlak, tapi itu adalah sistem yang memastikan kalau perusahaan itu menuruti aturan dan regulasi yang berlaku,” ungkapnya.

Angga memberi pandangan alternatif untuk melihat persoalan ini, bahwa yang salah bukan kelapa sawit, melainkan tata kelolanya yang tidak baik. Sertifikasi kelapa sawit berkelanjutan merupakan salah satu inisiatif untuk memperbaikinya.

Dalam dunia perminyakan global, ironisnya, jenis minyak jagung, minyak bunga matahari, dan lainnya, kebanyakan ”milik” Eropa mendapat penilain positif. Sementara kelapa sawit, yang notabene ”milik” Indonesia didiskriminasi di pasar global dengan penyematan label Palm Oil Free (POF). Ini merupakan diskriminasi global untuk industri sawit yang dipandang melahirkan deforestasi, sementara industri milik negara maju terus digenjot tanpa beban.

WWF Indonesia menggelar Susfunaible Talkshow dan Workshop pembuatan sabun ramah lingkungan, Sabtu, 14 juni 2025, di Sky Tree Coffee and Eatery, Bandung. (Foto: Awla Rajul/BandungBergerak)
WWF Indonesia menggelar Susfunaible Talkshow dan Workshop pembuatan sabun ramah lingkungan, Sabtu, 14 juni 2025, di Sky Tree Coffee and Eatery, Bandung. (Foto: Awla Rajul/BandungBergerak)

Membuat Sabun Ramah Lingkungan dengan Bahan Berkelanjutan

Kelapa sawit merupakan bahan utama dari produk perawatan tubuh, seperti sabun, sampo, kosmetik, dan bahan makanan. Meski begitu, konsumsi produk kelapa sawit berkelanjutan di Indonesia hanya berkisar 2 persen dari total konsumsi domestik sekitar 18 juta ton CPO pada tahun 2019. Angka ini masih di bawah konsumsi Malaysia yang sudah mencapai 10 persen, sebagai negara produsen kedua terbesar dunia.

Di Bandung, terdapat perajin sabun yang berkomitmen sejak awal menggunakan bahan dan kemasan yang ramah lingkungan, yaitu Asiera & Co. Perajin dan pendiri Asiera & Co, Priskilla C Wijaya (28 tahun), memulai usahanya sejak 2019. Sebagai pelaku usaha, ia memiliki banyak pilihan untuk bahan baku.

"Kalau ada pilihan yang lebih baik untuk lingkungan dan sosial, why not gitu ya?," ungkap Lala, demikian ia akrab disapa saat talkshow.

Sejak tahun kedua menjalani usaha, ia mengaku sudah konsisten menggunakan minyak kelapa sawit yang berlabel RSPO atau ISPO untuk bahan baku sabun. Kesadaran ini tumbuh ketika ia mendapati informasi bahwa tidak semua kelapa sawit negatif, seperti dicecar banyak kalangan karena menyebabkan deforestasi, konflik lahan, hingga konflik satwa yang muncul saat pembukaan lahan.

”Awalnya mulai (menggunakan) RSPO itu kayaknya di tahun kedua atau ketiga, ketika tahu, oh, ternyata palm oil itu ada yang ramah lingkungan, sosial, dan ekonomi. Jadi udah 3 tahunan sih,” katanya. ”Awal pertama bikin sabun aku memang punya visi ramah lingkungan. Gak cuma dari bahan, tapi dari packaging juga. Makanya kita pake kertas, seminim mungkinlah kita pake plastik atau yang bisa di-reuse.”

Lala menyebut, generasi Z memang sangat sadar dengan apa yang dikonsumsi, terutama yang bersangkutan dengan lingkungan. Ia percaya, jika kesadaran ini terus disebarluaskan, tentu dampak perubahannya akan lebih besar.

Di samping itu, walaupun sudah berkomitmen menggunakan bahan-bahan ramah lingkungan, Lala mengaku, konsumennya kebanyakan tertarik bukan karena itu, melainkan karena sabun yang dibuat penuh warna dan dibuat lucu.

”Aku senang sih adanya RSPO ini. Kita bisa tahu kalau sebenarnya sawit itu baik, ya memang gak baik kalau ditanam di lahan deforestasi. Tapi kita juga jadi tahu kalau ada sawit yang enggak begitu, ya karena eco label itu. Kupikir ini suatu yang bagus sih,” terangnya.

Saat pelatihan, Lala menjelaskan, bahan dasar pembuatan sabun hanya tiga, yaitu minyak, NaOH (soda api), dan air. Untuk membuatnya wangi maupun berwarna, tinggal menambahkan pewangi, pewarna, maupun ornamen penghias lain. Ia juga menyebut, sebenarnya perlu mencampur beberapa jenis minyak, misalnya minyak zaitun dengan minyak kelapa sawit supaya menghasilkan sabun dengan tekstur dan manfaat sesuai kebutuhan.

Selain Lala, adapula pelaku usaha lainnya, yaitu General Manager de Braga by ARTOTEL Bandung, Reza Farhan. Bisnis pariwasata yang ia jalani diklaim sudah menerapkan program berkelanjutan. Dalam menjalani ini, penting untuk tidak memfokuskan pada keuntungan, tapi bagaimana mengedukasi pelanggan agar beralih menggunakan produk yang ramah lingkungan.

Selain mengaku sudah menggunakan minyak kelapa sawit berkelanjutan berkolaborasi dengan vendor, pihaknya memiliki menu sehat yang berkelanjutan, salah satunya menu bebek. Limbah peternakan dipastikan diputar kembali untuk manfaat lainnya. Sementara pasokan sayuran berasal dari petani lokal. Proses ini lantas dinarasikan dalam buku menu agar konsumen mengetahui dan tertarik.

"Ini circle ekonominya benar-benar berputar. Jadi maknanya bukan di keuntungan, tapi kami memberi edukasi ke konsumen. Nah kami membuatnya dengan fun, karena ini untuk masa depan kita," ungkapnya.

Baca Juga: Sawit dan Komitmen Palsu Penurunan Emisi
Bahaya Memperluas Perkebunan Kelapa Sawit bagi Masa Depan Hutan Indonesia

Cara Pandang Baru, Meski Harga Masih Utama

Salah satu peserta, Rendy (25 tahun), mahasiswa Politeknik Bandung mengaku, topik lingkungan memang selalu menarik. Terutama bagi generasi muda yang sangat sadar terkait persoalan ini.

Rendy melihat, sertifikasi RSPO adalah langkah untuk meninjau ulang kelapa sawit. Itulah mengapa dibuat skema standarisasi atau sertifikasinya, agar menjadi acuan masyarakat untuk melihat dan menilai produk kelapa sawit sudah berkelanjutan atau belum. Namun sebagai masyarakat awam, pertimbangan utamanya masih pada harga. Ecolabel masih nomor dua.

”Sebenarnya kalau sebagai masyarakat awam ya, gak terlalu aware soal minyak kelapa sawit berkelanjutan. Kita gak liat ini RSPO atau enggak, sebagai masyarakat tetap kita liatnya harga (dulu),” katanya singkat.

Perwakilan pemerintah dari Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperdagin) Jawa Barat, Meidy Mahardani menyatakan, pemerintah sudah concern mendorong industri hijau. Di Jabar ada beberapa kebijakan dan kegiatan. Misalnya, ada anjuran agar ASN berangkat kerja setiap Jumat-Sabtu dengan sepeda. Lalu ada program pelatihan pengolahan limbah agar diproses menjadi sesuatu yang lebih berguna. Terakhir berkolaborasi dengan berbagai pihak, untuk sosialisasi dan edukasi, seperti kolaborasi dengan WWF Indonesia.

"Kita memang sudah berulangkali melakukan sosialisasi industri hijau dan konsumen cerdas," katanya.

**

*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//