• HAM
  • Diskusi Lintas Agama, Mendorong Negara untuk Tidak Melakukan Pelanggaran Kebebasan Beragama Berkeyakinan

Diskusi Lintas Agama, Mendorong Negara untuk Tidak Melakukan Pelanggaran Kebebasan Beragama Berkeyakinan

Di masa Presiden Jokowi, pelanggaran terhadap kebebasan beragama berkeyakinan cenderung meningkat. Ada regulasi yang bersifat diskriminatif.

Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia Wilayah (PGIW) Jawa Barat menggelar seminar tentang Harapan dan Kolaborasi dalam Kemajuan Kebebasan Beragama Berkeyakinan di Indonesia, Bandung. (Foto: Bagas Charli Manuel Purba/BandungBergerak)

Penulis Bagas Charli Manuel Purba13 Desember 2024


BandungBergerak.idKebebasan beragama berkeyakinan (KBB) adalah hak yang seharusnya dapat dinikmati oleh setiap warga negara Indonesia. Tetapi keterlibatan pemerintah dan negara sebagai pelanggar, baik melalui regulasi maupun praktik menjadi salah satu masalah dalam kehidupan KBB di Indonesia.

Melihat tantangan kebebasan beragama berkeyakinan di Indonesia, Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia Wilayah (PGIW) Jawa Barat menggelar seminar tentang Harapan dan Kolaborasi dalam Kemajuan Kebebasan Beragama Berkeyakinan di Indonesia.

Beragam kepercayaan dan penghayat kepercayaan ikut andil dalam diskusi yang digelar di Bandung. Seminar bertujuan untuk memperjuangkan pemenuhan hak-hak KBB agar mereka dapat memeluk agama dan keyakinannya dengan rasa aman.

Albertus Patty, pendeta sekaligus penggiat KBB dari Gereja Anggota PGIW Jawa Barat  memaparkan, kebebasan beragama berkeyakinan sebagai Hak Asasi Manusia (HAM) yang menjadi hak fundamental yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan darurat. Sebagaimana konteks di Indonesia, seperti diatur dalam sila pertama ketuhanan yang maha esa dan UUD 1945 Pasal 28 E ayat 1 dan 2 dan Pasal 29 ayat 1 dan 2.

“Kebebasan beragama itu kebebasan untuk memeluk berpindah agama dan keyakinan, menolakberagama berkeyakinan, dan itu termasuk forum internum. Kemudian kebebasan menjalankan ibadah itu termasuk forum eksternum, ini konteks Indonesia,” ucap Albertus Patty.

Dalam seminar tersebut, Albertus membahas Menakar Terobosan Kebijakan Kabinet Merah Putih dalam Konteks Kebebasan Beragama Berkeyakinan di Indonesia. Dua tantangan yang menjadi persoalan KBB di Indonesia menurut Albertus ada di tingkat negara dan tingkat warga negara.

Negara menjadi pelanggar KBB melalui tindakan langsung, penerbitan peraturan intoleran dan diskriminatif, serta pembiaran pelanggaran oleh ormas keagamaan. Menurut Albertus, aparat hukum tidak menjadikan dirinya sebagai penegak keadilan dan keamanan.

“Jadi bisa saja aparat ada di situ, tapi dibiarkan atau bahkan didukung atau aparat jadi penonton saja,” ucap Albertus.

“Kemudian ada PBM 2 menteri, regulasi yang sering kali dipakai untuk mengabsahkan pelanggaran KBB ini. Ini ada kasus 378 kasus selama 11 tahun terakhir. Menurut Tempo dari 2014 sampai 2018 malah 488 kasus,” tutur Albertus.

Peraturan Bersama Menteri ini yang akhirnya yang menjadi alat untuk membatasi pembangunan rumah ibadah dan rentan terhadap penyalahgunaannya yang justru untuk melanggar KBB.

Ia mencatat, di tingkat daerah Pemda melakukan 157 pelanggaran KBB selama periode pertama Jokowi. Provinsi tertinggi pelanggaran KBB meliputi Jabar, Banten, Aceh dan Sumatera Barat.

Asfinawati, Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) periode 2017-2021 selaku narasumber lainnya dalam seminar ini mengunggah Laporan Wahid Foundation yang menurut dia menjadi data kredibel tentang pemantauan kebebasan beragama berkeyakinan dari tahun 2008 hingga 2018.

