Mekanisme Nasional Keselamatan Jurnalis Disahkan, Dewas Pers Menggandeng LPSK dan Komnas Perempuan
Mekanisme Nasional Keselamatan Jurnalis bertujuan memperkuat keamanan dan hak-hak jurnalis dalam menjalankan tugasnya di lapangan.
Penulis Yopi Muharam26 Juni 2025
BandungBergerak.id - Iklim kebebasan pers di Indonesia masih mengkhawatirkan. Kerja-kerja jurnalis di lapangan kerap kali dihantui ancaman, intimidasi, dan teror. Tak jarang, mereka menerima kekerasan fisik dan penghapusan hasil dokumentasi liputan secara paksa.
Kondisi tersebut bertentangan dengan Undang Undang (UU) UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers yang menjamin kemerdekaan pers sebagai hak asasi warga negara dan memberikan perlindungan hukum bagi wartawan dalam menjalankan profesinya.
Dengan latar belakang tersebut, Dewan Pers mengesahkan pembentukan Mekanisme Nasional Keselamatan Pers. Mekanisme perlindungan pers ini disahkan melalui melalui penandatanganan surat keputusan bersama dengan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dan Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) di Mangkuluhur Artotel Suites, Jakarta Selatan, Selasa, 24 Juni 2025.
Komaruddin Hidayat, Ketua Dewan Pers, mengatakan mekanisme ini bertujuan untuk memperkuat keamanan dan hak-hak para wartawan, khususnya ketika menghadapi tekanan dalam tugas-tugas jurnalistik yang berisiko tinggi. Ia menjelaskan, ketika wartawan melakukan liputan—terutama liputan investigasi—mereka kerap mengalami intimidasi, teror, bahkan pembunuhan. Banyak kasus kekerasan terhadap jurnalis yang hingga kini belum terungkap tuntas.
“Masalahnya, ketika ada wartawan yang melakukan investigasi terhadap kasus korupsi besar, mereka sering kali mendapatkan ancaman serius. Bahkan, ada yang sampai dibunuh dan proses hukumnya tidak pernah jelas,” ujarnya, dalam keterangan resmi, diakses Kamis, 26 Juni 2025.
Menurut Hidayat, jurnalis yang melakukan peliputan mendalam seperti mengungkap kasus korupsi atau pelanggaran HAM, berarti jurnalis sedang membela nilai-nilai demokrasi dan keadilan. Maka dari itu, harus ada sinergisitas antara kerja jurnalis dan aparat penegak hukum.
“Kami berharap ke depan, kemitraan Dewan Pers dengan para penegak hukum, terutama kepolisian, bisa menjadi pengawal yang baik bagi wartawan investigatif. Polisi harus menjadi teman dan pelindung kerja-kerja jurnalistik,” tambahnya.
Abdul Manan, Ketua Komisi Hukum dan Perundang-undangan Dewan Pers, menambahkan pembentukan Mekanisme Nasional Keselamatan Pers adalah langkah strategis untuk mengakhiri impunitas dalam kasus kekerasan terhadap jurnalis.
Manan menyadari selama ini masih banyak kasus kekerasan terhadap jurnalis tidak diproses secara hukum hingga tuntas. Dia juga mengatakan pihaknya akan mengadakan pertemuan untuk mencari tahu letak masalah dan menjawab kendala yang dialami saat pemerosesan hukum dijalani.
Namun, Manan melanjutkan, hingga saat ini pihak Kepolisian Republik Indonesia belum menandatangani SKB pembentukan satgas perlindungan jurnalis. Padahal, kata Manan, sebelumnya polisi aktif dalam penyusunan mekanismenya.
“Penegakan hukum dalam kasus pers 100 persen bergantung pada kepolisian kecuali dalam kasus tertentu. Karena itu, kami akan terus melakukan pendekatan agar polisi segera bergabung," tandasnya.
Baca Juga: Kekerasan terhadap Jurnalis Tumbuh Subur Akibat Rendahnya Dukungan Keselamatan oleh Perusahaan Media
Teror Kepala Babi dan Bangkai Tikus Menyerang Jurnalis Tempo, Peringatan Keras Bahwa Kebebasan Pers di Indonesia Berada di Tepi Jurang
Ancaman Mengintai
Tindakan teror dan kekerasan yang berujung kematian bukan hal baru bagi jurnalis. Misalnya, pembunuhan berencana yang menimpa jurnalis Tribrata TV, Rico Sempurna Pasaribu yang tewas bersama keluarganya akibat rumahnya dibakar pada 27 Juni 2024.
Teror juga ditujukan kepada kantor Redaksi Jubi Papua, berupa pelemparan bom molotov oleh orang tak dikenal PADA Rabu dini hari, 16 Oktober 2024. Dua mobil operasional terbakar dan rusak dalam kejadian ini. Hingga kini, teror tersebut tidak diusut tuntas.
Terbaru, dua teror menimpa kantor Tempo. Pertama, 19 Maret 2025, Tempo dikirim paket berisi kepala babi dengan telinga terpotong. Teror kedua, Sabtu, 22 Maret 2025, berupa paket berisi enam bangkai tikus dalam kondisi kepala terpenggal. Hingga saat ini tak diketahui pelaku utama teror.
Di tahun yang sama, kekerasan fisik menimpa jurnalis Kompas.com bernama Faqih Rohman Syafei saat meliput aksi demonstrasi menolak revisi UU TNI di Gedung DPRD Jawa Barat, Bandung, Jumat, 21 Maret 2025 malam.
Teror dan kekerasan yang menimpa jurnlalis berdampak pada psikologi jurnanlis. Dalam jurnal yang ditulis oleh Imam Nuraryo berjudul ‘Intimidasi Terhadap Jurnalis Daerah Ditinjau dari Faktr Pendorong dan Implikasi Psikologis’ menyebutkan, dalam konteks psikologi, kekerasan verbal dianggap lebih berbahaya dibandingkan kekerasan fisik.
Menurutnya, luka akibat kekerasan fisik masih mampu diobati dengan berbagai jenis obat-obatan. Akan tetapi, kekerasan verbal memerlukan pemulihan yang cenderung lebih lama karena sifatnya yang abstrak.
“Implikasi dari bentuk intimidasi ini adalah trauma secara psikologis, rasa dendam, dan perasaan cemas yang berlebih,” tulisnya (halaman 22).
Data Kekerasan terhadap Jurnalis
Setiap tahunnya, jurnalis di Indonesia kerap mengalami teror, intimidasi, bahkan kekerasan. Aliansi Jurnalis Independen (AJI) mencatat ada 73 kasus kekerasan terhadap jurnalis dan media sepanjang 1 Januari-31 Desember 2024. Jumlahnya lebih sedikit dibanding pada tahun 2023 yang mencapai 89 kasus.
Terkait kategorinya, pembunuhan satu kasus, kekerasan fisik 19 kasus, teror dan intimidasi 17 kasus, pelarangan liputan delapan kasus, ancaman delapan kasus, serangan digital enam kasus, pemanggilan klarifikasi oleh polisi tiga kasus, kekerasan berbasis gender tiga kasus, penuntutan hukum berupa gugatan perdata ke media dua kasus, perusakan alat/penghapusan data lima kasus, dan swasensor di ruang redaksi satu kasus.
Untuk pelaku kekerasan/serangan terhadap jurnalis, tertinggi adalah polisi sebanyak 19 kasus, kemudian TNI sebelas kasus, warga termasuk ormas sebelas kasus, perusahaan terkait dengan staf/pegawai perusahaan lima kasus, aparat pemerintah empat kasus, pekerja profesional empat kasus, pejabat legislatif dua kasus, pejabat pengadilan satu kasus, pekerja profesional empat kasus, rektorat kampus satu kasus, pelaku tidak dikenal sepuluh kasus.
Dari 73 kasus itu, AJI mencatat tujuh kasus serangan/kekerasan terhadap jurnalis dialami saat meliput demonstrasi kawal putusan Mahkamah Konstitusi (MK) di kompleks DPR RI dan DPRD beberapa kota, 22 Agustus 2024.
***
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB