Rapor Merah Nilai HAM Kota Bandung Berdasarkan Hasil Riset Lokataru Foundation
Lokataru Foundation mengungkap ketimpangan di balik slogan Bandung sebagai Kota HAM. Tolok ukur untuk penegakan Hak Asasi Manusia.
Penulis Leo Saputra30 Juni 2025
BandungBergerak.id – Kota Bandung dipertanyakan komitmennya sebagai “Kota HAM”. Dalam pemaparan hasil riset indeks Hak Asasi Manusia yang digelar organisasi nirlaba di bidang HAM Lokataru Foundation terungkap, angka penilaian HAM Kota Bandung berada di kisaran 46,04 dari skala 100 dengan kategori buruk.
Diseminasi ini dihadiri oleh berbagai elemen, mulai dari akademisi, aktivis, buruh, hingga anggota DPRD Kota Bandung. Pemaparan utama dilakukan oleh Avicenna, sebagai peneliti Lokataru Foundation, yang memaparkan hasil riset indeks HAM Kota Bandung berdasarkan dua indikator besar: Merintangi dan Menjamin hak-hak dasar warga. Indikator Merintangi menilai berbagai bentuk pembatasan terhadap kebebasan warga, sementara Indokator Menjamin mengukur sejauh mana negara hadir dalam memastikan hak-hak tersebut terpenuhi.
“Kita menilai sejauh mana negara menghambat atau menjamin hak-hak kebebasan berekspresi, berserikat, dan beragama,” ujar Avincenna, di Perpustakaan Bunga di Tembok, Bandung, Sabtu, 28 Juni 2025, seraya menambahkan bahwa riset ini menjadi alat ukur untuk mengevaluasi konsistensi pemerintah dalam memenuhi janji-janji konstitusional.
Data yang dikumpulkan berasal dari gabungan pemantauan media, dokumentasi kasus lapangan, studi regulasi, serta wawancara mendalam dengan warga terdampak sepanjang 2020–2024. Validasi metodologi dilakukan oleh Manajer Internal dan Program Lokataru Foundation Daffa Batubara, sekaligus perancang metode riset, yang menekankan pentingnya akurasi data dan partisipasi komunitas dalam menghasilkan indeks yang representatif.
Sekretaris Komisi I DPRD Kota Bandung Susanto Triyogo, dalam forum tersebut menyampaikan apresiasi terhadap laporan Lokataru. Ia menyebut bahwa riset ini bisa menjadi masukan strategis dalam menyusun kebijakan daerah. “Kami terbuka untuk kolaborasi, misalnya dalam penyusunan RPJMD atau kebijakan tematik yang berorientasi pada pemenuhan HAM,” kata wakil rakyat yang membidangi HAM.
Nilai di Atas Kertas, Luka di Lapangan
Kota Bandung telah mendeklarasikan diri sebagai Kota HAM sejak 2015. Namun, hampir satu dekade berlalu, berbagai kesaksian warga menunjukkan bahwa label tersebut tak lebih dari slogan.
Cecep Darmawan, dosen dari Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) menyebut nilai 46 sebagai cermin suram wajah HAM di kota ini. “Bandung harusnya jadi barometer penegakan HAM di Jawa Barat, tapi malah nilainya di bawah standar. Ini seperti nilai C minus,” ujarnya.
Ia menyebutkan, kunci dari lemahnya pelaksanaan HAM adalah ketimpangan antara struktur hukum, substansi regulasi, dan budaya hukum yang represif. “Masalahnya bukan hanya pelanggaran, tapi ketidaksiapan struktur hukum melindungi warga,” tambahnya.
Salah satu kasus menonjol datang dari Aan Aminah dari Federasi Sebumi Bandung. Ia menceritakan bagaimana dirinya dan rekan-rekan buruh lainnya dikriminalisasi setelah mendirikan serikat pekerja. “Saya masuk penjara, bukan karena saya salah. Tapi karena saya menuntut hak. Di dalam penjara, saya diperlakukan seperti binatang,” ungkapnya dalam forum, disambut keheningan.
Dalam kesaksiannya, Aan menjelaskan bahwa di penjara ia sempat dipaksa melepas pakaian, merangkak dalam kondisi haid, dan mengalami perlakuan tidak manusiawi lainnya oleh petugas. Ia juga menyatakan bahwa serikat buruh yang ia bentuk menjadi sasaran pemutusan hubungan kerja sepihak, di mana sepuluh pengurus serikat langsung dipecat. “Kami tidak diberi ruang untuk membela diri, tidak ada mekanisme penyelesaian. Bahkan saat mengadu ke DPRD Kota Bandung, kami tidak ditanggapi,” katanya.
Menurut Aan, apa yang ia alami bukanlah kasus tunggal. Ia menyebut praktik seperti ini marak di Kota Bandung, terutama di sektor-sektor kerja yang mengandalkan sistem kontrak jangka pendek dan alih daya (outsourcing). Ia menegaskan bahwa pelanggaran hak-hak buruh tidak bisa dilepaskan dari lemahnya pengawasan pemerintah serta minimnya keberpihakan institusi negara terhadap pekerja.
