Sirine Jam Malam di Babakan Ciparay, Kebijakan yang Berhadapan dengan Pemenuhan Hak-hak Kebebasan Anak
Jam malam pelajar diberlakukan di Jawa Barat. Apakah kebijakan ini efektif membangun karakter remaja?
Penulis Ryan D.Afriliyana 23 Juni 2025
BandungBergerak.id - Tepat pukul 21.00 WIB di RW 1 Babakan Ciparay, Kota Bandung, suasana malam yang masih dipenuhi aktivitas anak-anak tiba-tiba berubah. Suara sirine yang keras menggema dari salah satu pos ronda, memaksa mereka membubarkan diri dan kembali ke rumah masing-masing.
Jam malam bagi pelajar, sebagaimana diatur dalam Surat Edaran Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi Nomor 51/PA.03/DISDIK, telah mulai diberlakukan di berbagai wilayah. Aturan ini membatasi aktivitas pelajar di luar rumah dari pukul 21.00 hingga 04.00 WIB, dan pelaksanaannya melibatkan aparat kepolisian, militer, serta Satpol PP dalam patroli malam.
Ketua RW 1 Babakan Ciparay, Iyay Yayat Hidayat, menjelaskan bahwa penggunaan sirine sebagai penanda jam malam merupakan solusi praktis yang dicetuskannya setelah melihat RW tetangga menyampaikan aturan secara keliling.
“Memanfaatkan salah satu pos RW yang di mana ada pengeras suara mungkin lebih efektif ketika warga masyarakat sudah ada diam di rumah masing-masing, begitu pun anak-anak yang di bawah usia pendidikan,” jelas Iyay, Jumat, 13 Jnui 2025.
Beberapa warga menyambut positif kebijakan ini. Eva Novianti, misalnya, merasa aturan tersebut membawa perubahan pada pola tidur anaknya.
“Anak saya biasanya kalau sekolah pagi susah gitu kan, karena kan malam tidurnya nggak teratur. Kalau untuk sekarang mah setengah enam pagi udah bangun,” ujarnya.
Ia pun lebih memilih pendekatan emosional ketimbang hukuman dalam menghadapi perilaku anak. Ia berusaha selalu merangkul anaknya, mencoba memahami apa yang diinginkan anaknya.
Sikap serupa disampaikan Leni Marlina yang merasa terbantu dengan adanya “alarm” jam 9 malam. “Ada aturan ini mah mendingan, jam 9 juga udah pulang. Sebelumnya mah susah, sekarang mah alhamdulillah,” kata Leni, sambil menambahkan bahwa ia siap mendampingi anaknya bila memang harus beraktivitas malam hari.
Suara Pelajar: Ketakutan, Dilema, dan Tuntutan Edukasi
Pandangan berbeda datang dari pelajar yang merasakan langsung dampak kebijakan ini. Najib, siswa SMA Negeri 1 Dayeuhkolot, mengungkapkan bahwa penerapan jam malam justru menciptakan stigma negatif terhadap remaja.
“Seakan-akan remaja adalah pelaku kejahatan yang harus diawasi,” ungkapnya saat ditemui di Dayeuhkolot.
Dalam catatan hariannya, Najib sampai menulis mempertanyakan efektivitas pendekatan represif yang diterapkan pemerintah. “Ini bukan mendidik tapi mengebiri hak. Kalau memang tujuannya demi keamanan dan ketertiban, mengapa harus memangkas kebebasan secara menyeluruh?” ujarnya.
Andrean, siswa lainnya, mengaku pernah berada dalam posisi dilema saat kegiatan sekolah berlangsung hingga larut malam. “Waktu itu saya pernah berlatih di sekolah itu sampai sekitar jam 9-an, itu kan bingung juga kita kalau kita mau pulang kan takutnya nanti tiba-tiba dirazia oleh polisi kan ya,” ujar SMK Negeri 10 Bandung, lewat sambungan telepon.
