Perusakan Vila Tempat Retret Anak-anak Pelajar di Sukabumi Menambah Daftar Panjang Intoleransi di Jawa Barat
Pemilik vila mengklarifikasi bahwa retret diikuti pelajar dan anak-anak yang mengisi liburan sekolah. Mereka trauma setelah mengalami langsung kekerasan.
Penulis Awla Rajul2 Juli 2025
BandungBergerak.id - Sekelompok anak-anak pelajar Kristen menjadi korban intoleransi dan pembubaran paksa ketika mengadakan retret di sebuah vila, di RT 04/01 Kampung Tangkil, Kecamatan Cidahu, Kabupaten Sukabumi, Jumat, 27 Juni 2025. Pelanggaran Kebebasan Beragama Berkeyakinan (KBB) ini dikecam oleh sejumlah organisasi pegiat isu HAM dan demokrasi, serta menambah panjang daftar kasus intoleransi dan tindakan kekerasan dalam bingkai pelanggaran kebhinekaan yang terjadi di Jawa Barat.
Insiden perusakan vila ini mulanya diketahui dari video yang ramai diperbincangkan di media sosial. Dalam potongan video terlihat sejumlah masyarakat melakukan pembubaran paksa dan merusak rumah. Seorang pria dalam video tampak menurunkan salib dari lantai dua, orang-orang yang berkerumun lantas menyambut salib itu dan menjadikannya sebagai alat perusak jendela. Terlihat juga orang-orang dalam video merusak meja, kursi, dan properti lainnya.
Pengelola vila Jongki Dien merincikan, fasilitas yang rusak di antaranya adalah gazebo, kaca-kaca jendela, pot-pot bunga, televisi, dan barang-barang berharga lainnya. “Handphone saya juga hilang. Uang tunai hampir 10 juta (rupiah) dan STNK saya juga belum ditemukan,” ungkapnya, dikutip dari sukabumiupdate.com.
Rita Muljartono, penyelenggara acara dalam video klarifikasinya menyampaikan, retret dilakukan dalam rangka liburan sekolah. Peserta retret mayoritasnya adalah pelajar dan anak-anak.
“Perlu diketahui bahwa kami tidak membangun gereja. Tempat itu adalah villa pribadi dan pemilik adalah kenalan kami,” ungkap Rita dalam video klarifikasinya di media sosial, diakses BandungBergerak melalui akun Instagram @sukabumi_satu, Senin, 30 Juni 2025.
Ia menceritakan, saat sesi games berlangsung di siang hari, pihaknya melihat sudah banyak orang yang berkerumun, menggedor-gedor pagar, hingga ada yang melempar batu. Masyarakat lalu masuk ke dalam, menyuruh semua orang untuk keluar dan kegiatan mesti dihentikan. Dalam situasi itu, kata Rita, pihaknya berusaha tenang dan menggiring anak-anak supaya keluar ruangan dan segera masuk ke dalam mobil.
“Kejadian begitu cepat, hingga anak-anak gak bisa mengambil tas dan membawa barang-barang mereka. Mobil yang kami pakai dipukul-pukul, dilempari batu, dibaret, digores, dan itu menjadikan trauma bagi anak kami. Kejadian ini benar-benar menjadi suatu trauma bagi anak kami. Mereka mengalami langsung, melihat langsung kegiatan ini terusik dengan kekerasan,” ungkapnya.
Di akhir videonya, Rita berpesan, agar seluruh masyarakat tidak saling menyakiti karena perbedaan. Masyarakat harus saling menghormati dan saling menghargai satu sama lain. Ia menegaskan, ini harus menjadi momen untuk membangun generasi anak yang cinta damai, saling mengasihi, menghormati, dan menghargai.
Tiga hari setelah perusakan vila dan pembubaran retret ramai menjadi perbincangan di media sosial, Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi mendatangi langsung rumah singgah atau vila tersebut, Senin, 30 Juni 2025. Ia menemui langsung korban sekaligus pemilik vila, Maria Veronica Nina (70 tahun). Melalui potongan video yang KDM bagikan di akun media sosialnya, Nina mengaku sudah tinggal selama empat tahun di Tangkil, hidup damai dan rukun dengan tetangga.
KDM dalam videonya juga menyatakan akan mengganti biaya perbaikan rumah yang rusak sebanyak 100 juta rupiah. Ia juga mengirimkan psikiater untuk membantu pemulihan trauma bagi anak-anak dan keluarga korban.
“Yang berikutnya, persoalan perusakan rumah itu kita serahkan seluruhnya kepada aparat kepolisian untuk bertindak secara objektif, sehingga masalah ini cepat selesai,” kata KDM dalam video di akun TikToknya, diakses Selasa, 1 Juli 2025.
Melalui postingan Instagramnya pada Selasa pagi, KDM menyatakan bahwa pihak kepolisian sudah menetapkan tujuh tersangka yang melakukan perusakan rumah tempat kegiatan retret anak-anak pelajar Kristen. Diketahui, salah satu tersangkanya merupakan pelaku yang menurunkan salib.
“Terima kasih kepada Pak Kapolda Jabar dan Kapolres Palabuhanratu (Polres Sukabumi) dan seluruh jajaran yang sudah bertindak cepat, tadi malam berdasarkan informasi yang saya terima, sudah ditetapkan tujuh tersangka perusakan rumah Ibu Nina yang berada di Desa Tangkil, Kecamatan Cidahu, Kabupaten Sukabumi,” kata Dedi Mulyadi.
Baca Juga: Dari Jejak-jejak Intoleransi
Cara Anak Muda Bandung Menghalau Intoleransi dan Hoaks
Menambah Daftar Panjang Intoleransi
Koordinator Jaringan Kerja Antarumat Beragama (Jakatarub), Ucu Citarsih, menyayangkan dan mengecam tindakan intimidasi dan intoleransi yang menimpa pelajar Kristen yang sedang melakukan retret di Sukabumi. Ia menyatakan, kasus ini menambah daftar panjang kasus serupa yang sebelumnya dialami teman-teman Ahmadiyah, kelompok agama rentan dan marjinal lain di Jawa Barat.
Kegiatan yang dilakukan hingga berujung tindakan intoleransi kekerasan tidak bisa dibenarkan, meski ada narasi yang menyatakan bahwa mereka melakukan ibadah bukan di tempat yang seharusnya. Kasus ini kembali menambah daftar kegagalan negara dan aparat penegak hukum dalam memberikan perlindungan atas hak beribadah dengan aman dan nyaman bagi warga negaranya
“Teman-teman pelajar Kristen seharusnya dihormati, dipenuhi, dan dilindungi hak beribadah dengan aman dan nyaman oleh negara, baik itu di rumah, vila, maupun di rumah ibadah. Hal yang sangat disayangkan adalah tindakan intimidasi hingga kekerasan yang dilakukan oleh kelompok masyarakat, yang pada akhirnya menciptakan rasa takut dan trauma bagi korban,” kata Ucu kepada BandungBergerak, Selasa, 1 Juli 2025.
Ucu mengapresiasi tindakan responsif yang dilakukan Gubernur Jawa Barat dalam menanggapi kasus pelanggaran KBB yang terjadi ini. Namun, yang perlu menjadi catatan penting adalah pengawalan terhadap klarifikasi dari Forum Koordinasi Pimpinan Kecamatan (Forkopimcam) Cidahu yang akan bertanggung jawab atas kerusakan yang terjadi.
Menurutnya, tanggung jawab tidak bisa penggantian materi saja, tetapi juga perlu adanya pemulihan psikososial kepada para korban. Aparat penegak hukum juga perlu menindak secara hukum para pelaku tindakan intoleransi, agar kasus serupa tidak menjadi preseden buruk yang bisa terulang di masa yang akan datang. Negara juga harus bertindak cepat melakukan langkah pencegahan untuk memastikan agar kasus macam ini tidak terulang.
Ucu berpesan, toleransi bukan sekedar memaklumi perbedaan, tetapi menghormati keberadaan orang lain dan mendukung mereka untuk dapat menjalankan keyakinannya dengan aman dan bermartabat. Toleransi bukan berarti menahan diri sambil diam-diam merasa terganggu atas perbedaan.
“Melainkan membuka ruang untuk memahami, mendengar, dan membantu memastikan semua orang memiliki hak yang sama dalam beribadah dan mengekspresikan keyakinannya, tanpa rasa takut atau tekanan,” katanya.
Retret dan ibadah yang dilakukan teman-teman pelajar Kristen adalah bagian dari hak kebebasan beragama berkeyakinan yang dijamin oleh konstitusi dan hak asasi manusia. Kebebasan ini mencakup hak internum (kebebasan meyakini di dalam hati) dan forum eksternum (kebebasan mengekspresikan keyakinan secara nyata dalam ibadah dan kegiatan keagamaan; melaksanakan ritual keagamaan).
Ucu menegaskan, hak internum dan eksternum wajib dihormati, dilindungi, dipenuhi, dan tidak boleh dibatasi hanya karena prasangka atau ketakutan yang tidak berdasar, apalagi hingga menimbulkan tindakan kekerasan.
“Negara harus menjalankan tiga mandat utama untuk melindungi, menghormati, dan memenuhi hak beribadah dengan aman dan nyaman setiap warga negaranya, tanpa terkecuali,” tegasnya.
***
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB