Europe On Screen di Bandung, Mengenal Budaya Barat Lewat Layar
Europe On Screen di Goethe Institut dan IFI Bandung mengutamakan film-film Jerman dan Prancis. Film-film yang diputar sebagian besar merupakan film festival.
Penulis Tim Redaksi4 Juli 2025
BandungBergerak.id - Menjadi panggung pertunjukan kebudayaan, Europe On Screen kembali menayangkan film-film dari berbagai negara di Eropa yang bekerja sama dengan pusat-pusat kebudayaan di kota-kota besar yang ada di Indonesia. Pada tahun ke-25 ini, Europe On Screen diselenggarakan di 7 kota, yaitu Jakarta, Bandung, Medan, Yogyakarta, Denpasar, Surabaya, dan Sidoarjo.
Dilaksanakan selama 9 hari, dari 13-22 Juni 2025, Europe On Screen di Kota Bandung dilaksanakan di dua lokasi berbeda, yaitu Goethe Institut dan IFI Bandung. Bekerja sama dengan dua lokasi penayangan tersebut, membuat penayangan Europe On Screen di Kota Bandung mengutamakan pada film-film yang berasal dari Jerman dan Prancis.
Penayangan di IFI Bandung dilakukan pada dua hari pertama, yakni tanggal 14 & 15 Juni. Meskipun hanya berlangsung selama dua hari, terdapat 3 film yang ditayangkan dalam sehari. Penayangan film di Goethe berlangsung dari tanggal 16-22 Juni, dan hanya menayangkan 1 film per harinya.
“Kedua tempat ini atau kedua instansi ini memang menyebarluaskan mengenai budaya Jerman dan juga budaya Prancis, makanya dari beberapa film itu mengutamakan dari negara tersebut,” ujar Bian (21 tahun), salah satu volunteer Europe On Screen di Goethe Institut.
Meskipun mengutamakan film dari Jerman dan Prancis, Europe On Screen di Goethe Institut tetap menayangkan film-film dari berbagai negara lainnya. Begitu juga dengan beragamnya genre film yang ditayangkan, mulai dari romansa, drama, misteri, hingga komedi.
Hampir seluruh film yang ditampilkan merupakan film dengan durasi panjang. Tidak hanya itu, film-film tersebut juga sebagian besar merupakan film festival yang sebelumnya telah meraih berbagai penghargaan di ajang film internasional. Itu mengapa, penayangan Europe On Screen sangat eksklusif.
Bagi Bian, film-film yang ditayangkan di Europe On Screen bukan hanya sekadar hiburan, melainkan sebagai sarana dalam menyuarakan isu-isu yang sedang relevan di masyarakat. Sedangkan menurut Anisa (21 tahun) yang juga salah satu panitia Europe On Screen di Goethe Institut, diadakannya penayangan film ini menjadi bahan diplomasi antara Uni Eropa dan Indonesia.
Hal tersebut, karena pada tahun ini tidak hanya menayangkan film-film asal Eropa. Film Indonesia juga turut ditampilkan, dan kebanyakan film-film ini tidak bisa dijumpai di bioskop. Sulitnya mendapatkan akses terhadap film-film ini, membuat Europe On Screen menjadi peluang besar bagi masyarakat pecinta film untuk belajar mengenai film-film yang telah memenangkan penghargaan.
“Ini sebagai ruang aspirasi, sebagai ruang apresiasi juga kepada filmmaker Eropa, filmmaker,” tambah Bian.
Tahun ini Europe On Screen 2025 tidak hanya menayangkan film-film pemenang penghargaan, tetapi memberikan wadah apresiasi kepada para filmmaker perempuan. Salah satu upayanya, yaitu dengan menuliskan seluruh nama pembuat film di seragam panitia Europe On Screen.
“Ini menjadi langkah untuk lebih inklusif, ini juga menjadi langkah yang lebih besar lagi untuk memberikan kesetaraan,” ungkap Bian. Sebelum penayangan film dimulai akan ditampilkan video spesial dari perempuan yang pertama kali membuat film dan menjadi seorang sutradara.
Baca Juga: Kematian Rakyat Seperti di Film-film
Membedah Dampak Film Terhadap Perubahan Sosial
Budaya Jerman dalam Film Milk Teeth
Ditampilkan di berbagai kota di Indonesia, daftar dan jadwal film yang ditayangkan juga berbeda-beda dengan menyesuaikan di setiap kotanya. Film-film yang ditampilkan, seperti film From Locarno To Venice (Indonesia), the Lost Children (Belgia), Milk Teeth (Jerman), Lads (France), dan masih banyak film lainnya.
Pada Selasa, 17 Juni 2025, Europe On Screen menayangkan film yang berjudul Milk Teeth di Goethe Institut. Namun, berbeda dengan penayangan biasanya yang ditayangkan ruang terbuka, cuaca hujan mengharuskan penayangan film dilakukan di dalam ruangan.
Film yang mengisahkan tentang seorang gadis bernama Skalde yang tiba-tiba menemukan dan mengadopsi seorang anak kecil misterius yang berasal dari luar desanya. Masyarakat desa tersebut mempercayai bahwa anak kecil tersebut merupakan seorang penyihir dan akan membawa sial bagi desa. Sesuai dengan kepercayaan orang-orang desa bahwa jika anak kecil dengan perkiraan usia yang sama akan mengalami penanggalan gigi susunya. Maka dari itu, untuk membuktikan bahwa anak misterius tersebut bukanlah penyihir, Skalde mengatakan bahwa gigi susu sang anak akan tanggal dalam waktu dekat.
Mengemas kebudayaan dan kepercayaan melalui film, membuat Milk Teeth menjadi film yang memiliki makna cukup kompleks. Terdapat banyak unsur kebudayaan yang ditampilkan, antara lain aturan adat di mana Skalde yang berusaha menghormati codes of community demi diterima dan bahkan menjadi murid pemimpin desa. Lalu, mitologi dan kepercayaan terkait hutan. Serta, memperlihatkan sisi ritual atau kepercayaan lokal yang mengaitkan hewan dengan takhayul atau hukuman adat.
Milk Teeth menjadi film yang tepat untuk mewujudkan tujuan digelarnya acara Europe On Screen 2025 yang ingin mengenalkan dan menyebarluaskan kebudayaan Eropa di Indonesia.
*Reportase ini dikerjakan reporter BandungBergerak Aqeela Syahida Fatara dan Wilda Nabila Yoga