Jumlah tindakan pelanggaran KBB non-negara lebih sedikit terjadi di era Joko Widodo (Jokowi) dibanding Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Jumlah pelanggaran negara lebih kecil era SBY dibanding Jokowi.

“Di pemerintahan Pak Jokowi pelanggaran negara itu lebih banyak, sedangkan pelanggaran ormas di masa SBY lebih banyak,” ucap Afisnawati.

Pemerintahan Jokowi menghadapi 577 tindakan pelanggaran non-negara atau rata-rata 12 tindakan per bulan. Pemerintahan SBY total 691 tindakan atau rata-rata 14 tindakan per bulan. Untuk pelanggaran negara, di pemerintahan Jokowi menghadapi total 524 tindakan atau sepuluh tindakan aktor negara, sedang SBY menghadapi 419 tindakan atau delapan tindakan per bulan.

Menggarisbawahi agama yang diakui di Indonesia hanya ada enam, Afisnawati meneghaskan bahwa agama bukan berasal dari pemerintah. “Dijelaskan juga bahwa dalam gagasan negara demokrasi yang berdasar atas kepercayaan, di mana agama adalah kepercayaan itu sendiri,” ujar Afisnawati.

Mahkamah Konstitusi melalui putusan judicial review UU Adminduk (Putusan MK No. 97/PUU-XIV/2016) telah menyatakan bahwa kolom agama harus mengakomodasi penganut kepercayaan, sehingga cakupan agama atau keyakinan yang diakui menjadi lebih luas.

“Tidak ada agama yang diakui karena agama itu tidak harus tidak boleh diakui negara. Ya semua orang berhak menganut agama apa pun, begitu ya,” tutur Afisnawati.

Baca Juga: Lika-liku Jalan Penghayat Kepercayaan di Bandung Raya untuk Mendapatkan Pengakuan dari Negara
Rumah Ibadah di Tengah Pusaran Komodifikasi Agama
Menggandeng Tokoh Agama untuk Mencegah Kasus Kekerasan Seksual di Bandung

Dialog Antaragama

Menggapai dinamika KBB di Indonesia, berbagai sepakat utnuk membangun gerakan dialog antaragama. Wawan Gunawan, Direktur Nawang Wulan dan pembina Jakatarub menggarisbawahi pentingnya pendekatan kolaboratif akademisi, tokoh agama, pemerintah, serta komunitas masyarakat sipil (CSO).

Perjalanan Panjang dialog antaragama ini menjadi wacana hingga mencakup hukum dan HAM. Namun tantangan yang muncul, seperti dominasi isu perdamaian tanpa keadilan, kurangnya inklusi sosial terhadap kelompok rentan, dan juga pendekatan yang masih bersifat normatif dibandingkan transformatif.

“Kita tidak bisa berbicara kebebasan beragama tanpa bicara soal pelanggaran HAM di masa lalu,” tutur Wawan Gunawan.

Sebagai langkah ke depan, agenda dialog antaragama mencakup pengarusutamaan toleransi, penegakan hukum dan HAM, serta deradikalisasi. Pendekatan strategis yang dapat dilakukan meliputi: mendorong kebijakan publik yang adil, menguatkan peran kelas menengah dan komunitas akar rumput, dan mengembangkan pola keberagamaan yang menghormati keberagaman agama lain sebagai pendekatan strategis.

Wawan menawarkan solusi yang bisa menjadi agenda utama, mulai dari menyuarakan terus isu-isu toleransi, penegakan hukum dan HAM, dan deradikalisasi melalui pendidikan. Dialog dengan pendekanan ini tidak hanya menjadi sarana perdamaian, tetapi juga tonggak perjuangan untuk keadilan dan kesetaraan bagi semua lapisan masyarakat, khususnya kelompok yang selama ini termarginalisasi.

Seminar ini dihadiri dari beragam agama dan penghayat kepercayaan. Pemerintah dan negara sebagai pelanggar KBB diharapkan mendengar dan ikut dalam menghadirkan kebijakan yang inklusif untuk semua warga negaranya.

*Kawan-kawan yang baik bisa membaca artikel-artikel lain dari Bagas Charli Manuel Purba, atau tulisan-tulisan menarik lain tentang Kebebasan Beragama Berkeyakinan

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//