Yusep, dari Ahlulbait, juga memberi sorotan terkait diskriminasi terhadap komunitas minoritas beragama. Ia menyampaikan bahwa pemahaman tentang perbedaan mazhab masih sering menjadi alasan pembenaran tindakan intoleransi di masyarakat. Ia mencontohkan bagaimana komunitas Ahmadiyah di Jawa Barat mengalami tekanan dari ormas dan tidak mendapatkan perlindungan yang layak dari negara.
“Perda pelarangan aktivitas Ahmadiyah masih berlaku, dan negara diam saja terhadap tekanan yang kami alami,” ujarnya.
Yusep juga menekankan pentingnya literasi keberagaman dalam pendidikan dan kebijakan publik. Ia merujuk pada Deklarasi Amman 2004 yang menyatakan bahwa selama umat Islam mengakui Tuhan yang satu, Nabi Muhammad sebagai utusan terakhir, serta Al-Qur’an sebagai kitab suci, maka tidak dibenarkan saling menyesatkan.
“Sayangnya, nilai-nilai ini tidak menjadi rujukan di banyak forum keagamaan atau kebijakan lokal,” tambahnya. Menurut Yusep, ketidakhadiran negara dalam menjamin kebebasan beragama justru memperkuat kelompok-kelompok yang menyebarkan kebencian.
Fauqi Muhtaromun, dari WALHI Jawa Barat, menambahkan bahwa rencana tata ruang yang minim partisipasi publik menjadi akar dari krisis lingkungan dan sosial. Akses terhadap air bersih dan ruang hidup terus menyusut karena proyek-proyek yang mengabaikan warga terdampak.
Pemerintah Kota dinilai gagal merespons temuan indeks HAM ini. Alih-alih mengevaluasi kebijakan, banyak pejabat justru mempertahankan regulasi yang memberatkan warga seperti Perda Ketertiban Umum dan kerja sama eksklusif dengan aparat.
Sementara itu, Iman Herdiana, jurnalis BandungBergerak, menyoroti dampak pembangunan kota yang tidak partisipatif dan sering kali mengabaikan hak-hak dasar warga. Ia menyebut bahwa proyek-proyek besar di Kota Bandung, seperti kawasan komersial dan hunian mewah, kerap berdampak pada penggusuran warga tanpa solusi yang memadai.
“Setiap pembangunan baru menciptakan kelompok rentan baru. Warga tergusur, kehilangan rumah, anak kehilangan sekolah,” ujarnya. Ia menambahkan bahwa dalam beberapa kasus, warga tidak mendapatkan informasi awal tentang rencana pembangunan, tidak dilibatkan dalam musyawarah, dan tidak disiapkan hunian pengganti. Hal ini, menurutnya, menunjukkan lemahnya perlindungan terhadap hak atas perumahan, pendidikan, dan partisipasi publik.
Iman juga menyoroti bagaimana proses Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) seringkali hanya menjadi formalitas, tanpa benar-benar menyerap suara dari warga yang terdampak langsung. "Kalau warga tidak diajak bicara sejak awal, bagaimana mungkin pembangunan bisa disebut adil?" katanya.
Baca Juga: Menakar Ulang Komitmen Bandung yang Mendaku Kota Ramah HAM
Membangun Kesadaran HAM di Kalangan Pelajar Bandung
Deklarasi Bandung Kota HAM
Sampai saat ini Kota Bandung masih menyandang Kota HAM setelah deklarasi 2 April 2015. Deklarasi ini terjadi di era Wali Kota Ridwan Kamil didampingi Founding and Chairman Foundation for International Human Right Reporting Standards (FIHRRST) Marzuki Darusman, beserta Ketua Kehormatan Paguyuban HAM (PAHAM) Universitas Padjadjaran Susi Dwi Harijanti di Gedung Serba Guna Balai Kota Bandung, Jalan Wastukancana.
Saat itu, Ridwan Kamil menyatakan, deklarasi Bandung sebagai kota HAM merupakan tahapan awal dari proses bersejarah dan belum pernah terjadi sebelumnya dalam membuat piagam HAM Bandung yang disusun secara partisipatif dan dapat diaudit.
Sebagai kota percontohan untuk berkomitmen dalam menegakan HAM di Bandung, dalam isi deklarasinya, Ridwan, memaparkan untuk menghormati melindungi dan memenuhi hah-hak asasi warga Kota Bandung. Berikut isi deklarasi Bandung sebagai kota HAM:
“Saya Walikota Bandung atas nama warga Kota Bandung dengan ini mendeklarasikan Bandung sebagai Kota Hak Asasi manusia dan berkomitmen untuk menghormati melindungi dan memenuhi hah-hak asasi warga Kota Bandung, untuk itu piagam Hak Asasi Manusia Bandung akan dirumuskan menurut prinsip-prinsip transparansi akuntabilitas dan partisipasi warganya. Guna menghormati melindungi dan memenuhi hak-hak asasi warga Bandung, deklarasi ini dan piagam Hak Asasi Manusia Bandung akan dilaksanakan atas dasar kebijakan pemantauan dan evaluasi serta pemulihan,“ ucap Ridwan Kamil.
***
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB