Rineka Padjadjaran: Empat Lakon Teater tentang Perang dan Kemanusiaan
Apa pun alasannya perang selalu meninggalkan luka-luka tak tersembuhkan bagi kemanusiaan. Rineka Padjadjaran mengajak merenungkan dampak perang.
Penulis Selsha Septifanie Gunawan22 Juni 2025
BandungBergerak.id - Empat tentang dampak perang dipentaskan dalam teater kolaboratif bertajuk “Rineka Padjadjaran”, Unpad, Jumat, 20 Juni 2025. Pementasan ini merupakan proyek kolaborasi antara mahasiswa semester 4 Program Studi Sastra Jerman dan mahasiswa semester 6 Program Studi Sastra Prancis, Universitas Padjadjaran (Unpad). Masing-masing lakon menggambarkan kepiluan pascaperang yang masih relevan hingga hari ini, dari kehilangan hingga trauma yang tidak pernah pulih.
Pertunjukan dibuka dengan tiga cerita pendek karya Wolfgang Borchert, disajikan oleh mahasiswa Sastra Jerman. Lakon pertama, “Die Küchenuhr” (Jam Dapur), berkisah tentang seorang pria yang kembali dari Perang Dunia II dan mendapati bahwa segalanya telah hilang. Satu-satunya benda yang tersisa hanyalah sebuah jam dapur yang rusak—simbol waktu yang telah berhenti.
Cerita kedua bertajuk “Die Kirsche” (Sebuah Ceri), mengangkat konflik antara seorang anak dan ayahnya karena sebutir ceri. Dari konflik kecil ini tersirat luka besar: kemiskinan, kelaparan, dan kehilangan yang membekas bahkan setelah perang usai.
Lakon ketiga, “Das Brot” (Sebuah Roti), menutup rangkaian cerita pendek Borchert. Ia menggambarkan relasi sepasang suami istri yang mulai retak hanya karena sepotong roti. Dalam keheningan dan kelaparan, rasa percaya sirna, dan hubungan paling mendasar antar manusia pun terguncang.
Setelah tiga kisah pasca perang dari Borchert, panggung kemudian disambut oleh penampilan mahasiswa Sastra Prancis lakon berjudul “Une Belle Soirée d'Anniversaire” (Malam Ulang Tahun yang Indah). Cerita ini menghadirkan tokoh Gabriel yang hidup dalam bayang-bayang rasa bersalah dan trauma keluarga pascaperang. Ia kehilangan ibunya tak lama setelah merayakan ulang tahun bersama ibu dan kakaknya, Emma. Gabriel lalu dijauhi, bahkan disalahkan atas tragedi pemerkosaan yang menimpa kakaknya.
Di pertengahan cerita, Gabriel digambarkan meninggal dalam kebakaran, namun kemudian “hidup kembali”. Lakon ini tidak menawarkan akhir eksplisit, membiarkan penonton menafsirkan sendiri apakah Gabriel memilih hidup atau mengakhiri hidupnya. Kekuatan naratif yang terbuka ini menjadi ciri khas karya yang sarat perenungan.
Lakon "Malam Ulang Tahun yang Indah" disutradarai oleh Ara. Cerita tentang Gabriel yang dibayangi rasa bersalah dan trauma ini, menurut Ara, memang sengaja dirancang tanpa akhir yang pasti.
“Sebenarnya kalau pesan dan interpretasi, kita tuh membebaskan banget ke penonton. Karena ending-nya juga kita nggak buat yang langsung kasih moral atau gimana. Jadi memang kita ingin memberi awareness, mungkin, ke trauma-trauma yang seperti itu,” ujar Ara.
Ia pun berharap pementasan ini dapat menjadi ruang untuk refleksi sosial dan psikologis, bukan semata pertunjukan.
Melalui panggung, luka-luka kemanusiaan akibat perang dihadirkan kembali, bukan untuk menyenangkan, tetapi untuk diingat dan direnungkan—bahwa apapun alasannya, perang selalu meninggalkan trauma dan menginjak-injak kemanusiaan.
Baca Juga: Jejak Dosa di Ujung Malam Garapan Teater Lakon, Menggabungkan Seni Pertunjukan dan Film
Mamma Mia The Musical Re-run, Merayakan Teater Musikal Sebagai Seni Pertunjukan Komersial

Membaca Borchert, Membaca Luka Kemanusiaan
Kamelia, dosen pengampu mata kuliah Analisis Sastra pada Program Studi Sastra Jerman, menjelaskan relevansi kuat karya Wolfgang Borchert dengan situasi sosial masa kini. Menurutnya, trauma pascaperang dalam cerita Borchert adalah cerminan dari dunia hari ini.
“Apa yang terjadi di sana—bahwa dunia kita sedang tidak baik-baik saja, bahwa ada ketidakjujuran, ada solidaritas yang pudar, ada ketidakpercayaan antar anggota keluarga, ada persaingan satu sama lain. Itu sangat relevan dengan situasi masa kini. Jadi walaupun konteksnya trauma pasca-perang, tapi tetap aktual,” ujar Kamelia.
Ia juga menekankan pentingnya memahami masa pascaperang dalam sejarah Jerman. “Jadi, kalau tidak ada Perang Dunia II dan masa setelahnya, kemahakuasaan Hitler tidak akan berhenti, dan Jerman tidak akan menjadi negara seperti sekarang ini. Oleh karena itu, karya-karya yang dihasilkan pada masa itu tentu saja menjadi momen yang sangat penting bagi kita untuk bisa membaca masa lalu lewat kacamata masa kini,” katanya.
Melalui pementasan karya Borchert, mahasiswa tidak hanya berlatih seni peran, tetapi juga belajar melihat sejarah dan nilai-nilai kemanusiaan dari sudut pandang sastra.
Dilansir dari Britannica, Wolfgang Borchert (1920–1947) dikenal sebagai penulis cerita pendek dan naskah drama yang merekam penderitaan tentara Jerman setelah Perang Dunia II. Ia diwajibkan masuk militer pada 1941, dan selama bertugas mengalami berbagai penderitaan fisik—penyakit kuning, malnutrisi, radang dingin, hingga kerusakan hati.
Borchert banyak menulis dari pengalaman pribadi, termasuk masa kecil, pengalaman dipenjara, dan kerasnya kehidupan militer. Tokoh-tokoh dalam karyanya kerap digambarkan menderita secara fisik maupun batin, berjuang mencari makna hidup, namun akhirnya tewas.
Dalam dinas militer, ia beberapa kali dipenjara karena dituduh memutilasi diri dan melakukan desersi. Ia juga menulis surat-surat yang mengejek Nazi dan Menteri Propaganda Joseph Goebbels. Setelah perang, ia sempat mendirikan kelompok teater, namun harus mundur karena kondisi kesehatannya yang memburuk. Dalam dua tahun terakhir hidupnya, ia menulis banyak karya, termasuk “Draußen vor der Tür” (Di Luar Pintu), yang menjadi tonggak penting sastra Jerman pascaperang. Ia meninggal di usia 26 tahun (November 1947), sehari sebelum drama tersebut dipentaskan untuk pertama kalinya.
***
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB