• Berita
  • Diskusi di Perpustakaan Bunga di Tembok: Palestina dalam Bingkai Media Barat, antara Pembantaian Massal dan Melenyapkan Subjek

Diskusi di Perpustakaan Bunga di Tembok: Palestina dalam Bingkai Media Barat, antara Pembantaian Massal dan Melenyapkan Subjek

Diskusi kritis tentang bagaimana media-media barat (Eropa dan Amerika Serikat) menghindari istilah pembantaian massal di Palestina.

Diskusi framing media barat terhadap pembantaian massal di Palestina, di Perpustakaan Bunga di Tembok, Bandung, Sabtu 28 Juni 2025. (Foto: Leo Saputra/BandungBergerak)

Penulis Fitri Amanda 3 Juli 2025


BandungBergerak.id - Framing media bukan sekedar pemilihan kata, tetapi juga bagaimana pemberitaan membentuk sudut pandang publik. Dalam isu Palestina, framing media-media barat (Eropa dan Amerika Serikat) menentukan siapa yang dianggap korban dan siapa yang dianggap sebagai ancaman. Pemilihan sudut pandang pemberitaan hingga pemilihan kata membentuk cara publik memahami pembantaian massal (genosida) yang terjadi di Palestina.

“Framing dan bias itu udah kayak media bernapas saja, cara bernapasnya ya begitu. Apakah dia disadari atau tidak, bias itu sudah otomatis,” ungkap Wisnu Prasetya seorang dosen Ilmu Komunikasi di salah satu universitas di Indonesia dalam diskusi publik “Di Balik Lensa dan Berita: Palestina dalam Bingkai Media” di Perpustakaan Bunga di Tembok, Bandung, Sabtu 28 Juni 2025.

Bias dalam pemberitaan Palestina di media-media barat bukanlah karena kecenderungan ideologis, melainkan sebuah bukti dari ketidakmungkinan media untuk bersikap netral. Wisnu menegaskan, meskipun secara akademik akan masih ada yang berargumen bahwa media dapat menunjukkan sikap netral, tetapi bagi Wisnu sangat tidak mungkin jurnalis dapat bersikap demikian.

Wisnu menyatakan ketidakmungkinan ini hadir akibat dua hal yaitu personal dan struktural. Dalam hal personal, setiap jurnalis tentu memiliki nilai-nilai, pengalaman, serta sudut pandangnya sendiri terhadap suatu isu dan ketika ia meliput sebuah isu, maka nilai-nilai itu secara tidak sadar akan digunakan dalam penulisan liputannya. Sementara dalam struktural, institusi media adalah entitas yang hidup dari kepentingan. Ketika media bergantung pada profit, dana investasi korporasi, atau bahkan pemerintah, maka pemberitaan akan cenderung mengikuti garis kebijakan atau narasi dominan.

Wisnu menyebutkan media besar internasional seperti BBC di Inggris masih menyimpan bias yang jelas dalam pemberitaan pembantaian massal di Palestina. BBC secara sistematis memperlihatkan kecenderungan sikap pro-Israel dalam narasi pemberitaannya, mencerminkan bagaimana media ini tidak lepas dari keberpihakan.

“Kita belum lihat di Amerika, media-media besar seperti New York Times, CNN, dan seterusnya, sama kayak gitu. Jadi yang ingin saya bilang, secara struktural, media nggak bisa bersikap netral,” ucap Wisnu.

Wisnu juga menjelaskan di negara-negara seperti Inggris, isu Israel-Palestina tidak bisa dilepaskan dari bayang-bayang trauma masa lalu, khususnya pada masa kelam Perang Dunia II. Masa itu, segala bentuk kritik terhadap Israel akan memicu sensitivitas ekstrem. Latar ini membuat media-media barat cenderung berhati-hati, bahkan sering kali enggan, dalam menampilkan narasi yang terlalu keras terhadap Israel.

Ketakutan akan dicap sebagai antisemitisme (prasangka atau kebencian terhadap kaum Yahudi) membuat kritik terhadap perlakuan Israel sering dibingkai dengan sangat hati-hati atau bahkan dihindari sama sekali. Akibatnya, keberpihakan hadir dengan memilih untuk tidak menyebut pembantaian massal di Palestina oleh Israel sebagai genosida; mereka memilih menempatkan kekerasan terhadap warga Palestina dalam bingkai perang.

Dalam banyak pemberitaan media barat, Wisnu mengatakan bahwa korban dari Palestina sering kali tidak tampil sebagai manusia dengan cerita, melainkan sebuah angka. Sebaliknya, jika korbannya dari Israel mereka menyediakan ruang cerita. Salah satu pola yang Wisnu paling soroti dalam diskusi adalah hilangnya subjek pelaku dalam pemberitaan Palestina.

“Misalnya begini, kalau ada orang Israel yang meninggal, dia akan tunjukkan bahwa ‘Hamas menyerang dan membunuh 10 warga Israel’ misalnya, tapi kalau sebaliknya, subjeknya akan dihilangkan siapa pelakunya. Misalnya, ‘rumah sakit di Gaza terkena bom’ gitu. Itu kan menghilangkan subjek, menghilangkan pelaku yang kita sama-sama tahu siapa pelakunya,” jelas Wisnu.

Baca Juga: Aksi Solidaritas Palestina di Bandung Mendesak Pembebasan 12 Aktivis FFC yang Diculik Tentara Israel
Aksi Kamisan Jatinangor: Membagi Tanah Palestina dengan Israel Bukan Solusi Tepat

Diskusi framing media barat terhadap pembantaian massal di Palestina, di Perpustakaan Bunga di Tembok, Bandung, Sabtu 28 Juni 2025. (Foto: Leo Saputra/BandungBergerak)
Diskusi framing media barat terhadap pembantaian massal di Palestina, di Perpustakaan Bunga di Tembok, Bandung, Sabtu 28 Juni 2025. (Foto: Leo Saputra/BandungBergerak)

Seni dan Ruang-ruang Tanpa Sekat

Di tengah hiruk pikuk pemberitaan Palestina yang bias, terdapat beberapa alternatif dalam membangun kontranarasi salah satunya dengan visual seperti yang dilakukan oleh Grace Anata seorang fotografer, narasumber lainnya dalam diskusi. Grace sendiri tergabung dalam Yayasan Raws Syndcate yang salah satu fokusnya di bidang fotografi.

Grace melihat Palestina selain dalam bingkai pembantaian massal, tetapi juga sebagai individu bermartabat, memiliki budaya, dan berdaya. Yayasan Raws Syndcate pernah menghadirkan fotografer dari Palestina untuk ikut serta menjadi pameris dalam Bandung Photography Month (BPM) 2024 lalu.

“Ingin menunjukkan kalau sebenarnya Palestina meskipun di tengah rubbles (puing-puing) itu mereka masih bisa menumbuhkan bunga di antara itu,” ungkap Grace.

Grace menyebutkan bahwa tantangan yang harus ia dan kawan-kawan hadapi untuk mengantarkan kontrnarasi dari lokasi yang jauh dari Palestina adalah dengan melakukan riset yang mendalam, memiliki tingkat sensitivitas yang tinggi, dan kehati-hatian agar tidak terjebak pada eksploitasi kesedihan rakyat Palestina.

Sebagai fotografer, Grace merasa media visual kini dapat menjadi jembatan yang paling ampuh untuk membentuk solidaritas. Setiap hari, puluhan visual tentang Palestina melintas di layar ponsel yang cukup kuat untuk membangkitkan emosi dan dari emosi-emosi ini lahirlah keterhubungan. Solidaritas tidak lagi datang dari latar belakang agama, melainkan dari dorongan kemanusiaan yang tumbuh melalui keterpaparan visual secara kolektif.

Selama dua tahun, Raws Syndcate konsisten menyuarakan isu genosida di Palestina dan rutin mengadakan aksi solidaritas untuk Palestina di jalanan Bandung. Awalnya kampanye ini hanya dilakukan dua orang, kemudian bertiga, kini orang-orang yang hadir di aksi solidaritas mulai beragam. Raws Syndcate memperlihatkan bahwa solidaritas dapat terbentuk secara organik melalui seni dan ruang-ruang tanpa sekat.

***

*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//