Menurut Andrean, kebijakan ini masih menyisakan ketidakjelasan dan perlu dikaji ulang. Ia menyarankan agar pemerintah fokus pada pemberantasan kejahatan, bukan membatasi mobilitas siswa. “Saran saya sih jangan melarang siswanya untuk keluar malam tapi berantas kejahatannya agar siswa nyaman keluar malam,” tuturnya.
Gagasan Jam Malam
Aturan jam malam bagi pelajar digagas Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi. Saat kunjungan ke Subang, Rabu, 28 Mei 2025, pria yang akrab disapa KDM menyoroti soal kenakalan remaja di Jawa Barat. Maka, penerapan jam malam harus diperhatikan dengan sungguh-sungguh dan jangan dianggap sepele.
Melalui Surat Edaran Gubernur Jabar Nomor 51/PA.03/Disdik, KDM mendorong Bupati/Wali Kota untuk mengoordinasikan pemberlakuan jam malam ini kepada tingkat kecamatan hingga desa.
Ia menegaskan, setelah diterapkan aturan jam malam bagi pelajar, maka Pemdaprov Jabar tidak akan menanggung atau memberi bantuan kepada pelajar yang terlibat kenakalan dengan unsur kekerasan dan terjadi di saat pemberlakuan jam malam, seperti misalnya tawuran, perkelahian, dan sejenisnya mengalami hal tak diinginkan hingga membutuhkan penanganan medis di fasilitas kesehatan.
"Setelah Gubernur memberlakukan jam malam, kalau ada anak Jawa Barat yang berkelahi, tawuran, kemudian ia harus masuk rumah sakit, Pemda Provinsi Jabar tidak akan membantu pembiayaan," tegas KDM, dalam keterangan resmi.
Pemberlakuan jam malam bersamaan dengan aturan jam masuk sekolah selama lima hari dalam seminggu, yakni Senin-Jumat. Tujuan regulasi ini guna menciptakan suasana kondusif bagi tumbuh kembang generasi muda. KDM ingin mendorong generasi Jawa Barat Gapura Panca Waluya, yakni generasi penerus yang berkarakter cageur (sehat), bageur (berbudi pekerti), bener (berintegritas), pinter (berpengetahuan), dan singer (cekatan).
Baca Juga: PELAJAR BERSUARA: Menelisik Perspektif Pelajar terhadap Batik
Suara Pelajar di Aksi Kamisan Bandung ke-423, Menyoroti Maraknya Sengketa Lahan di Kota Bandung
Geng Motor, Kompleksitas Kenakalan Remaja, dan Kerawanan Malam Hari
Femonena kenakalan remaja khususnya pada malam hari menjadi alasan tersendiri diberlakukan jam malam di Jawa Barat. Diketahui, ada masanya kota-kota di Jawa Barat, seperti Bandung, mencekam pada malam hari. Maraknya aksi kriminalitas, tawuran, geng motor, dan lain-lain menjadi penyebab Bandung menyandang julukan 'Gotham City', mengacu kota fantasi dalam serial Batman.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2021 kejadian kriminal di Kota Bandung mencapai 2.418 kasus, di antaranya terjadi pada malam hari yakni sebanyak 1.135 kasus.
Namun, masalah kenakalan remaja tidak sesederhana membatasi jam keluar malam. Salah satu bentuk nyata yang selama ini meresahkan masyarakat adalah fenomena geng motor. Berdasarkan jurnal “Konstruksi Sosial Anggota Geng Motor di Kota Bandung” oleh Purwanti Hadisiwi dan Jenny Ratna Suminar dari Universitas Padjadjaran, geng motor awalnya merupakan kumpulan remaja pecinta motor yang gemar melakukan balapan di jalanan, terutama pada malam hingga dini hari. Namun, aktivitas ini berkembang menjadi aksi yang beringas dan mengganggu ketertiban masyarakat.
Fenomena ini semakin kompleks ketika dikaji dari aspek identitas sosial. Dalam jurnal “Kriminalitas dan Pembentukan Identitas Sosial Geng Motor” oleh Bambang Mudjiyanto, Launa, dan Hayu Lusianawati dari BRIN dan Universitas Sahid Jakarta, disebutkan bahwa geng motor mengalami evolusi dari komunitas hobi menjadi entitas yang distigma sebagai pelaku tindak kriminal.
Identitas sosial kelompok ini terbentuk dari kategori sosial, prototipe, hingga stereotip yang mengarah pada citra negatif. Gejala seperti kebingungan peran, gangguan pengendalian emosi, dan pencarian sensasi turut memperkuat keterlibatan remaja dalam kelompok geng motor. Ketika remaja melebur ke dalam norma dan ekspektasi kelompok geng motor, konsep diri positif yang berasal dari keluarga dan masyarakat menjadi terpinggirkan.
Kajian tersebut menyimpulkan bahwa pembentukan identitas remaja dipengaruhi oleh banyak variabel, mulai dari lingkungan keluarga hingga sekolah. Oleh karena itu, upaya menangani kenakalan remaja memerlukan strategi komprehensif dan kolaboratif yang melibatkan semua elemen pendidikan dan sosial.
Namun, Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandung Heri Pramono menilai, sistem jam malam bukan solusi efektif untuk mengatasi kenakalan remaja. Ia menekankan bahwa negara semestinya hadir sebagai pelindung hak anak, bukan sekadar penegak ketertiban. Adapun maraknya tingkat kriminalitas pada malam hari merupakan tanggung jawab negara untuk menciptakan rasa aman bagi semua kalangan, termasuk bagi anak-anak.
“Justru keamanan itu adalah tugas negara gitu,” kata Heri, saat dihubungi BandungBergerak. “Dalam misalanya pemberantasan-pemberantasan tindakan kriminal saat malam hari.”
Heri mempertanyakan efektivitas sistem ini dalam membentuk karakter anak-anak. “Memperbaiki karakter siswa kan bisa ya dari institusi pendidikannya saja, tanpa ada campur tangan aparat keamanan. Terus maksimalkan lembaga pendidikan itu ya, diberi fasilitas dan kewenangan berkaitan sesuai dengan isu kependidikannya. Bukan pendekatan terkait dengan keamanan ya gitu,” kata Heri.
Ia juga mengingatkan bahwa Pasal 28B ayat (2) UUD 1945 menjamin hak anak untuk tumbuh dan berkembang tanpa diskriminasi dan kekerasan.
Senada dengan itu, Direktur Amnesty International Indonesia Usman Hamid menilai, pemberlakuan jam malam bukan bentuk perlindungan, tetapi pengawasan represif yang membatasi ruang hidup anak-anak.
“Pemberlakuan jam malam hanya untuk pelajar adalah suatu bentuk diskriminasi terhadap anak,” tulisnya dalam siaran pers Amnesty International Indonesia, 16 Juni 2025.
Menurut Usman, pendisiplinan anak bukanlah suatu alasan yang sah secara hukum untuk memberlakukan aturan jam malam yang membatasi hak kebebasan pribadi. Pemerintah Provinsi Jawa Barat seharusnya menggunakan pendekatan lain dalam rangka mendisiplinkan anak seperti dialog dan peningkatan kesadaran," diakses pada laman Amnesty International Indonesia.
Penerapan jam malam terhadap anak-anak, namun tidak terhadap kelompok usia lain, menunjukkan perlakuan yang tidak setara dan menciptakan stigma negatif bagi anak-anak yang berada di luar rumah pada malam hari.
Usman mengingatkan bahwa kebijakan ini bertentangan dengan Konvensi PBB tentang Hak-Hak Anak yang telah diratifikasi Indonesia melalui Keputusan Presiden No. 36 Tahun 1990. Negara, katanya, berkewajiban menjamin kebebasan anak dari diskriminasi dan perlakuan yang merugikan.
***
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB