Revitalisasi Trotoar di Bandung Membutuhkan Nasihat dari Komunitas Difabel
Pemkot Bandung merevitalisasi trotoar Taman Lalu Lintas. Akan menjadi percontohan untuk fasilitas publik yang inklusif.
Penulis Yopi Muharam3 Juli 2025
BandungBergerak.id - Pemerintah Kota Bandung melalui Dinas Sumber Daya Air, Bina Marga, dan Bina Konstruksi (DSDABM) tengah menggarap proyek percontohan trotoar ramah disabilitas di kawasan Taman Lalu Lintas. Trotoar yang terbuat dari aspal ini diklaim untuk menghadirkan ruang kota yang inklusif bagi semua kalangan. Apakah revitalisasi ini melibatkan kawan difabel dalam perencanaannya?
Taufik Hidyatullah, pengurus Bandung Independent Living Center atau Bilic mengapresiasi langkah pemerintah Kota Bandung menciptakan infrastruktur yang inklusif bagi kawan difabel. Namun, Bilic yang menaungi 30 organisasi difabel se-Jawa Barat tidak dilibatkan dalam revitalisasi trotoar.
“Biasanya kami itu diundang dari mulai perencanaan, sampai nanti evaluasi,” terang Taufik Hidyatullah, saat dihubungi BandungBergerak, Rabu, 2 Juli 2025. “Nah, sementara untuk yang ini tuh (revitalisasi trotoar) kemarin hanya dapat kabarnya aja,” lanjutnya.
Taufik yang juga difabel fisik, mengingatkan pemerintah harus melibatkan kawan difabel ketika akan melakukan pembangunan infrastruktur publik yang inklusif, mulai dari perencanaan, pengerjaan, hingga evaluasi. Dia merasakan banyak trotoar di Bandung yang tidak sesuai dengan standar kawan difabel atawa tidak inklusif.
Menurutnya, banyak kawan difabel netra yang mengeluhkan pedestrian yang tidak aksesibel karena terhalang oleh pohon atau tiang listrik. Taufik sebagai pengguna kursi roda juga mengeluhkan hal serupa, misalnya bidang miring ramp (alternatif dari tangga) tidak sesuai standar operasional prosedur (SOP). “Pokoknya kalau SOP ramp itu jangan melebihi kemiringan enam derajat,” terangnya.
Beberapa kali kursi roda Taufik tersangkut permukaan jalan dan ramp yang tidak sesuai standar. Ia kesulitan jika bepergian seorang diri. “Jadi harus dibantu gitu kalau nyentug (menyentuh) ke jalan,” keluhnya.
Tanpa pelibatan kawan difabel dalam membangun infrastruktur publik, ia khawatir fasilitas publik tersebut akan sia-sia. Hal senada juga diungkapkan Tri Nur Subhi, kawan netra yang juga aktivis difabel. Dia mengatakan pelibatan kawan difabel harus dilakukan oleh pemerintah Kota Bandung.
Tri khwatir revitalisasi trotoar atau fasilitas publik lainnya tak berjalan maksimal jika dibuat tanpa perencanaan matang yang melibatkan kawan difabel. “Jadi ya memang butuh ada audiensi, obrolan, diskusi, terus dilibatkan dalam perencanaan, berpartisipasi juga dalam pengembangannya,” ujar Tri, saat dihubungi BandungBergerak, Rabu, 2 Juli 2025.
Tri menjelaskan, trotoar yang ramah difabel harus menyediakan berbagai fasilitas, seperti handrail atau pegangan, pola khusus di guiding block, kursi duduk, dan simbol lainya untuk mempermudah para teman netra seperti Tri. “Terus misalnya untuk naik ke bis itu haltenya rata antarabis dan trotoar harus nempel,” ujarnya.
Bagi Tri, kota inklusif adalah impian. Ia berharap Kota Bandung benar-benar menjadi kota yang inklusif, sehingga ia dan kawan-kawan difabel bisa mandiri dalam beraktivitas sehari-hari.
Sebelumnya, Kepala DSDABM Kota Bandung, Didi Ruswandi menjelaskan revitalisasi trotoar di Taman Lalu Lintas memiliki panjang sekitar 800 meter. Aspal dipilih sebagai alas agar bisa digunakan warga yang berolahraga maupun pengguna kursi roda.
“Ini bukan hanya soal jogging. Yang utama adalah tetap ramah disabilitas,” ujar Didi, dalam keterangan resmi, Selasa, 1 Juli 2025. Ke depan, trotoar akan dilengkapi dengan sarana dan prasarana penunjang kawan disabilitas, seperti guiding block, ramp, dan fasilitas lainnya.
Trotoar Bandung Belum Ramah Difabel
Tingkat inklusivitas suatu kota salah satunya tercermin dari fasilitas pedestrian yang ramah bagi semua warga, termasuk kelompok disabilitas. Namun, di Kota Bandung, akses terhadap trotoar masih menyisakan banyak persoalan bagi para difabel.
Tri Nur Subhi kerap menghadapi kesulitan saat berjalan kaki di Bandung. Ia mengandalkan tongkat sebagai alat bantu navigasi, namun keberadaan berbagai penghalang seperti pohon, tiang listrik, gerobak penjual, hingga kendaraan yang parkir sembarangan membuatnya sulit bergerak. Tidak jarang ia menabrak benda-benda tersebut karena ketiadaan tanda seperti guiding block atau simbol pendukung lainnya. “Kalau kesenggol itu pasti sakit,” keluh Tri.
Menurut Tri, fungsi trotoar seharusnya mengutamakan kenyamanan dan keamanan untuk semua kelompok, terutama kelompok rentan seperti lansia, anak-anak, dan penyandang disabilitas. Ia tidak mempermasalahkan material yang digunakan dalam pembangunan trotoar, selama trotoar tersebut nyaman dan berfungsi sebagaimana mestinya.
Masalah serupa juga dialami Taufik, pengguna kursi roda. Ia menyoroti bahwa banyak trotoar di Bandung lebih menekankan pada keindahan visual dibandingkan fungsi aksesibilitas. Ia menyebut revitalisasi trotoar pada masa kepemimpinan Wali Kota Ridwan Kamil sebagai contoh proyek yang justru menyulitkan mobilitas difabel.
“Jadi yang didahulukan itu estetiknya, keindahannya gitu kan. Sementara untuk fungsinya jadi terbengkalai,” tandas Taufik.
Ia mencontohkan beberapa rancangan pedestrian yang mengganggu akses, seperti guiding block yang terhalang oleh bola-bola ornamen jalan. “Misalnya kaya guiding block (Ubin Pemandu) terhalang sama bola-bola bulat yang menyebabkan terhalangnya jalan,” ungkapnya.
Baca Juga: Membela Kawan-kawan Difabel Bandung dalam Pemenuhan Hak Pelayanan Tes HIV
KADO 214 TAHUN KOTA BANDUNG: Belum Ramah Bagi Kawan-kawan Difabel
Harapan Akan Fasilitas yang Sesuai Standar
Taufik menyebutkan kawasan Balai Kota Bandung di Jalan Merdeka sebagai contoh area yang cukup ramah bagi difabel. Di kawasan tersebut, trotoar dinilai cukup lebar dan nyaman digunakan. “Yang sudah mewakili (trotoar ramah disabilitas) itu daerah sekitaran Balai Kota. Lebarnya segitu sudah cukup menurut saya tuh,” katanya.
Tri pun memiliki pandangan serupa. Ia menyebut bahwa akses trotoar yang nyaman di Kota Bandung hanya terdapat di kawasan pusat kota. “Kalau di Kota Bandung sendiri ya memang belum banyak tempat yang aksesibel sebenarnya. Kecuali memang di Balai Kota karena di situ memang pusat kota,” tuturnya.
Merujuk pada buku Pedoman Perencanaan Teknis Fasilitas Pejalan Kaki dari Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), lebar minimal trotoar seharusnya 150 cm agar dua orang dapat berjalan berdampingan atau berpapasan tanpa saling bersentuhan. Permukaan trotoar pun harus rata, bebas dari lubang atau hambatan, serta tidak licin, guna mencegah risiko terjatuh, terutama saat basah.
Sementara itu, menurut laman Futagotrotoar, pemasangan guiding block harus memenuhi standar simbol: directional block (garis lurus sebagai penunjuk arah) dan warning block (pola bulatan yang menunjukkan perubahan arah atau potensi bahaya). Guiding block juga harus memiliki warna yang kontras dengan permukaan trotoar agar mudah terlihat oleh pengguna netra.
Selain itu, penerangan yang memadai, rambu-rambu informasi yang mudah dipahami, serta koneksi antara trotoar dengan fasilitas publik seperti halte, stasiun, atau bangunan umum menjadi bagian dari elemen penting dalam menciptakan aksesibilitas yang inklusif.
***
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB