Mendongengkan Alun-alun Bandung Dulu dan Kini Bersama Komunitas Aleut
Pembangunan Alun-alun Bandung menghasilkan banyak perubahan. Tidak sedikit yang hilang dan berganti menjadi suasana yang asing.
Penulis Reza Khoerul Iman26 Juni 2025
BandungBergerak.id – Lima buku tentang Bandung tertumpuk di bangku kecil di Perpustakaan dan Toko Buku Rasia Bandung. Ukurannya beragam, dari yang besar dan tebal sekali hingga yang ringkas. Di hadapan tumpukan itu, pada Minggu sore yang terik, 22 Juni 2025, Alex Ari bersiap memulai kegiatan Dongeng Bandung yang diselenggarakan oleh Komunitas Aleut untuk menceritakan kisah Alun-alun Bandung.
Bagi sebagian orang, Alun-alun Bandung mungkin identik dengan hamparan rumput sintetis di depan Masjid Raya Provinsi Jawa Barat (Masjid Agung). Yang lain, mungkin teringat kenangan masa kecil saat mereka berlari-lari di antara kerumunan, membeli jajanan kaki lima, atau sekadar rekreasi bersama keluarga sambil melihat air mancur yang dinyalakan dan dihiasi lampu-lampu.
Namun, di balik keriuhan dan wajah baru Alun-alun Bandung hari ini, ada banyak kisah lama yang jarang terungkap. Kisah tentang bagaimana ruang ini dulu jadi pusat keramaian, tempat diselenggarakannya rapat-rapat besar, juga ruang untuk menonton, olahraga, berdagang, bahkan mengeksekusi hukuman.
Itulah yang coba dihadirkan oleh Komunitas Aleut melalui program “Dongeng Bandung”. Mereka ingin menceritakan kembali memori dan sejarah dari sudut-sudut kota yang akrab namun sering terlupakan. Pertemuan di Minggu sore itu sudah menjadi pertemuan kedua.
Alex Ari, pegiat Komunitas Aleut, menceritakan bahwa konsep alun-alun sebenarnya sudah ada sejak zaman kerajaan, terutama di pulau Jawa. Sebagai contoh, di depan istana Kerajaan Majapahit terdapat Alun-alun Bubat, bahkan alun-alun secara khusus disebutkan sebagai bagian penting dari ibu kota Kerajaan Mataram.
“Itu fenomena di kota-kota di pulau Jawa, dari kota besar setingkat ibu kota kerajaan sampai ke mungkin setingkat dulunya kawadanaan atau kecamatan gitu. Bahkan mungkin kalau yang desa atau desanya cukup besar mungkin di situ juga ada ada alun-alun,” tuturnya kepada para peserta yang hadir di program Dongeng Bandung, Minggu, 22 Juni 2025.
Kata alun-alun, lanjut Alex Ari, sebenarnya merupakan serapan dari bahasa Jawa yang artinya ombak lautan. Makna "gelombang lautan" ini berakar dari sebuah kegiatan tradisional yang diselenggarakan di alun-alun ibu kota Kerajaan Mataram yang dikenal dengan nama Rampogan.
Tradisi Rampongan adalah atraksi di mana macan dilepaskan di tengah alun-alun, lalu diburu oleh prajurit-prajurit yang mengelilinginya. Rakyat biasa juga diizinkan untuk menyaksikan kegiatan ini. Apabila dilihat dari kejauhan, terutama dari ketinggian atau dari tempat raja duduk, gerakan lautan manusia yang memburu macan tersebut akan tampak menyerupai ombak lautan yang bergulung-gulung.
Seiring berjalannya waktu, makna alun-alun kemudian bergeser. Dalam buku Haryoto Kunto yang berjudul Semerbak Bunga di Bandung Raya, Prof. van Romondt (1962) menuturkan bahwa pada dasarnya alun-alun merupakan halaman depan rumah para penguasa, raja, bupati, wedana, dan camat.
“Sedangkan pusat kegiatan masyarakat sehari-hari dalam ihwal pemerintahan, militer, perdagangan, kerajinan dan pendidikan, semua terselenggara di seputar istana sang penguasa (Lewis Mumford, “The City in History”, 1961),” terang sang Kuncen Bandung, sebutan Haryoto Kunto.
Makna alun-alun dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) diartikan sebagai tanah lapang yang luas di muka keraton atau di muka tempat kediaman resmi bupati dan sebagainya.
Lalu–setelah sistem kerajaan atau feodal lenyap–makna alun-alun kembali bergeser dan berubah bentuk tidak lagi berupa lahan kosong berumput, melainkan sudah dibangun menjadi sebuah taman dengan air mancur dan pot bunga, berfungsi sebagai tempat rekreasi dan olahraga pada Minggu pagi.
Komponen dan Fungsi Alun-alun
Jika diperhatikan secara detail, kawasan alun-alun di kota-kota besar Jawa seperti Bandung, Yogyakarta, atau Solo dengan detail selalu disertai bangunan-bangunan khas seperti pendopo, masjid agung, dan pasar. Alex Ari menerangkan, bangunan-bangunan tersebut sudah menjadi komponen yang membentuk satu kesatuan tata ruang kota tradisional yang disebut catur gatra (empat unsur).
“Di Lembang juga sama ada alun-alun Lembang, ada masjid agungnya, pasar, dan ada rumah penguasa lokalnya. Atau katakanlah kota lain Sumedang, Garut, atau Cianjur bisa dilihat juga hampir sama gitu ya. Ada masjid agung, alun-alun, rumah bupati, dan pasar. Empat unsur itu yang dinamakan catur gatra,” jelasnya.
Bangunan masjid sebenarnya baru masuk ke dalam komponen catur gatra setelah ajaran Islam menyebar di Nusantara. Haryoto Kunto dalam bukunya menyebut, hanya ada tiga komponen saja yang melengkapi alun-alun, misalnya pada zaman Hindu di Alun-alun Bubat yang terletak di depan istana Kerajaan Majapahit hanya ada bangunan istana raja/bupati, rumah patih, dan pasar yang menghiasi alun-alun.
Kemudian kehadiran kompeni Belanda yang menjajah Nusantara turut memberikan perubahan terhadap warna, bentuk, dan corak baru dalam tata kota di sekitar alun-alun.
“Setelah Daendels rampung membangun Jalan Raya Pos dari Anyer sampai Panarukan yang menelan korban 30.000 “koeli priboemi”, tiga komponen baru mengambil tempat di sisi alun-alun. Loji (kantor dagang) kompeni yang terletak berhadap-hadapan dengan pendopo kabupaten, kantor pos dengan kandang kuda di halaman belakangnya, dan sebuah bui atau penjara,” tulis Haryoto Kunto.
Secara umum fungsi alun-alun digunakan sebagai ruang publik dan pertemuan. Masyarakat sering bersantai, berkumpul, dan berdagang di sana. Sampai hari ini fungsi tersebut masih berfungsi.

Alun-alun Bandung
Secara historis alun-alun bukan hanya digunakan untuk ruang rekreasi. Dulu, berbagai kegiatan seperti pertandingan sepak bola, atraksi tradisional seperti Rampogan, hingga tempat untuk melakukan hukuman juga pernah dilakukan di alun-alun.
Alun-alun Bandung pun memiliki sejarah panjang dan berbagai fungsi serta peran yang telah berubah seiring waktu. Usianya sudah setua Kota Bandung itu sendiri. Berawal dari perintah Daendels pada tahun 1810 untuk memindahkan ibu kota Kabupaten Bandung dari Dayeuhkolot–yang kelewat jauh sekitar 11 kilometer di selatan Jalan Raya Pos.
Alex bercerita, setelah pencarian panjang, Bupati Bandung saat itu, Wiranatakusumah II, akhirnya memilih sebidang lahan di tepi barat Sungai Cikapundung, tepat di sisi Jalan Raya Pos (kini Alun-alun Bandung). Lokasi ini dianggap paling ideal karena memenuhi syarat teknis dan pertimbangan mistik.
“Ada berbagai ya beberapa pertimbangan khususnya menurut pertimbangan orang tua dahulu, sebuah tempat kediaman atau kampung itu harus memiliki apa yang dinamakan paguyangan badak putih gitu atau tempat berkubangnya badak,” tutur Alex.
Seiring dengan pertumbuhan penduduk dan perkembangan tata kota di Bandung, kawasan alun-alun juga menjadi semakin ramai, terutama di malam hari. Pusat-pusat kerja di masa itu masih tersebar jauh dari jantung kota, sehingga orang-orang baru bisa keluyuran di dalam kota ketika malam hari.
Pada tahun 1920-an, Haryoto Kunto menyebut, secara bertahap orang mulai mendirikan bangunan di sekitar alun-alun, salah satunya gedung pertunjukan serbaguna “Feestterrein”. Gedung ini menyajikan beragam tontonan dan makanan.
Selain itu, Alun-alun Bandung mulai sering digunakan untuk pertandingan sepak bola dan pertunjukan seni.
Pada awal 1970-an, orang mulai mendirikan bangunan bertingkat di alun-alun timur. Kemudian disusul berdirinya beberapa gedung bertingkat sebagai “shopping centre” di Jalan Dalem Kaum seperti Kings Centre, Parahyangan Plaza, lalu Palaguna Nusantara yang menyita lahan bekas bioskop Oriental, Varia, dan Elita.
Semakin padat dan maraknya pembangunan di sekitar Alun-alun Bandung membuat Haryoto Kunto khawatir soal masa depan. Ia bahkan menilai, kalau pembangunan tidak bisa dikontrol ke depannya akan banyak gedung bertingkat dan terlihat semakin sesak.
“Alun-alun Bandung di masa depan, bakal makin berjubel dengan gedung bertingkat, apabila rencana untuk mendirikan bangunan bank di sisi barat Kabupaten (pendopo) jadi dilaksanakan,” ramal Haryoto Kunto dalam bukunya yang diterbitkan tahun 1986.
Baca Juga: Komunitas Aleut Susur Rantai Sejarah Bandung Sampai Gunung
Cerita Sebuah Kota, Suka Duka Komunitas Aleut dalam Memandu Edukasi Sejarah di Bandung
Kenangan di Alun-alun Bandung
Sebagai “jantung kota”, Alun-alun Bandung merupakan tonggak bersejarah yang bisa banyak bercerita tentang suka-ria dan duka-nestapa warga kota sepanjang masa. Ia menyimpan banyak cerita warga dan momen-momen bersejarah yang telah berlangsung.
Altha, salah satu peserta dan pegiat Komunitas Aleut, bercerita bahwa dulu bermain di Alun-alun Bandung adalah momen yang sangat dinantikan. Biasanya ia dengan keluarga akan berburu jajanan di halaman Masjid Agung Bandung.
“Jika diingat-ingat, rasanya dulu lebih dekat dan hangat ketika di Alun-alun Bandung meskipun saya tidak kenal dengan orang-orang yang ada di sana. Biasanya saya dan keluarga juga sengaja main ke alun-alun saat bulan ramadhan, tepatnya menjelang lebaran karena mau berburu baju lebaran,” kata Alhta kepada BandungBergerak.id.
Namun, Alun-alun Bandung sekarang sangat berbeda jauh dibandingkan dahulu. Sekarang walau lebih rapi dan bersih, Altha merasa kehilangan suasana meriah dan hangatnya. Ia juga belum pernah lagi masuk ke halaman Masjid Agung Bandung karena sering ditutup sehingga merasa segan dan tidak leluasa.
Bagi banyak warga seperti Altha, perubahan dan perkembangan di Alun-alun Bandung tak selalu seiring dengan perbaikan suasana. Ada yang kehilangan dan merasa wajahnya sudah kian memudar.
Atau sebenarnya Bandung sudah tidak memiliki alun-alun lagi? seperti yang pernah ditulis oleh Suwardjoko Warpani dalam Harian Pikiran Rakyat edisi 12 Oktober 1984 dengan judul “Sebenarnya, Bandung Sudah Tidak Punya Alun-alun”.
***
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB