• Berita
  • Peran Kampus di Bandung Raya dalam Merawat Ruang Aman Kebebasan Beragama Berkeyakinan

Peran Kampus di Bandung Raya dalam Merawat Ruang Aman Kebebasan Beragama Berkeyakinan

Kampus dan mahasiswa bersama-sama membangun ruang kebebasan beragama berkeyakinan, khususnya bagi mahasiswa minoritas.

Ilustrasi intoleransi dan diskriminasi. Indonesia sebagai negara bhineka (beragam) belum terhindar dari praktik-praktik intoleransi dan diskriminasi terkait kebebasan beragama berkeyakinan. (Ilustrator: Bawana Helga Firmansyah/BandungBergerak)

Penulis Yopi Muharam28 Juni 2025


BandungBergerak.idKampus menjadi ruang aman bagi kehidupan kebebasan beragama berkeyakinan (KBB). Temuan hasil liputan pers mahasiswa dari UIN SGD Bandung dan Unpad menunjukkan, nilai-nilai inklusif di kampus memang sudah berlaku. Namun, masih diperlukan penguatan agar kampus, melalui misi pendidikannnya, turut mencegah pelanggaran terhadap KBB yang marak di luar kampus.

Bagaimana peran kampus membuka ruang inklusif bagi mahasiswanya dalam memeluk kebebasan beragama berkeyakinan? Isu ini dibedah dalam diskusi bertajuk ‘Mengurai Stigma, Merajut Toleransi: Menggali Peran Kampus dalam Merawat Inklusivitas’, di aula Fakultas Ushuluddin, kampus 2 UIN Sunan Gunung Djati, Bandung, Jumat, 27 Juni 2025.

Selain dihadiri mahasiswa dari berbagai kampus di Bandung Raya, acara ini menghadirkan empat narasumber, yaitu; Mujahidah Aqilah (mahsiswa dari Lembaga Pers Mahasiswa Suaka, UIN Bandung), Fuza Nihayatul Chusna (LPM Djatinangor, Unpad), Syafira Khairani dari International NGO Forum on Indonesian Development (INFID), serta Paridah Napilah, dosen UIN SGD Bandung.

Diskusi ini berangkat dari rangkaian pelatihan dan reportase jurnalisme inklusif yang diinisiasi INFID bersama BandungBergerak selama tiga bulan terakhir. Setidaknya ada 10 reportase yang mengangkat tema inklusivitas di kampus-kampus Bandung Raya. Dua di antaranya membahas kehidupan mahasiswa minoritas dari kelompok Syiah dan mahasiswa bercadar.

Mujahidah Aqilah (LPM Suaka) bercerita, liputannya berusaha membuktikan bagaimana UIN SGD Bandung dalam membangun ruang aman bagi kebebasan beragama berkeyakinan khususnya untuk mahasiswa minotirtas. Ia mewawancara dua mahasiswa Syiah.

“Sebetulnya (tulisan) ini tuh dilatar belakangi dari kabar burung yang terdengar oleh aku dan temenku, yang mengatakan kalau tidak ada dukungan terhadap keberagaman dari kampus,” terangnya membuka diskusi.

Setelah ditelusuri, kabar burung tersebut tidak terbukti. Kendati demikian, narasumbernya belum terang-terangan menunjukkan bahwa dirinya seorang Syiah. Mereka menerapkan konsep taqiyah untuk menjalani aktivitasnya di ruang kampus.

Takkiyah bertujuan untuk menghilangkan stigma-stigma,” ujar mahasiswa jurusan Hukum Pidana Islam itu. Dalam syiah, taqiyah adalah konsep yang mengizinkan umatnya menyembunyikan keyakinan ketika berada dalam situai terancam.

Fuza Nihayatul Chusna (LPM Djatinangor, Unpad) membeberkan hasil liputannya bertajuk ‘Cadar di Unpad: Bergulat dengan Stigma Menuju Kampus Inklusif’. Narasumbernya dari kalangan mahasiswa bercadar menyatakan, mereka bercadar karena menjalani perintah agama. Ada juga narasumber yang memilih bercadar karena pernah dilecehkan laki-laki.

“Jadi dia melindungi dirinya dengan menutup memakai cadar,” tutur Fuza.

Menurut mahasiswa jurusan jurnalistik, para perempuan bercadar ini masih mendapat pandangan negatif atau stigma. Salah satu narasumbernya, kata Fuza, merasa waswas jika melihat perempuan bercadar, apalagi jika mereka berkelompok. Namun, ada juga narasumber yang berpandangan terbuka terhadap perempuan bercadar.

“Karena realitasnya di masyarakat tuh cadar ini masih diasosiasikan sebagai kelompok radikal dan gerakan politik,” ungkap Fuza.

Baca Juga: DATA PELANGGARAN KEBEBASAN BERAGAMA BERKEYAKINAN 2014-2023 DI INDONESIA: Jawa Barat Selalu Masuk 10 Besar Dalam Kurun 10 Tahun Terakhir
Diskusi Lintas Agama, Mendorong Negara untuk Tidak Melakukan Pelanggaran Kebebasan Beragama Berkeyakinan

Merawat Ruang Inklusif di Kampus: Mayoritas Bertoleransi kepada Minoritas

Paridah Napilah (dosen UIN SGD Bandung), menegaskan bahwa nilai-nilai toleransi merupakan bagian dari ajaran Islam yang mencakup cinta kasih dan sikap saling menghargai. Ia menjelaskan bahwa mahasiswa UIN telah diajarkan mengenai nilai-nilai ini dalam setiap mata kuliah di kelas.

“Mau mata kuliah misalkan filsafat, mau mata kuliah bahasa Indonesia, mau mata kuliah hukum dan sebagainya itu ada nilai-nilai terkait dengan moderasi beragama,” jelas Paridah.

Menurutnya, kampus UIN Bandung telah menjadi lingkungan yang inklusif karena memiliki jurusan Studi Agama-Agama yang secara khusus mempelajari keberagaman keyakinan. Selain itu, keberadaan Rumah Moderasi Beragama di kampus ini turut memperkuat upaya penanaman nilai-nilai toleransi.

“Terkait dengan moderasi agama itu adalah salah satu bentuk bagaimana kita supaya terus menyuarakan perdamaian baik di lingkungan kampus maupun di lingkungan di luar kampus gitu,” tuturnya.

Meski begitu, Paridah mengakui bahwa tidak semua pihak langsung terbuka terhadap perbedaan. Ia menyebut bahwa masih ada mahasiswa atau masyarakat yang berpikiran konservatif. Namun, menurutnya, hal tersebut dapat diatasi dengan menanamkan pemahaman yang dilandasi kasih sayang.

“Karena saya yakin ketika orang masih berpikir tertutup, konservatif, tidak menerima yang lain karena ketidaktahuan juga,” tandasnya.

Syafira Khairani (INFID) menyoroti isu kebebasan beragama dan berkeyakinan masih belum banyak dipahami secara luas, baik di lingkungan kampus maupun masyarakat umum. Ia menilai bahwa masih ada sikap acuh dalam menyikapi persoalan ini.

Syafira mencontohkan mahasiswa dari kelompok Syiah yang terpaksa menyembunyikan identitas kepercayaannya karena lingkungan yang belum mampu menerima perbedaan. Ia menekankan pentingnya peran kelompok mayoritas dalam menciptakan ruang inklusif.

“Spektrum toleransi itu adalah dari mayoritas ke minoritas bukan sebaliknya gitu,” jelas Syafira.

Ia menambahkan bahwa diskriminasi terhadap kelompok minoritas kerap terjadi akibat penolakan terhadap ideologi atau praktik keagamaan yang berbeda. Kondisi ini menurutnya berpotensi memicu persekusi, seperti yang dialami kelompok Syiah saat memperingati Asyura.

“Maka dari itu kita kan perlu punya kesadaran kritis ketika melihat sesuatu, mendengarkan sesuatu, dan mengetahui mengenai segala informasi,” ungkapnya.

Syafira mengutip laporan Setara Institute tahun 2024 yang menunjukkan bahwa pelanggaran terhadap kebebasan beragama dan berkeyakinan masih terjadi di berbagai wilayah di Indonesia, terutama di Jawa Barat. Laporan tersebut mencatat 38 peristiwa pelanggaran KBB sepanjang tahun 2024 di Jawa Barat, meskipun jumlah ini menurun dibandingkan tahun sebelumnya yang mencapai 47 kasus.

Provinsi lain dengan jumlah pelanggaran tertinggi adalah Jawa Timur (34 peristiwa), DKI Jakarta (31 peristiwa), Sumatera Utara (29 peristiwa), Sulawesi Selatan (18 peristiwa), dan Banten (17 peristiwa).

Setara Institute juga mencatat bahwa pelaku utama pelanggaran tersebut adalah aktor non-negara. Tindakan pelanggaran terbanyak dilakukan oleh organisasi masyarakat keagamaan (49 tindakan), diikuti oleh kelompok warga (40 tindakan), individu warga (28 tindakan), Majelis Ulama Indonesia (21 tindakan), organisasi masyarakat umum (11 tindakan), individu (11 tindakan), dan tokoh masyarakat (10 tindakan).

***

*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//