• Berita
  • Jejak Dosa di Ujung Malam Garapan Teater Lakon, Menggabungkan Seni Pertunjukan dan Film

Jejak Dosa di Ujung Malam Garapan Teater Lakon, Menggabungkan Seni Pertunjukan dan Film

Pementasan teater berjudul Jejak Dosa di Ujung Malam berangkat dari kejadian nyata di sekitar kampus UPI, Bandung tentang sekte tertentu.

Pertunjukan Teater Lakon di Ruang Amphitheater Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Bandung, membawakan cerita Jejak Dosa di Ujung Malam, 4 September 2024. (Foto: Ivan Yeremia/BandungBergerak)

Penulis Ivan Yeremia10 September 2024


BandungBergerak.idRuang Amphitheater Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) menjadi sunyi ketika perhelatan bertajuk Jejak Dosa di Ujung Malam dimulai, 4 September 2024. Suara musik gamelan Sunda mengiringi pementasan tahunan dari kelompok teater Lakon tersebut. Masalah uang, perjudian, pemujaan, dan kesengsaraan rakyat menjadi alur cerita pertunjukan ini.

Kisah teater diawali dari percakapan antara Pak RT dan Mamat (hansip) yang melakukan tugas rutin meronda. Mereka berbincang di sebuah pendopo dekat warung kopi Ceu Darsih. Kemudian datang seorang pemuda bernama Randika, warga baru di kampung tersebut. Sudah menjadi kebiasaan, Mamat dan Pak RT mengajak warga baru untuk melakukan ‘ritual awal’, sebuah kegiatan yang biasa mereka lakukan sebelum jaga malam berkeliling kampung, yaitu berjudi.  

Di tengah permainan dan percakapan mereka, datang seorang pemuda lain bernama Barret. Ia sedang mencari Bima, salah satu warga kampung yang memiliki hutang padanya. Mulai dari situlah kejanggalan demi kejanggalan terjadi yang menjadi awal alur kisah ini: kehidupan keluarga Bima yang secara tiba-tiba menjadi kaya lalu tiba-tiba sengsara.

Kematian Halim, ayah Bima, terus saja menjadi gosip warga sekitar. Mereka merasa bahwa Halim menggunakan ilmu hitam untuk menjadikan keluarganya kaya raya. Wewangian ketika bulan purnama, banyaknya aksara Sunda di rumah tersebut, dan kematian Halim yang tidak wajar menjadi alasan gosip merebak.

Babak demi babak dimainkan. Rahasia keluarga Bima diungkapkan secara gamblang.

Ternyara benar, Halim mendapatkan kekayaan dengan cara tak wajar. Ia memasuki sebuah sekte yang membuatnya kaya abadi. Sekte yang dipimpin oleh Ki Warsa dapat membuat siapa pun menjadi kaya raya dengan syarat-syarat yang aneh meskipun sangat mudah dilakukan.

Syarat aneh tersebut adalah.

  1. Memiliki keturunan yang wajib melanjutkan jejaknya;
  2. Memiliki ruangan pribadi untuk bersemedi yang tidak boleh disentuh oleh siapa pun;
  3. Melakukan ritual pengabdian di setiap bulan purnama;
  4. Keluar sama dengan mati;
  5. Melanggar sama dengan menyetujui;

Di akhir kisah, Bima ternyata melanjutkan jejak ayahnya, Halim. Ia bukan hanya mengikuti jejak sang ayah untuk bergabung dalam pemujaan sekte tersebut tetapi juga mengikuti karakter ayahnya yang sering berjudi dan berwatak keras kepada anggota keluarganya.

Para pemain Teater Lakon di Ruang Amphitheater Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Bandung, yang membawakan cerita Jejak Dosa di Ujung Malam, 4 September 2024. (Foto: Ivan Yeremia/BandungBergerak)
Para pemain Teater Lakon di Ruang Amphitheater Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Bandung, yang membawakan cerita Jejak Dosa di Ujung Malam, 4 September 2024. (Foto: Ivan Yeremia/BandungBergerak)

Apa yang Terjadi di Sekitar Kampus UPI

Apa yang ditampilkan oleh teater Lakon sebenarnya ingin merespons kejadian yang beberapa waktu lalu ramai diperbincangkan di sekitar kampus UPI, yaitu mengenai sekte pemujaan tertentu.

Irfan Baruzaman (24 tahun) sebagai sutradara pementasan Jejak Dosa di Ujung Malam menjelaskan, ia tidak ingin membuat narasi tentang baik dan buruknya suatu sekte tertentu karena menurutnya itu adalah bagian dari masyarakat dan masyarakatlah yang akan memberikan penilaian terhadap kelompok tersebut.

Irfan dan Dilla Nur Asa (21 tahun) sebagai penulis naskah, lebih ingin menyoroti bahwa hal-hal yang biasanya di luar norma selalu berakhir tidak jelas.

“Maksud tidak jelas tuh gini, kamu bisa dapat uang cepat good ending dong itu. Tapi keluarga kamu mati bad ending. Ga jelas kan itu,” ujar Irfan, kepada tim BandungBergerak.

Permasalahan tentang keuangan diambil karena memiliki premis yang serupa. Judi dan utang juga memiliki beberapa persamaan. Setiap orang bisa mendapatkan sesuatu secara cepat dan mudah tetapi risiko yang harus ditanggung di akhir pun menyedihkan.

“Ya kalau judi bisa menyebabkan kemiskinan karena sering lost bet. Kalau utang kan bad endingnya soal bunga, kalau sekte bad ending-nya keluarganya hilang,” ujar Irfan, mahasiswa yang tertarik bergabung ke kelompok teater Lakon karena melihat seniornya tertidur di atas panggung saat pementasan Mokaku UPI.

Pementasan ini berhasil memotret kehidupan yang ada di Indonesia saat ini ketika banyak orang ingin menghasilkan uang cepat dengan bermain judi.

Menurut data yang dikeluarkan oleh Menkopolhukam pada Juni 2024 sebanyak 4 juta orang di Indonesia telah kecanduan judi online. Dengan 80 persen pemain judi justru berasal dari kalangan masyarakat menengah ke bawah.

Pementasan ini juga ingin memberikan gambaran bahwa apa yang dilakukan oleh orang tua akan selalu meninggalkan jejak ke generasi-generasi selanjutnya.

“Ya ungkapan like father like son tuh benar adanya. Kami ingin menunjukkan bahwa ada jejak karakter dan kebiasaan yang ditinggalkan oleh orang tua ke anaknya,” ujar Dilla, yang mengambil dua peran paling vital dalam pementasan yaitu sebagai penulis naskah dan pimpinan produksi.

Selain jejak karakter akan ada juga jejak dosa yang ditinggalkan. Apalagi ketika syarat-syarat untuk melakukannya melibatkan anggota keluarga lainnya.

Baca Juga: Mahasiswa ISBI Bandung Menyuarakan Isu-isu Sosial dan Kritis di Hari Teater Seni Sedunia 2024
Praktik Kotor Calon Kepala Daerah dalam Lakon Teater Awal Bandung
Potret Kehidupan Kelas Proletar Lewat Teater Sektor Ketiga

Teater Lakon sebagai Ruang Eksplorasi

Dalam pementasan ini ada satu eksperimen baru yang dicoba oleh teater Lakon yaitu menggabungkan antara teater yang diadegankan langsung di atas panggung dan juga film yang ditampilkan melalui proyektor.

Hal ini mereka lakukan karena merasa bahwa seni tidak memiliki batasan tertentu, jadi segala bentuk eksplorasi ekspresi layak untuk dicoba. 

Meskipun bukan kelompok seni pertama yang melakukan hal tersebut, tetapi teater Lakon merasa masih ada beberapa kesulitan untuk menyesuaikan antara pertunjukkan film dan pementasan di atas panggung.

Perlakuan terhadap naskah, aktor, dan setting tempat menjadi penyesuaian tersulit untuk menggabungkan antara pementasan teater dan film.

Dzikri Yudha (21 tahun) sebagai mahasiswa Komunikasi dan Penyiaran di Universitas Muhammadiyah Bandung yang menjadi asisten dalam pementasan ini mengatakan, ada keselarasan dan konsistensi antara apa yang para tokoh tampilkan di atas panggung dan apa yang ditampilkan di dalam film.

“Satu hal yang sangat jauh berbeda adalah segi vocal. Kita kan tahu bahwa vokal dalam teater itu sangat tinggi dan bagaimana ketika dijadikan dalam sebuah film ciri khas berbicara tidak boleh hilang tetapi vokalnya harus diturunkan” ujar Dzikri yang bangga bergabung dengan proyek pertunjukan ini karena teater Lakon menurutnya kelompok seni yang besar di Bandung.

Irfan, Dilla, dan Dzikri berharap ke depannya Lakon terus membuka ruang yang besar untuk bereksperimen dengan ragam format yang lebih luas lagi.

“Setiap orang punya otak dan rasa yang berbeda, kalau misalkan mau dan mampu kenapa tidak,” ujar Irfan.

Mereka juga ingin kedepannya tidak ada lagi mengkotak-kotakkan seni pertunjukkan teater dan film. Pementasan ini menunjukkan bahwa keduanya bisa dinikmati bersamaan tanpa mengecilkan satu karya tertentu.

*Kawan-kawan yang baik, silakan menengok tulisan-tulisan lain dari Ivan Yeremia, atau artikel-artikel lain tentang Pertunjukan Teater

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//