KADO 214 TAHUN KOTA BANDUNG: Belum Ramah Bagi Kawan-kawan Difabel
Lebih dari 9.000 kawan-kawan difabel tinggal di Kota Bandung. Mereka membutuhkan jalan yang mudah diakses dan ruang-ruang publik yang inklusif.
Penulis Yopi Muharam19 September 2024
BandungBergerak.id - Di antara deretan apartemen transit milik Pemerintah Provinsi Jawa Barat terdapat keluarga kecil teman netra. Tri Nur Subhi (33 tahun) tengah memetik gitarnya di sebuah rumah tipe 24. Tri merupakan satu-satunya penghuni difabel di antara 266 unit apartemen yang dikelola Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Pemprov Jabar, Jalan A.H Nasution, Ujung Berung, Kota Bandung.
Tri merupakan pekerja informal yang berfokus pada pijat shiatsu, sebuah teknik pijat ala Jepang yang tidak menggunakan minyak dalam pemijatannya. Shiatsu hanya mengandalkan pada tekanan jari-jari tangan saja.
Sudah 10 tahun dia bergelut sebagai tukang pijat shiatsu. Pengalaman tersebut Tri peroleh selama pelatihan di Wyata Guna, balai pendidikan khusus difabel penglihatan. Sebuah tempat rehabilitasi untuk penyandang penglihatan yang di bawah Kementerian Sosial.
Sebelumnya, pria kelahiran Jawa Tengah itu bekerja sebagai montir bengkel dan penjaga konter gawai. Tahun 2010, dia divonis mengalami low vision akibat lemahnya syaraf retina yang membawanya ke tempat rehab di Jalan Pajajaran no. 52 Kota Bandung itu.
“Seingat saya dulu pas mau tidur ngeliat lampu tuh kaya ada dua, pas besoknya bangun udah gelap enggak bisa liat apa-apa,” kenang Tri, mengorek ingatan 14 tahun silam, Rabu, 12 September 2024.
Dalam kurun waktu dua tahun sejak 2012 sampai 2014, dia sudah mahir memijat teknik shiatsu. Berbekal pelatihan, Tri percaya diri untuk bisa mandiri menghasilkan pundi-pundi kebutuhannya.
Ketika masih di Wyata Guna banyak pelanggan yang menghampiri Tri. Tetapi karena memutuskan untuk mandiri, dia harus terbiasa menerima panggilan di mana pun domisili pelanggan berada.
Tidak mudah bagi Tri untuk bisa menghampiri pelanggan. Infrastruktur yang belum ramah difabel jadi tantangan baginya. Guiding block jalan di Kota Bandung untuk difabel penglihatan belum merata sepenuhnya. Tri menilai pembangunan yang belum merata itu masih membahayakan dirinya.
Jalur berwarna kuning yang terdapat di pedestrian Kota Bandung masih terhalang oleh tiang listrik atau pohon. Belum lagi, pedestrian yang mepet dengan jalan raya dan solokan membuat tidak nyamannya penyandang difabel penglihatan seperti Tri untuk berjalan. Meski Tri dibantu tongkat untuk mempermudah berjalan, tetap saja kekhawatiran masih terus membayang-bayanginya.
Tidak hanya itu, menurut Tri kontur jalan yang tidak rata juga dapat membahayakannya. Kendati kalau siang, Tri masih dapat melihat secercah cahaya. Namun tetap saja, akses tersebut masih terbilang cukup ekstrem bagi Tri. Lain ceritanya ketika siang sudah berganti malam.
Ketika sore hari menjelang, acap kali pedestrian di Bandung digunakan untuk berjualan. Tenda atau roda pedagang sering kali menutupi guiding block. Jika hendak menyingkir ke bahu jalan, Tri khawatir terserempet kendaraan. Jika terlalu mepet ke arah lain, ia khawatir terperosok ke selokan.
Tak perlu melihat ke pusat kota, ujar Tri. Tepat di depan apartemennya itu di Jalan A.H Nasution, akses bagi penyandang difabel masih sangat kurang. Bahkan cenderung memprihatinkan. Tri menyebut akses untuk penyandang disabilitas, bukan hanya sekadar guiding block saja. Tetapi rambu untuk menyebrang, ramp, sampai lampu jalan merupakan tiga aspek paling penting bagi kelompok rentan ini.
Ketiga aspek itu menurut Tri bukan hanya membantu penyandang kaum difabel saja, melainkan juga akan menolong kaum lansia atau ibu hamil. Menurut Tri, banyak difabel yang kepengin sekali bersosialisasi dan main ke luar rumah. Akses yang belum mumpuni itulah yang menghambat mereka.
“Itulah kenapa disabilitas itu kadang-kadang males keluar tuh bukan males, sebenernya tuh mereka pengin keluar kalau infrastrukturnya itu sudah aksesibel,” ujar Tri yang juga menjabat seabagi sekretaris Ikatan Tunanetra Muslim Indonesia (ITMI) Kota Bandung.
Tranportasi Publik Belum Ramah Difabel
Di tengah perhelatan milad Bandung Independent Living Centre (Bilic) yang ke-21 di auditorium bawah Masjid Al Jabbar, Sabtu, 7 September lalu, seorang pria difabel tengah sibuk mondar-mandir mengayuh kursi roda. Dia adalah Taufik Hidyatullah (43 tahun).
Taufik merupakan wirausaha yang menjual beraneka jajanan tradisional bersama sang istri. Sudah lima tahun dia bergelut di bidang kuliner. Sebelumnya dia bekerja di perusahaan asuransi selama enam tahun. Taufik menjajakan makanannya dengan mendistribusikan ke berbagai warung dan jajanan basah di pinggir jalan.
Lebih dari itu, Taufik juga merupakan atlet bowling kursi roda. Dia terbilang berprestasi di bidang olahraga. Dia pernah mencetak kejuaraan pada Pekan Paralimpiade Nasional (Papernas) di Jawa Barat 2016 dengan memperoleh satu emas dan dua perak.
Pada tahun 2018, dia mencetak kembali kemenangan di perhelatan Pekan Paralimpiade Daerah (Paperda) di Kabupaten Bogor dengan memperoleh dua emas dan dua perak. Total dia sudah mendapatkan tiga emas dan empat perak selama berkecimpung sebagai atlet bowling kursi roda.
Di tengah keberhasilan Taufik mencetak prestasi mengharumkan nama daerah, atau sukses dalam bidang kuliner, tidak cukup baginya untuk leluasa beraktivitas ke luar rumah. Sama seperti Tri, Taufik mengeluhkan akses jalan di Kota Bandung yang belum ramah difabel.
Sebelum menggunakan kursi roda, dia sempat merasakan berjalan dibantu dengan kedua tongkatnya. Namun, kontur jalan yang belum aksesibel membuat Taufik kesusahan bepergian. Belum lagi ditambah faktor usia yang cukup tua. Taufik tidak mampu lagi menahan beban badannya jika hanya mengandalkan kedua tongkatnya.
Banyak sekali pengalaman Taufik yang dibilang tidak mengenakan selama dia bepergian menggunakan tongkat saja. Pernah, sekali, Taufik bepergian menggunakan kereta api. Menurutnya stasiun saat ini, sudah menunjang bagi teman difabel. Karena aksesnya sudah mumpuni, mulai dari ramp, guiding block, toilet difabel, hingga kursi roda.
Namun dari semua sarana tersebut, Taufik pernah sekali terjatuh ketika dia menuruni lewat travelator. Semacam eskalator namun bidangnya rata. Ketika itu, dia hendak melangkah turun. Sesampainya di landasan, tidak ada handle untuk menahan Taufik. Antara kaki yang sudah melangkah dan tangan yang masih memegang handrail membuat badannya hilang keseimbangan. Dan akhirnya Taufik tersungkur.
“Jadi ketika kaki sudah ada di landasan tapi tangan masih ada di handrail bergerak itu. Itu saya jatuh dan langsung dibantuin,” ujar Taufik mengenang kejadian tidak mengenakan itu, beberapa tahun silam.
Sehari-hari, Taufik mengandalkan kursi roda dan motornya yang dimodif jadi tiga roda. Hal itu mempermudah Taufik untuk bepergian ke mana pun. Bukan tanpa alasan dia memilih moda transportasi pribadi. Taufik pernah mengalami beberapa kejadian tidak mengenakan selama menggunakan transportasi publik.
Dapat dikatakan, pengalamannya itu membuat Taufik trauma. Dia bercerita, dari sekolah dasar hingga semasa kuliah di Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Siliwangi –kini UPI—pada tahun 1999, dia sering bolak-balik menggunakan transportasi publik. Bus, contohnya.
Saat itu, Taufik hendak berangkat ke kampus. Baru saja dia menginjakkan kaki di bus, sudah ada kejadian yang membuatnya jatuh. Tangga di bus membuatnya kesusahan untuk naik. Belum lagi saat itu sopir bus tidak sabaran untuk menancap gas. Sebelum Taufik mendaratkan badannya di kursi penumpang, bus sudah jalan tanpa aba-aba. Ia pun jatuh.
“Saya belum juga melangkah atau duduk di kursi sopirnya langsung ngegas, jatoh itu saya,” ujar Taufik mengenang masa kuliahnya di UPI, jurusan pendidikan teknik elektro.
Selama kuliah di UPI, dia tidak membereskan hingga akhir. Luasnya UPI dan jalanan yang menanjak, belum lagi gedung yang tidak aksesibel, membuatnya mengurungkan diri untuk lulus di UPI. Kini Taufik telah menyandang gelar sarjana setelah lulus di jurusan Sejarah Peradaban Islam, UIN SGD Bandung tahun 2006.
Lain cerita ketika dia harus naik menggunakan angkutan umum (angkot). Taufik harus bersabar menunggu hingga menemukan angkot yang kursi depannya kosong. Ia akan kerepotan jika harus duduk di kursi belakang angkot. Kecilnya pintu angkot dan pendeknya atap angkot membuat ia susah naik dan turun.
Hal yang ideal menurut Taufik adalah ketika sudah ada halte yang aksesibel. Taufik mencontoh di Jakarta. Terintegrasinya transportasi publik di Jakarta seharusnya menjadi contoh untuk Kota Bandung. Aksesibilitas yang mumpuni, mampu membuat kawan difabel bisa mandiri.
“Kalau kita naiknya yang bukan di terminal dan turunya juga bukan di terminal atau jalan biasa, itu kan bikin repot,” tutur Taufik.
Terhitung selama tahun 2023, alih-alih merevitalisasi atau menambah halte, Pemkot Bandung malah meratakan halte sebanyak 41 di sejumlah titik di Kota Bandung.
Di sisi lain, Tri juga pernah mengalami hal tidak mengenakan saat naik transportasi publik. Pernah dia naik angkot ketika pulang setelah dapat panggilan memijat. Tri sampe kebablasan untuk turun di apartemennya.
Jika sudah terlewat, Tri yang menderita low vision akan sulit menuju ke unit kamarnya. Tri sudah terbiasa menghafal jalan dengan ciri di tiap sudut. Tembok atau irigasi, contohnya. “Saya pernah, saya sering kelewat (saat naik angkot). Makannya saya jarang naik angkot. Bukan enggak mau,” ujar Tri.
Keberanian Tri untuk naik angkot muncul ketika diantar oleh anak tunggalnya yang masih duduk di bangku sekolah dasar kelas satu. Sedangkan istri Tri, bernasib sama dengan Tri yang mengalami difabel penglihatan sejak lulus di bangku kuliah.
Akses buruk bagi kaum difabel di Kota Bandung sejalan dengan penelitian Maryam Suasana Oktoviawati Sundari (2016) tentang Pemetaan Tingkat Kepuasan Masyarakat Pengguna Pelayanan Umum di Kota Bandung. Hasil penelitian ini menunjukan nilai persentase yang memprihatinkan. Maryam meneliti 100 koresponden dari total 30 Kecamatan di Kota Bandung.
Maryam melakukan penelitian menggunakan metode kuantitatif. Dari 30an Kecamatan, Maryam membagi dua wilayah menjadi 12 kecamatan dan 18 kecamatan.
Dari hasil penelitian menunjukan 12 kecamatan yang terdiri dari Kecamatan Sukajadi, Cibeunying Kidul, Cicendo, Andir, Buah Batu, Bojongloa Kaler, Sukasari, Regol, Ujung Berung, Rancasari, Antapani, dan Cibiru menunjukkan persentase tingkat kepuasan ‘sangat tidak puas’.
Sedangkan di 18 kecamatan lain yang terdiri dari Kecamatan Babakan Ciparay, Bandung Kulon, Kiaracondong, Coblong, Batununggal, Bojongloa Kaler, Lengkong, Cibeunying Kaler, Arcamanik, Astana Anyar, Mandalajati, Bandung Kidul, Cidadap, Panyileukan, Gedebage, Sumur Bandung, Bandung Wetan, dan Cinambo, menunjukkan hasil ‘tidak puas’.
Maryam meneliti dari tujuh faktor, adapun faktor tersebut ialah: keselamatan, keamanan, kenyamanan, aksesibilitas, handal, biaya, dan ramah lingkungan. Pada aspek keselamatan terdapat nilai 63,90 dengan keterangan ‘sedang’. Pada aspek keamanan terdapat nilai 59,52 atau ‘tidak puas’. Di aspek kenyamanan terdapat nilai 45,21 persen atau ‘tidak puas’. Sedangkan pada aspek aksesibilitas terdapat nilai 81,39 persen atau ‘puas’.
Keempat aspek tersebut sangat bergantung pada penyandang difabel dalam memilih moda transportasi. Dari empat aspek itu, hanya satu yang dikatakan ‘puas’ yaitu pada aspek aksesibilitasnya.
“Jika dilihat dari hasil penelitian tersebut dapat dilihat bahwa hampir keseluruhan wilayah di Kota Bandung dapat dikatakan belum sepenuhnya puas terhadap pelayanan transportasi umum yang ada,” tulis Maryam, diakses Jumat, 13 September 2024.
Baca Juga: KADO 214 TAHUN KOTA BANDUNG: Persoalan Parkir Lebih dari Getok Tarif, Ada Potensi Puluhan Miliar Rupiah yang Belum Bisa Terserap
KADO 214 TAHUN KOTA BANDUNG: Belum Mampu Memilah Sampah
KADO 214 TAHUN KOTA BANDUNG: Perkara Parah Kemacetan
Secercah Harapan untuk Kota Aksesibel
Azan ashar berkumandang. Suaranya nyaring melewati lorong-lorong apartemen transit Pemprov Jabar. Cuaca cukup sejuk dengan suhu 29 derajat celcius. Hari sebelumnya, Kota Bandung diguyur hujan sehari penuh yang membuat seisi tanaman terlihat segar dipandang.
Tri mengajak berkeliling apartemen. Ada tiga tower twins block menjulang di tanah seluas 1,4 hektar. Sepanjang jalan, tidak ada satupun guiding blok. Hanya tangga kecil dan ramp saja yang terlihat. Kondisi tersebut sangat tidak aksesibel bagi Tri atau penyandang penglihatan lainnya.
Terhitung sudah empat bulan Tri menetap di apartemen transit. Rata-rata penghuni di sini merupakan Pegawai Negeri Sipil (PNS) golongan tiga. Berkat keluarnya surat keputusan (SK) kerja dari Yayasan Sekolah Luar Biasa (SLB) ABCD, Tri diperkenankan menetap di sini.
Sebulan Tri membayar biaya sewa sebesar 550 ribu rupiah. Harga yang lumayan bagi Tri yang bekerja sebagai tukang pijat shiatsu. Sehari dia dapat pelanggan minimal seorang, dan itu pun tidak tentu. Sebelumnya biaya sewa hanya sebesar 215 ribu rupiah saja. Akan tetapi, setelah Tri masuk biaya sewa jadi naik dua kali lipat. Menurut Tri kenaikan itu disebabkan karena perda nomor 9 tahun 2023 tentang pajak daerah dan retribusi daerah.
Pintu masuk rumah Tri berbeda dari unit yang lain. Pintunya terbuka keluar saat hendak masuk. Bukan tanpa alasan, menurut Tri pintu untuk penyandang penglihatan memang harus seperti itu. Agar tidak kejedot, ujarnya. Sedangkan pintu toiletnya terlihat lebar. Seperti dua pintu dijadikan satu. Lagi-lagi, Tri menjelaskan pintu seperti itulah yang ideal untuk penyandang penglihatan. Lebar dan terbuka keluar.
Sulitnya untuk mendapat tempat yang aksesibel di Kota Bandung terus dikeluhkan Tri dan Taufik. Tentunya mereka tidak tinggal diam. Tri yang aktif di ITMI dan Taufik di Bilic, membuat mereka terus vokal dalam menyuarakan aksesibilitas yang setara. Agar para penyandang disabilitas mampu mandiri dalam menjalani hari-harinya.
Sejak Kota Bandung dipimpin oleh Ridwan Kamil, Kota Bandung sering menggaungkan kota yang inklusi. Artinya harus ramah pada semua kalangan termasuk difabel. Bahkan pada tahun 2015, Kang Emil, begitu sapaan akrabnya, membuat taman yang dinamakan taman inklusi di Jalan Saparua, berdampingan dengan taman Maluku.
Tanah seluas 400 meter persegi itu, menghabiskan dana 400 juta rupiah dari APBD tahun 2015. Peresmian itu menjadi cikal bakal Bandung dinamakan kota inklusi hingga sekarang. Akan tetapi, Taufik membantah itu semua. Menurut Taufik Bandung masih terlampau jauh untuk menjadi kota inklusi.
“Tapi Kota Bandung yang menyatakan sebagai kota inklusi sampai sekarang belum inklusi-inklusi. Jadi kapan mau jadi kota yang bener-bener inklusi?” tegas Taufik.
Selama aktif di Bilic, terhitung hanya sekali saja pemerintah melibatkan kaum difabel mulai dari pengauditan sarana dan prasarana untuk menunjang difabel. Itu pun hanya Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan (BPPK) Ciloto saja, sebuah lembaga pemerintahan di bawah naungan Kementrian Keuangan.
Menurut Taufik, hal tersebut mesti diapresiasi. Sebab, dalam pengauditan hingga pelaksanaan pembangunan, penyandang difabel dilibatkan hingga akhir. Meski, menurut Taufik, pegawai BPPK Ciloto tidak ada yang difabel. Akan tetapi BPPK Ciloto mempersiapkan pembangunan itu agar menjadi kantor yang aksesibel bagi semua pihak.
“Kita kan mengaudit dulu, terus gimana sih rekomendasi kita sebagai tim audit dari Bilic, tuh,” kata Taufik. “Gedung ini harus kaya gimana, rancang bangunan ini harus kaya gimana, jadi semua kebutuhan disabilitas itu bener-bener disiapkan secara komperhensif.”
Di sisi lain, Tri mendorong pemkot Bandung untuk melibatkan difabel dalam menentukan perundang-undangan. Produk hukum yang ada belum cukup untuk menaungi penyandang disabilitas.
Peraturan Wali Kota Bandung Nomor 120 Tahun 2022 hanya mengatur tentang standar sarana dan prasarana pelayanan tempat peribadatan bagi penyandang difabel saja. Belum mencakup keseluruhan kebutuhan bagi penyandang difabel seperti transportasi dan pembiayaan.
“Nah, itulah yang membuat kita tuh mengakses perundang-undangnya tuh jadi susah, produk hukumnya,” jelas Tri. “Karena memang tim koordinasi juga gak ada, ya mungkin bisa dibikin koordinasi dan evaluasi yang melibatkan penyandang disabilitas ragam.”
Tri dan Taufik hanya sepenggal kisah teman disabilitas yang kesulitan dalam mengakses sarana dan prasarana di Kota Bandung. Masih ada 9.020an kawan difabel (lihat: data BPS Kota Bandung diperbarui Februari 2024) yang membutuhkan sarana prasarana aksesibel.
Kota Bandung sudah berumur 214 tahun. Kawan-kawan difabel berharap hadirnya kota yang aksesibel agar mereka mampu hidup mandiri.
*Kawan-kawan dapat membaca tulisan-tulisan lain Yopi Muharam atau artikel-artikel lain tentang tentang Kawan-kawan Difabel