Diskusi Aku Menjomlo, Maka Aku Ada di Perpustakaan Bunga di Tembok: Melajang Bukan Semata-mata Persoalan Pribadi
Para jomlo berdiri di pilihan sulit. Mereka menghadapi realitas tentang sempitnya lowongan kerja dan tak mudah mengakses pendidikan.
Penulis Virliya Putricantika30 Juni 2025
BandungBergerak.id - Empat penulis, empat jomlo mendiskusikan negara. Mereka menyatakan bahwa status melajang bukan semata persoalan individu melainkan ada kaitannya dengan sistem negara. Tulisan mereka kemudian dicetak dalam zine berjudul “Jomlo Menggugat”. Zine ini didiskusikan dalam diskusi Jomlo-to, Ergo sum (aku menjomlo maka aku ada) di perpustakaan Bunga di Tembok, Bandung, Jumat, 27 Juni 2025.
Meski demikian, status jomlo sering menjadi bahan olok-olokan kebanyakan dan dianggap sebelah mata. Padahal, apa yang menjadi pilihan para jomlowan dan jomlowati adalah satu keputusan di tengah kesempatan hidup yang menyempit.
Para jomlo tidak ingin selamanya memiliki status lajang. Mereka hanya dihadapkan dengan realitas yang ada. Salah satu pemantik, Sita Dewi, mahasiswi dari Fakultas Politik dan Perubahan Sosial, Australian National University, memahami bahwa memang kondisi hari ini jauh berbeda dengan apa yang terjadi 10 tahun lalu.
“Kita pengin pernikahan yang stabil, yang jadi ruang aman,” ungkap Sita, dalam diskusi.
Kesadaran tersebut bukan hanya sebatas untuk memenuhi keinginan orang tua atau bahkan lelah dengan ejekan om, tante bahkan tetangga. Para jomlo ingin bertemu pasangan yang sudah sadar tentang tantangan pernikahan.
Tofan, salah satu penulis zine, menyampaikan bahwa untuk berpasangan masing-masing individu harus memiliki sumber daya yang cukup. Contoh, untuk pergi berkencan saja butuh ongkos.
Kekurangan sumber daya bisa memicu berakhirnya hubungan pasangan. Data dari Pengadilan Agama Negeri Bandung menunjukkan, pengajuan perceraian mencapai 7.000 kasus sejak Januari hingga pertengahan Desember tahun 2024. Masalah ekonomi menjadi salah satu faktor terjadinya perceraian.
Berbagai faktor mempengaruhi orang-orang untuk tetap melajang, antara lain sulitnya mencari lowongan kerja dan akses pendidikan. “Para jomlo ini berhadapan dengan berbagai ketidakpastian kerja, hubungan yang lebih beragam, dan mungkin meragukan dirinya apakah bisa lebih setia,” tulis Laila, dalam esai yang dimuat di zine ini.
Laila mengusulkan redefinisi jomlo. Menurutnya, memahami diri sendiri terlebih dahulu sebelum memulia satu komitmen dalam memiliki hubungan itu jauh lebih baik. Begitu juga dengan Nidan, penulis zine lainnya, yang menuliskan cinta seharusnya tidak mengikat, tapi memberi ruang.
“Sebab, kaum jomlo tidak akan kehilangan apa pun kecuali belenggu kejomloannya,” timpal Yogi, yang juga penulis zine. Ata, salah satu pemantik diskusi, menimpali, “Jomlo itu sebenarnya di eksploitasi”.
Baca Juga: Susahnya jadi Jomlo di Zaman ini
Kapan Jomlo Bisa Bahagia?

Sistem Negara
Status jomlo lebih sering distigma, bahkan dianggap satu kegagalan, seperti disampaikan Nidan dalam esainya. Cinta hanya dilihat sebagai bentuk transaksi. Definisi kebahagiaan pun menjadi sempit.
Sita Dewi mengingatkan, para jomlo tidak perlu merasa terkungkung karena status lajangnya. Mereka berada dalam sistem yang sama dengan yang punya pasangan. Di saat yang sama, negara gagal merespons masalah ini. Pembuat kebijakan lebih berambisi mengeksploitasi alam, bahkan sibuk dengan penulisan ulang dan meragukan kekerasaan massal pada perempuan di tahun 1998.
***
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB