Memahami Istilah Konsensual dalam Konteks Kekerasan Seksual Bersama Great UPI
Pengertian consent atau persetujuan dalam konteks kekerasan seksual masih terdengar asing. Great UPI menjelaskannya secara terang benderang.
Penulis Selsha Septifanie Gunawan2 Juli 2025
BandungBergerak.id - Kekerasan seksual di lingkungan kampus masih menjadi masalah serius yang belum sepenuhnya terselesaikan. Meski berbagai kebijakan diterapkan seperti pembentukan Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (Satgas PPKS), ruang aman masih belum sepenuhnya hadir.
Menurut Data Satgas PPKS UPI, tahun 2024 tercatat ada 74 kasus aduan kekerasan seksual. Sedangkan pada tahun 2023, jumlahnya 62 kasus. Itu adalah angka tertinggi sejak sistem pelaporan berbasis digital ini diberlakukan, dengan estimasi bahwa sekitar 21 kasus terjadi di lingkungan kampus UPI tahun 2024.
Isu ini menjadi sorotan dalam diskusi terbuka yang diselenggarakan Gender Research Student Center (Great UPI), Selasa, 24 Juni 2025 di taman Isola Universitas Pendidikan Indonesia. Dalam diskusi tersebut, para peserta mengungkap bahwa salah satu penyebab maraknya kekerasan seksual adalah kesalahpahaman terhadap konsep kekerasan itu sendiri—terutama dalam kaitannya dengan persetujuan (informed consent).
Consent adalah persetujuan yang diberikan oleh seseorang secara sadar, sukarela, tanpa tekanan, manipulasi, atau paksaan. Persetujuan ini harus aktif, eksplisit, dan dapat berubah sewaktu-waktu. Artinya, seseorang yang telah menyetujui sesuatu sebelumnya tetap berhak untuk menarik kembali persetujuannya kapan saja.
Nazwa, salah satu pemantik diskusi, mengatakan bahwa consent bukanlah hal yang bisa diartikan secara sederhana atau sepihak. “Banyak orang yang bilang iya karena takut, bukan karena benar-benar mau. Konsen itu bukan cuma soal setuju, tapi juga soal punya pilihan untuk bilang tidak,” ucap Nazwa.
Nazwa juga menekankan, consent berlaku dalam semua bentuk relasi, termasuk dalam relasi romantis. Ia mengingatkan bahwa status pacaran, bahkan menikah sekalipun bukan berarti bisa menghapus kebutuhan dan persetujuan yang eksplisit dan sadar dari kedua belah pihak
“Jika salah satu pihak tidak sadar, misalnya karena pengaruh alkohol, maka hubungan yang terjadi tidak bisa dianggap konsensual,” tegas Nazwa.
Penegasan ini penting, sebab banyak kekerasan seksual yang tidak dikenali karena pelakunya menggunakan relasi personal sebagai pembenaran. Padahal, consent tetap harus hadir dalam setiap situasi—tanpa pengecualian.
Baca Juga: Kekerasan Seksual Kembali Terjadi di Bandung, Keseriusan Penanganan dan Pencegahan Perlu Dipertajam
PROFIL GREAT UPI: Jalan Pedang Pendamping Kasus Kekerasan Seksual di Kampus
Konsep Consent FRIES dan CRISP yang masih Awam di Masyarakat
Auly, salah satu pemantik diskusi menjelaskan bahwa terdapat dua pendekatan utama dalam memahami consent: FRIES dan CRISP. Kedua model ini menekankan pentingnya persetujuan yang sadar, aktif, dan tidak dilakukan di bawah tekanan.
FRIES—Freely given, Reversible, Informed, Enthusiastic, Specific—merupakan konsep consent yang umum digunakan dalam relasi personal dan romantis. Model ini menekankan bahwa persetujuan harus diberikan secara sadar, aktif, dan tanpa tekanan dalam bentuk apa pun. Menurut Auly, consent harus diberikan secara bebas tanpa paksaan dari siapa pun. Artinya, seseorang harus merasa aman dan nyaman saat mengatakan “ya”, tanpa tekanan emosional, ancaman, atau bujuk rayu.
Selain itu, consent bersifat reversible—dapat ditarik kembali kapan saja. Sayangnya, kekeliruan masih terjadi di masyarakat yang menganggap bahwa consent yang disetujui saat awal berlaku untuk selamanya dan tidak bisa ditarik kembali. Padahal, consent bersifat dinamis — seseorang berhak sepenuhnya mengubah atau membatalkan persetujuannya kapan saja, dan hal tersebut sepenuhnya sah dan harus dihormati.
“Misalnya awalnya bilang iya, tapi di tengah jalan dia merasa tidak nyaman dan ingin berhenti, itu tetap harus dihormati. Konsen itu reversible,” jelas Auly. Hal ini menegaskan bahwa consent bukanlah keputusan final yang mengikat selamanya.
Kekeliruan pemahaman consent berbahaya karena membuka ruang bagi kekerasan seksual yang tidak disadari, baik oleh pelaku maupun korban.
Sementara itu, CRISP—Considered, Reversible, Informed, Specific, Participatory—lebih relevan digunakan di ranah profesional, seperti industri hiburan dan kerja seksual. Dalam model ini, antusiasme tidak wajib selama persetujuan diberikan dengan kesadaran penuh.
“Dalam dunia profesional, orang nggak harus antusias. Tapi dia harus sadar, tahu apa yang dia setujui,” ujar Orie, pemantik diskusi lainnya.
Selama persetujuan diberikan secara sadar, dapat dibatalkan, dan seluruh informasi sudah diketahui, maka itu tetap sah sebagai consent.
CRISP juga menambahkan elemen partisipasi (participatory), yang berarti semua pihak yang terlibat dalam aktivitas tersebut harus hadir secara sadar dan berpartisipasi aktif. Tidak boleh ada pihak yang hanya "ikut diam" atau terlibat karena tekanan struktural, seperti relasi kuasa dalam pekerjaan.
Melalui pembahasan dua model ini, diskusi menekankan bahwa consent bukan hanya soal berkata “iya” sekali, tetapi tentang pemahaman penuh terhadap konteks, batas, dan hak individu untuk berkata tidak kapan saja.
***
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB