• Berita
  • KADO 214 TAHUN KOTA BANDUNG: Dihantui Kasus Kekerasan Terhadap Anak

KADO 214 TAHUN KOTA BANDUNG: Dihantui Kasus Kekerasan Terhadap Anak

Kota Bandung memiliki mimpi “Bandung menuju Zero Bullying”. Kota ini juga memiliki angka kekerasan terhadap anak yang meningkat setiap tahunnya.

Pertunjukan kabaret oleh Forum Anak yang menceritakan perundungan, perkawinan usia anak, dan kekerasan terhadap anak, di Saung Angklung Udjo, Bandung, Minggu, 3 Maret 2024. (Foto: Fitri Amanda/BandungBergerak.id)

Penulis Nabila Eva Hilfani 14 September 2024


BandungBergerak.id - Kekerasan terhadap anak masih menjadi persoalan pelik yang belum teratasi. Hal ini membayangi Kota Bandung yang tahun ini genap berusia 214 tahun. Bulan Agustus lalu, Pemerintah Kota Bandung menggelar peringatan hari anak nasional 2024 dengan tema besar “Anak Terlindungi, Indonesia Maju”. Tema ini tampaknya menjadi tantangan serius dalam merealisasikannya.

“Tujuan Hari Anak Nasional tahun 2024 sebagai bentuk penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak anak sebagai generasi penerus bangsa,” demikian keterangan resmi Pemkot Bandung, diakses Senin, 10 September 2024.

Sayangnya di usianya yang telah mencapai dua abad lebih, Kota Bandung belum bebas dari kasus-kasus kekerasan anak. Data Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Kota Bandung menunjukan di tahun 2023 kasus kekerasan terhadap anak mencapai angka 303 kasus. Sebanyak 78 kasus di antaranya dalam proses penanganan, 59 kasus dalam tahap pemantauan dan evaluasi, serta 55 kasus telah selesai ditangani.

Data tersebut juga menunjukkan kekerasan seksual menjadi jenis kasus kekerasan terhadap anak paling tinggi, menyentuh angka 112 kasus. Diikuti dengan kasus kekerasan psikis sebanyak 97 kasus, dan 50 kasus kekerasan fisik. Selebihnya kekerasan ekonomi, kekerasan lainnya yang tidak masuk dalam kategori manapun, penelantaran, hak asuh anak, dan trafficking atau perdagangan orang.

Jika melihat laju peningkatan kasus kekerasan terhadap anak setiap tahunnya, jumlahnya terus meningkat di Kota Bandung. Tahun 2021 tercatat hingga 143 kasus dan tahun 2022 menyentuh angka 225 kasus. Di antara jumlah total kasus kekerasan terhadap anak, anak perempuan menjadi korban kekerasan paling banyak. Di tahun 2023 , 78,57 persen korban adalah anak perempuan.

Peningkatan jumlah kasus kekerasan terhadap anak tidak sebanding dengan laju kecakapan aparat penegak hukum dalam penanganannya. Herman dan Yuningsih dalam penelitiannya menelaah kinerja Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (UPPA) di kepolisian. Kedua peneliti masih menemukan adanya penyidik yang belum cakap dalam penanganan kasus kekerasan terhadap anak (Peksos: Jurnal Ilmiah Pekerjaan Sosial, 2023).

Selaras dengan yang disampaikan oleh Komnas Perempuan dalam Catatan Akhir Tahun 2023, bahwa tidak komprehensifnya pemahaman aparat penegak hukum dalam penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak menjadi satu penghambat dalam penanganan kasus yang ada.

Baca Juga:KADO 214 TAHUN KOTA BANDUNG: Perkara Parah Kemacetan
KADO 214 TAHUN KOTA BANDUNG: Persoalan Parkir Lebih dari Getok Tarif, Ada Potensi Puluhan Miliar Rupiah yang Belum Bisa Terserap
KADO 214 TAHUN KOTA BANDUNG: Membaca Naiknya Data Kekerasan terhadap Perempuan

Rumah dan Sekolah Tak Lagi Jadi Tempat Aman

Ironis. Rumah atau keluarga menempati posisi pertama sebagai tempat paling sering terjadinya kasus kekerasan terhadap anak. Berdasarkan data Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Kota Bandung, tempat tinggal atau rumah ditemukan menjadi tempat terjadinya kekerasan terhadap anak tiap tahunnya. Di tahun 2021 tercatat hingga 116 kasus, 123 kasus di tahun 2022, dan 19 kasus di tahun 2023.

Huraerah mengatakan bahwa rapuhnya tatanan keluarga menjadi pangkal penyebab kekerasan pada anak di rumah atau keluarga. Ketiadaan kelembutan, perhatian, kasih sayang, hingga suasana keluarga yang dipenuhi dengan pertengkaran, perselisihan, dan permusuhan menjadi satu sumber kekerasan pada anak (Kekerasan Terhadap Anak, 2018).

Huraerah menyebut kekerasan dalam rumah tangga terjadi karena penyalahgunaan kekuatan. Hal tersebut adalah pola yang umumnya terjadi, baik kekuatan dalam hal fisik maupun status.

Setelah rumah, lembaga pendidikan menjadi tempat kedua paling banyak terjadi praktik kekerasan terhadap anak. Itu dibuktikan dalam data yang dipublikasikan oleh Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Kota Bandung. Fakta tersebut tidak berbanding lurus dengan fungsi sekolah yang seharusnya menjadi tempat yang aman untuk anak berkembang.

Huraerah dalam bukunya mengutip banyak sumber soal faktor penyebab kekerasan terhadap anak di sekolah. Kurangnya kemampuan guru untuk mendidik yang baik dan benar akibat kurangnya penghayatan profesi hingga kurikulum yang padat dan kurang berpihak pada siswa menjadi dua faktor utama yang disinggung dalam bukunya (Kekerasan Terhadap Anak, 2018).

Sama halnya dengan catatan Bersuara Projek dalam buku sakunya. Isu perundungan sebagai satu bentuk kekerasan terhadap anak diakibatkan oleh kurangnya edukasi. Bukan hanya itu, Bersuara Projek juga menyebutkan faktor penyebab lainnya mulai dari strata sosial, kondisi, ekonomi, kurangnya pengawasan, ketidaksetaraan kekuatan, kondisi keluarga yang tidak baik, tekanan kelompok, hingga juga sifat pick me (Bersuara Projek, 2024).

Dalam buku yang dapat diakses bebas tersebut juga menjelaskan bahwa perundungan dapat menciptakan rantai perundungan. Bermula dari perlakuan merundung seseorang akan terus berputar hingga membentuk calon pelaku baru. Rantai ini dapat terbentuk karena rasa balas dendam atau faktor bahkan faktor budaya.

Terkait dengan Kota Bandung, metropolitan berjuluk Kota Kembang ini memiliki mimpi “Bandung menuju Zero Bullying”. Pemegang kebijakan mesti lebih bekerja keras lagi dalam menekan angka kekerasan terhadap anak melalui berbagai aspek. Seperti yang dijelaskan oleh Ramadhani dkk. dalam penelitiannya bahwa program-program Pemkot Bandung dalam praktik perlindungan anak belum juga efektif. Peningkatan jumlah kekerasan terhadap anak setiap tahunnya menjadi satu bukti kuat (Jurnal Global Ilmiah 1, 2024).

Sama halnya dengan hasil penelitian Fauzi dkk. bahwa, meski Pemkot Bandung telah memiliki dan menjalankan berbagai program, hal tersebut tidak membuat hilangnya kesenjangan antara implementasi undang-undang dan kenyataan lapangan. Pemberian pemahaman hukum yang lebih dalam dan pendalaman soal parenting yang baik menjadi dua solusi yang diperlukan (Innovative: Journal of Social Science Research, 2024).

*Kawan-kawan yang baik bisa membaca artikel-artikel lain dari Nabila Eva Hilfani, atau tulisan-tulisan menarik lain Pilkada 2024

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//