• Kolom
  • JALIN JALAN PANTOMIM #7: Krisis Literasi Pantomim Anak

JALIN JALAN PANTOMIM #7: Krisis Literasi Pantomim Anak

Pantomim anak-anak menjadi pertunjukan yang kian jarang ditemui, serupa dongeng atau teater anak.

Wanggi Hoed

Seniman pantomim

Penampilan dari Gendis Utoyo (pantomim), Ratimaya (pendongeng), dan Diandra (musik perkusi) di peringatan Hari Pantomim Sedunia di Perpustakaan Ajip Rosidi, Bandung, Jumat, 22 Maret 2024. (Foto: Adelia Putri Rejeki/BandungBergerak.id)

2 Juli 2025


BandungBergerak - Tidak banyak seniman pantomim di Indonesia yang memfokuskan dirinya pada anak-anak. Pantomim anak-anak menjadi pertunjukan yang kian jarang ditemui, serupa dongeng atau teater anak. Tersisa beberapa kesempatan waktu dan ruang tertentu saja, semisal momentum peringatan Hari Anak, atau kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan anak. Itu pun, sekali lagi, makin jarang.

Penyebabnya bukan pada anak, dan bukan pada seniman yang sudah terlanjur minim jumlahnya. Bukan pula pada akses ruang. Ada persoalan serius tentang literasi di dalamnya. Berbagai jenis ajang perlombaan yang menjadi tumpuan, digelar dengan sistem kebut mingguan oleh para pelatih dan pendamping. Dan itulah realitas yang muncul di setiap festival atau lomba kita hari ini.

Pantomim anak di Indonesia termasuk kategori yang masih minim dilombakan sehingga semestinya menjadi peluang bagi para pelaku seni pantomim untuk berbagi pengetahuan dan pengalamannya. Sayangnya, banyak seniman belum memahami pentingnya literasi anak dan seperti apa perlakuan terhadap anak. Apalagi dalam menimbang kategorisasi umur, misalnya.

Baca Juga: JALIN JALAN PANTOMIM #6: Nyusur History Bandoeng Bebarengan, Ketika Seni dan Sejarah Berjalan Beriringan
JALIN JALAN PANTOMIM #5: Pantomim dan Musik sebagai Kekuatan yang Liyan

Tentang Lomba dan Festival

Membangun pantomim anak dan keliterasiannya adalah usaha fundamental. Beberapa tempat atau sanggar yang sedang tumbuh di ruang-ruang kecil, bergeliat ketika ada lomba, event, atau kegiatan sejenis. Mereka timbul-tenggelam, tapi lomba bagaimana pun menyediakan wadah unjuk kreasi dan ruang presentasi ekspresi agar anak berani berimajinasi dan membangun percaya diri dalam memunculkan karakternya. Ini patut diapresiasi! Yang terpenting adalah pendistribusian literasi anak terkait pantomim tersebut, apalagi di era post-truth ini.

Harus diakui, sejauh ini lomba atau festival pantomim yang diinisiasi oleh pemeritah, negara maupun dinas, dan komunitas-komunitas merupakan wadah perkenalan dan apresiasi pada masyarakat penonton, sekaligus pintu masuk lahirnya generasi pantomim cilik. Namun yang sering luput: bagaimana pengetahuan dan literasi pantomim anak sampai pada dunianya. Di lomba dan festival, anak-anak sering hanya mengikuti apa yang diminta oleh pelatih dan pedamping.

Sudahkah anak-anak mencatat atau menuliskan cerita yang berasal dari mereka sendiri, atau gerakan yang lahir dari tubuh dan imajinasinya sendiri? Sepertinya belum. Kita belum menemukannya di berbagai bentuk festival dan lomba pantomim anak yang ramai beberapa tahun belakangan ini, seperti FLS2N (Festival Lomba Seni Siswa Nasional). Semua yang terjadi di lapangan adalah pola yang sama. Berulang dari tahun ke tahun, baik format maupun penampilannya. Belum ada usaha lebih untuk melahirkan generasi pantomim dari anak-anak. Seakan kemerdekaan dan kebebasan anak sedang direbut oleh pelatih dan pendamping.

Di dunia pendidikan, pantomim menjelma perlombaan belaka, tanpa adanya ruang bagi literasi anak untuk mengembangkan imajinasinya. Cerita yang dipentaskan sama, terus berulang dari tahun ke tahun.

Inilah kegagalan pantomim anak. Dimulai dari bentuk perlombaan saja sudah terlihat. Juga pada pembuatan sinopsis, gerak tubuh, ilustrasi musik, dan kecangungan atau ketidakpercayaan saat bergerak. Semua sama, berulang. Gerak dan musik tidak membebaskan anak dalam mengekplorasi dan berimajinasi secara leluasa. Banyak juri tidak kompeten, dan di beberapa kota bahkan melakukan kecurangan. Ironis sekali!

Kondisi ini semestinya ditelaah ulang oleh panitia pusat penyelenggara dan kurator festival yang ditunjuk.

Rentetan persoalan ini terjadi bukan sekali dua kali setiap tahunnya di ranah pendidikan yang mengandalkan festival sebagai jalan pintas sebuah prestasi. Dari sini lahirlah krisis literasi anak dan lingkungannya. Lalu merembet ke praktik keseharian.

Dengan gaung festival lomba, bahwa pantomim anak itu membentuk dan membangun karakter semestinya ditinjau kembali. Jika kita menengok kembali pada pendekatan seni pantomim anak, ada salah satu keganjilan yang akan membawa warisan buruk sebuah gelaran festival lomba yang mendaku sebagai prestasi itu. Bahwa imajinasi dan tubuh seharusnya milik anak-anak yang bebas bermain dan berpengetahuan kelak di masa depan.

Melihat Harapan

Merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS), diketahui bahwa per Maret 2024, sekitar 10,82 persen penduduk Indonesia adalah anak usia dini (0-6 tahun). Ini berarti sekitar 1 dari 10 penduduk Indonesia masih berusia sangat muda. Sementara itu, menurut UNICEF, setiap setengah detik seorang anak di dunia mengakses internet untuk pertama kalinya. Di Indonesia, jumlah pengguna internet telah mencapai 221 juta orang atau 79,5 persen dari total populasi. Menariknya, 9,17 persen dari mereka berusia di bawah 12 tahun, menjadikan generasi muda semakin rentan terhadap ancaman siber.

Kita ketahui bersama bahwa usia anak-anak merupakan masa bermain dan tumbuh secara alamiah sesuai ruang dan masanya. Ini kenapa, di tengah era internet saat ini, ketersediaan ruang aman dan ramah menjadi sangat penting.

Salah satu tantangan bagi orangtua, juga bagi seniman pantomim, ketika berhadapan dengan anak-anak saat ini adalah menjauhnya imajinasi dan literasi dari mereka. Namun, apakah masih ada harapan? Jawabnya: masih. Pantomim sangat kaya akan imajinasi dan dekat dengan dunia anak-anak yang biasa bermain lepas tanpa tekanan. Ia, baik realis maupun abstraknya, dapat menjadi ruang bagi mereka untuk mengeksplorasi gerak dan cerita yang mereka alami pada masanya serta dunianya,

 

*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

Editor: Tri Joko Her Riadi

COMMENTS

//