Organisasi Masyarakat Sipil Mengecam Pembubaran Paksa Retret Pelajar di Sukabumi
Pembubaran retret pelajar di Sukabumi memiliki akar yang menyuburkan intoleransi, yaitu peraturan diskriminasi yang melanggar kebebasan beragama berkeyakinan.
Penulis Awla Rajul2 Juli 2025
BandungBergerak.id - Tindakan intoleransi berupa pembubaran paksa retret anak-anak pelajar Kristen di Kampung Tangkil, Kecamatan Cidahu, Kabupaten Sukabumi mendapat kecaman dari berbagai pihak. Pelanggaran Kebebasan Berkeyakinan Beragama ini dinilai menjadi bukti kegagalan negara dalam melindungi dan menghormati warga negaranya untuk memilih dan menjalankan keyakinannya.
Direktur LBH Bandung Heri Pramono menilai, kasus pelanggaran KBB yang kembali terjadi di Jawa Barat ini menunjukkan bahwa provinsi ini masih belum mampu merepresentasikan dan mengedepankan toleransi. Ia juga melihat kasus ini sebagai kegagalan negara dalam menjalankan kewajibannya untuk menghormati dan melindungi hak Kebebasan Beragama Berkeyakinan warga negaranya.
Heri melihat ada pembiaran pembubaran dan perusakan tempat retret. Menurutnya, aparat yang ada di lokasi seharusnya melakukan pencegahan pembubaran dan perusakan. “Jadi itu juga bentuk kelalaian negara, di mana kalau dalam konteks KBB, ketika negara lalai ya dia sebagai aktor,” ungkap Heri, kepada BandungBergerak, Senin, 30 Juni 2025.
Heri juga merespons beberapa hal, terutama kekecewaannya mengenai klarifikasi yang disampaikan oleh Forum Koordinasi Pimpinan Kecamatan (Forkopimcam). Melalui video klarifikasi yang tersebar di media sosial, klarifikasi itu disampaikan mengatasnamakan Forkopimcam, lembaga keagamaan, serta tokoh masyarakat, dan kepemudaan di Kecamatan Cidahu.
Forum menyatakan tentang situasi dan kondisi kondusif dan siap memelihara dan menjaga stabilitas keamanan di wilayah kecamatan Cidahu; tidak akan terulang kembali kejadian insiden tersebut; meminta jangan sampai lanjut ke proses hukum dan diharapkan diselesaikan dengan cara musyawarah mufakat. Forum juga siap untuk mengganti kerusakan dan memperbaiki rumah tersebut; meminta kepada pemilik rumah agar rumah tersebut difungsikan sebagai rumah atau tempat tinggal dan tidak dijadikan rumah ibadah; dan bahwa insiden tersebut bukan perusakan tempat ibadah.
Heri mengkritik pernyataan forum tidak memuat jaminan bahwa insiden demikian tidak akan terulang kembali. Sebab, kebijakan-kebijakan diskriminatif yang mengungkung kelompok minoritas agama rentan masih dipertahankan oleh negara. Langgengnya kebijakan diskriminatif inilah yang menjadi pemicu struktural tindakan intoleransi.
Mengenai poin musyawarah dan mufakat, Heri menyatakan seharusnya hal itu dilakukan ketika sebelum terjadinya tindakan. Sementara pada poin siap mengganti kerusakan, hal itu memang merupakan keharusan dan tindakan perusakan bisa dikenakan pasal pidana.
“Itu memang satu kewajiban untuk mengganti akibat dari kerusakan ini. Tapi kan ada yang lebih lebih esensial, yaitu sejauh mana negara punya langkah perlindungan terhadap ya itu khusus anak-anak, dan kelompok minoritas rentan yang lainnya gitu. Ini kan menjadi kacamata bahwa buruknya kondisi kebebasan beragama dan berkeyakinan di Jawa Barat,” jelasnya.
Heri mengapresiasi langkah cepat yang diambil oleh Dedi Mulyadi dalam menanggapi persoalan ini, terutama penegasan pada unsur toleransi. Meski begitu, ditegaskan Heri, persoalan ini tidak bisa hanya dilihat secara reaksioner kasus per kasus, tapi perlu adanya penyelesaian seluruh gejala yang telah terbentuk secara struktural.
Aparat penegak hukum harus melakukan tindakan hukum terhadap para pelaku. Ketika terjadi kasus serupa, negara harus hadir menyelesaikan persoalan, khususnya untuk mencegah konflik horizontal antara warga dan warga.
“Dan saya yakin kalau melihat beberapa pemetaan aktornya sebenarnya ya pada akhirnya adalah konflik warga dengan warga lagi. Yang jadi korbannya adalah rakyat lagi juga yang disebabkan dari adanya peraturan yang diskriminatif. Peraturannya langgeng, budaya hukumnya juga pemicunya. Saya harap sih negara bertindak, melakukan pemenuhan perlindungan HAM, dan tidak hanya reaksioner, tapi juga melihat inti permasalahannya adalah peraturan diskriminasi itu sendiri,” terang Heri.
Kecaman dari Yayasan Inklusif dan AJI Biro Sukabumi
Yayasan Inklusif menyatakan keprihatinan dan penyesalan mendalam atas insiden pembubaran ibadah dan tindakan kekerasan yang menimpa sejumlah pelajar Kristen pada retret di Kecamatan Cidahu, Kabupaten Sukabumi. Direktur Yayasan Inklusif Muhammad Subhi menegaskan, kejadian ini adalah bentuk penghinaan terhadap Pancasila, pelecehan terhadap UUD 1945, dan serangan terhadap nilai-nilai hak asasi manusia.
Ia berharap, negara tidak tunduk pada tekanan intoleransi. Yayasan Inklusif juga menyesalkan tidak adanya upaya pencegahan maupun perlindungan dari aparat kepolisian setempat.
“Pihak kepolisian semestinya hadir untuk melakukan pencegahan dan melindungi warga negara yang melaksanakan ibadah. Pembiaran seperti ini hanya memperburuk krisis kepercayaan publik terhadap institusi kepolisian,” tegas Subhi, dikutip dari siaran pers, Selasa, 1 Juli 2025.
Pihaknya juga menyayangkan sikap diam Presiden dan Menteri Agama atas serangkaian pelanggaran kebebasan beragama yang terus berulang. Insiden di Cidahu ini menambah panjang daftar kasus yang sebelumnya juga tidak mendapatkan tanggapan berarti dari pemerintah, seperti larangan Jalsah Salanah Jemaat Ahmadiyah di Kuningan dan penyegelan masjid Ahmadiyah di Banjar.
“Ketika pemimpin tertinggi negara dan pemegang otoritas keagamaan memilih untuk diam, hal itu dapat ditafsirkan sebagai pembiaran dan pembenaran terhadap praktik intoleransi,” tambah Subhi.
Baca Juga: Perusakan Vila Tempat Retret Anak-anak Pelajar di Sukabumi Menambah Daftar Panjang Intoleransi di Jawa Barat
Survei LSI tentang Toleransi Jawa Barat: Pemprov Perlu Memperhatikan Potensi Kekerasan
Yayasan Inklusif menegaskan bahwa kejadian seperti ini seharusnya semakin berkurang di era Pemerintahan Prabowo, mengingat dalam 'Asta Cita' telah ditegaskan visi pemerintah untuk memperkuat toleransi antarumat beragama sebagai bagian dari upaya mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur.
“Visi tersebut harus dibuktikan melalui kebijakan yang berpihak pada hak kebebasan beragama dan berkeyakinan warga tanpa pandang bulu, serta tindakan nyata yang melindungi kelompok minoritas dan mencegah intoleransi,” kata Subhi.
Sementara itu, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Biro Sukabumi juga menyatakan keprihatinan dan mengecam tindakan pembubaran kegiatan retret yang berlangsung di Kecamatan Cidahu, Kabupaten Sukabumi.
“Kami menilai tindakan tersebut sebagai bentuk pelanggaran terhadap hak konstitusional warga negara untuk menjalankan ibadah dan keyakinannya secara bebas, sebagaimana dijamin dalam Pasal 28E ayat (1) dan (2) serta Pasal 29 UUD 1945,” tulis AJI Biro Sukabumi dalam pernyataan sikapnya.
AJI Biro Sukabumi sebagai organisasi profesi jurnalis yang menjunjung tinggi nilai-nilai kebebasan sipil dan hak asasi manusia mendesak aparat penegak hukum untuk mengusut tuntas pelaku intimidasi dan pembubaran kegiatan tersebut serta menjamin perlindungan terhadap kelompok minoritas dalam menjalankan aktivitas keagamaannya.
Selain itu, pemerintah daerah Sukabumi didorong untuk bersikap tegas dalam menjamin kebebasan beragama dan berkeyakinan, serta tidak tunduk pada tekanan kelompok intoleran. AJI Biro Sukabumi mengajak seluruh jurnalis dan media di Sukabumi untuk terus mengawal isu-isu intoleransi dan pelanggaran kebebasan sipil dengan pemberitaan yang adil, faktual, dan berpihak pada korban, serta menyerukan kepada seluruh elemen masyarakat untuk menjaga semangat kebhinekaan dan menolak segala bentuk kekerasan serta diskriminasi atas dasar agama atau keyakinan.
“Kami percaya bahwa Sukabumi adalah rumah bagi semua, tanpa memandang latar belakang agama, suku, atau keyakinan. Tindakan intoleransi tidak boleh dibiarkan tumbuh dan menjadi preseden buruk bagi kehidupan demokrasi dan keberagaman di daerah ini,” demikian pernyataan resmi AJI Biro Sukabumi.
Penetapan Tersangka
Polisi telah menetapkan tujuh tersangka kasus perusakan rumah yang dijadikan tempat retret di Kampung Tangkil, Kecamatan Cidahu, Kabupaten Sukabumi. Keterangan ini disampaikan Kapolda Jabar Rudi Setiawan, dikutip dari Instagram resmi. Ketujuh tersangka masing-masing memiliki peran dalam aksi perusakan. Kapolda menegaskan bahwa proses hukum akan terus berlanjut dan Polri berkomitmen untuk melindungi seluruh warga tanpa diskriminasi agama maupun latar belakang.
Polda Jabar juga merilis kronologi kejadian di rumah milik Maria Veronica Ninna (70 tahun), yang dihadiri sekitar 36 orang jemaat. Warga sekitar yang merasa keberatan sempat meminta klarifikasi kepada pemilik rumah melalui pemerintah desa, namun tidak diindahkan. Massa dari dua desa kemudian mendatangi lokasi dan melakukan perusakan terhadap pagar, jendela, kendaraan, serta simbol keagamaan.
Kerusakan yang ditimbulkan mencakup kaca jendela pecah, pagar rumah hancur, kursi, salib, sepeda motor, dan mobil yang mengalami lecet, dengan total kerugian ditaksir mencapai 50 juta rupiah.
***
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB