• Berita
  • Menggandeng Tokoh Agama untuk Mencegah Kasus Kekerasan Seksual di Bandung

Menggandeng Tokoh Agama untuk Mencegah Kasus Kekerasan Seksual di Bandung

DP3A Kota Bandung pernah merilis kasus kekerasan seksual menjadi jenis kasus paling tinggi untuk kasus kekerasan yang menimpa anak-anak.

Ilustrasi. Sekolah memegang peranan penting dalam melakukan pendidikan seksual dan keragaman gender. (Ilustrator: Bawana Helga Firmansyah/BandungBergerak.id)

Penulis Iman Herdiana14 November 2024


BandungBergerak.idKasus kekerasan seksual di Kota Bandung memerlukan perhatian serius banyak pihak. Tak terkecuali tokoh agama. Para pemuka agama di tempat-tempat ibadah khususnya di masjid-masjid diharapkan aktif memberikan edukasi pencegahan kekerasan seksual kepada para jemaahnya.

Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Kota Bandung Uum Sumiati mengatakan, sejauh ini pihaknya telah mensosialisasikan edukasi pencegahan kekerasan seksual ke ke 112 sekolah tingkat SMP negeri dan swasta, Pondok Pesantren, dan Dewan Keluarga Masjid (DKM) di 30 masjid besar di Kota Bandung.

Diketahui, dalam banyak kasus para pelaku kekerasan seksual adalah orang-orang dekat korban sendiri, antara lain anggota keluarga. Hal inilah yang mesti disosialisasikan oleh para pemuka agama di lingkungan tempat ibadah.

"Kami lakukan analisis para pelaku yang melakukan kekerasan itu ialah orang terdekat bisa ayah, paman, kakek, tetangga teman anak bahkan saudara," beber Uum Sumiati, dalam keterangan resmi.

Hasil sosialisasi ini diharapkan setiap masjid seperti pada kegiatan Salat Jumat bisa disisipkan isu-isu terkait pencegahan kekerasan. “Contohnya khatib mengedukasi terhadap bagaimana yang harus dicegah dalam keluarga," tuturnya.

Berdasarkan data yang dihimpun BandungBergerak.id dari Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Kota Bandung, terdapat terjadi peningkatan jumlah kekerasan terhadap perempuan dalam kurun 2019-2023. Sebanyak 250 kasus kekerasan pada perempuan terjadi di tahun 2019; jumlah yang sama terjadi di tahun 2020; kasus ini naik menjadi 262 di tahun 2021; lalu naik kembali menjadi 362 kasus di tahun 2022; dan 443 kasus di tahun 2023. Dilihat dari bentuk kasus, kekerasan psikis menjadi satu jenis kekerasan yang paling banyak dilaporkan di tahun 2023.

Data Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Kota Bandung juga menunjukan di tahun 2023 kasus kekerasan terhadap anak mencapai angka 303 kasus. Sebanyak 78 kasus di antaranya dalam proses penanganan, 59 kasus dalam tahap pemantauan dan evaluasi, serta 55 kasus telah selesai ditangani. 

Kasus kekerasan seksual menjadi jenis kasus kekerasan terhadap anak paling tinggi, menyentuh angka 112 kasus. Diikuti dengan kasus kekerasan psikis sebanyak 97 kasus, dan 50 kasus kekerasan fisik. Selebihnya kekerasan ekonomi, kekerasan lainnya yang tidak masuk dalam kategori manapun, penelantaran, hak asuh anak, dan trafficking atau perdagangan orang.

Jika melihat laju peningkatan kasus kekerasan terhadap anak setiap tahunnya, jumlahnya terus meningkat di Kota Bandung. Tahun 2021 tercatat hingga 143 kasus dan tahun 2022 menyentuh angka 225 kasus. Di antara jumlah total kasus kekerasan terhadap anak, anak perempuan menjadi korban kekerasan paling banyak. Di tahun 2023, 78,57 persen korban adalah anak perempuan.

Peningkatan jumlah kasus kekerasan seksual juga terjadi secara nasional. Sepanjang periode Januari hingga September 2023, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen-PPPA) mencatat adanya total 19.593 kasus yang dilaporkan.

Baca Juga: KADO 214 TAHUN KOTA BANDUNG: Dihantui Kasus Kekerasan Terhadap Anak
Masyarakat Patriarki dan Kekerasan Seksual terhadap Perempuan
Pencegahan KGBO dan Kekerasan Seksual mesti Terus Disuarakan

Menggandeng Tokoh Agama untuk Menghapus Kekerasan Seksual

Inasshabihah, mahasiswa Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS), Sekolah Pascasarjana UGM, menyatakan tokoh agama memiliki posisi strategis dalam isu kekerasan seksual. Peran strategis ini bukan saja untuk mengedukasi umatnya, melainkan juga menangani kasus di lingkungan keagamaan. Sebab, kekerasan seksual bisa terjadi di mana saja, termasuk di tempat yang dianggap suci seperti rumah ibadah, dan bahkan dilakukan oleh tokoh agama sendiri.

Inas lantas membeberkan sejumlah kasus kekerasan seksual di tempat-tempat ibadah ataupun institusi pendidikan dengan latar belakang agama. Kasus ini memperlihatkan kendala berlapis dalam mengadvokasi korban kekerasan seksual. Kendala ini mencakup korban yang merasa takut dan malu karena pelaku adalah orang berpengaruh di lingkungannya; korban tidak mendapatkan dukungan dari pihak keluarga atau lingkungan sekitar; Aparat Penegak Hukum (APH) menuntut adanya saksi yang melihat kejadian; adanya bujukan dari pihak pelaku agar korban mencabut laporan dan diimingi-imingi uang; adanya ancaman dari pihak pelaku yang akan melaporkan balik korban kepada polisi; serta stigmatisasi dan persepsi masyarakat yang masih menyudutkan korban.

“Maka di sinilah pentingnya melibatkan tokoh agama yang sadar keadilan gender dalam advokasi anti-kekerasan seksual. Di lingkungan yang meletakkan agama sebagai poros rujukan nilai, argumen keagamaan anti-kekerasan seksual, yang harus juga ditambah dengan integritas tokoh agama yang menyampaikannya, akan efektif mengedukasi masyarakat,” tulis Inas, diakses dari laman UGM.

*Kawan-kawan yang baik bisa membaca artikel-artikel lain dari Nabila Eva Hilfani, atau tulisan-tulisan menarik lain tentang Kekerasan Seksual Kota Bandung

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//