SABTU SORE #20: Membedah Dampak Film Terhadap Perubahan Sosial
Film bukan hiburan semata. Ada dampak yang bisa mempengaruhi perubahan sosial. Diskusi Alteraksi di Perpustakaan Bunga di Tembok, Bandung, membahas fenomena ini.
Penulis Salma Nur Fauziyah1 Mei 2025
BandungBergerak.id - Perpustakaan Bunga di Tembok (BdT), Bandung, menjadi tempat pertemuan bagi para penonton dan pembuat film yang ingin mengeksplorasi lebih jauh bagaimana film dapat memengaruhi kehidupan sehari-hari, bahkan memicu perubahan sosial, Sabtu sore, 26 April 2025. Melalui program Alteraksi yang digagas komunitas BesiBerani, diskusi ini mengangkat tema "Nonton Film Bisa Ngasih Dampak, Mungkin Nggak Sih?" yang memusatkan perhatian pada kekuatan film dalam membentuk kesadaran sosial, serta dampaknya terhadap perubahan sosial.
Program Alteraksi dan diskusinya menjelajahi bagaimana film-film tertentu, seperti ‘Dago Elos Never Lose’ dan “Di Bawah Bayang-Bayang Mata Bor”, mampu memberi dampak signifikan terhadap audiens. Begitu juga dua film yang dua hari berturut-turut diputar di BdT, yakni “Waya Masapi” dan “Sa’diang Harus Pulang”.
Dari film-film tersebut tampak bahwa seni visual bukan hiburan semata. Film memiliki kekuatan untuk menginspirasi dan memotivasi penontonnya, bahkan mampu menyuarakan perubahan besar dalam kehidupan masyarakat. Isu ini dibedah para narasumber: Rival Ahmad (BesiBerani), Suryani Liauw (BesiBerani), Nabila Eva Hilfani (Terra Films), dan Adhea Rizky Ferbrian (Warga Dago Elos).
Film sebagai Sarana Menggugah Empati dan Aksi Sosial
Film “Dago Elos Never Lose” mengangkat isu sengketa lahan dan konflik agraria di Dago Elos, Bandung. Film garapan mahasiswa ISBI ini awalnya diproduksi secara eksklusif untuk warga setempat, namun dampaknya melampaui ekspektasi.
Adhea Rizky Ferbrian, seorang warga Dago Elos yang terlibat langsung dalam pembuatan film, menyatakan bahwa sebelum film ini diputar, banyak warga yang menganggap masalah penggusuran yang terjadi hanya sebagai desas-desus belaka.
“Nah, film ini tuh berdampak besar karena si warga pada akhirnya bisa mencerna. Oh, ternyata lebih mudah dicerna lewat si film ini,” cerita perempuan yang akrab disapa Dhea.
Film yang menampilkan tokoh-tokoh masyarakat sebagai aktor utama ini telah membuka mata warga akan pentingnya menyadari dan merespons masalah penggusuran yang tengah berlangsung. Dhea melanjutkan, salah satu kekuatan utama film ini adalah kemampuannya untuk menyampaikan informasi hukum yang kompleks dengan cara yang lebih mudah dipahami.
Hal ini mendorong kesadaran kolektif di antara warga untuk bersama-sama memperjuangkan hak mereka. Bagi Dhea, film ini telah memicu lebih banyak aksi dan dialog di komunitasnya.
Film “Di Bawah Bayang-Bayang Mata Bor”, yang diproduksi oleh Terracotta Films bekerja sama dengan PBHI dan Bandung Bergerak, juga menunjukkan dampak di masyarakat. Film ini mengangkat isu ancaman pembangunan proyek geotermal di sekitar Gunung Tampomas, Sumedang, yang dapat merusak lingkungan.
Nabila Eva Hilfani, produser film, menjelaskan bahwa meskipun rencana pembangunan pengeboran energi panas bumi Tampomas sudah ada sejak 2009, kesadaran tentang dampak geothermal perlu terus dibangun.
“Makanya film ini dianggap penting. Karena di balik itu semua ternyata rencana itu masih tetap berjalan loh. Dan itu perlu kita tuh perlu ngedorong masyarakat, nemenin masyarakat, teman-teman Tampomas untuk terus berjuang dan yakin gitu kalau misalkan apa yang mereka mau itu bisa terwujud,” ungkap Nabila.
Lewat film ini, mereka berharap bisa mengajak masyarakat Tampomas untuk terus memperjuangkan hak mereka atas lingkungan yang sehat.

Alteraksi, Sebuah Program Perubahan
Diskusi di Alteraksi difasilitasi oleh Rival Ahmad dan Suryani Liauw, dua penggagas program dari BesiBerani. Rival menjelaskan, tujuan Alteraksi lebih kepada menciptakan percakapan yang bisa menggugah perubahan dalam masyarakat.
“Buat kami, menempatkan Alteraksi itu di dalam konteks satu perubahan. Jadi ini bukan kegiatan yang memang bukan soal hiburan gitu ya. Dalam arti kita bersenang-senang, bukan. Tapi, dalam kerangka ada perubahan tertentu gitu,” ujar Rival.
Program Alteraksi menekankan bahwa film bukan hanya sebagai karya seni yang patut diapresiasi dari sisi teknis atau sinematografinya, melainkan sebagai medium yang memicu dialog dan perubahan.
“Kalau film kan ada visual yang sama walaupun sekali lagi tiap orang punya perspektif yang beda,” ujar Suryani. Dengan begitu, film menjadi alat yang bukan hanya mengedukasi, tetapi juga memotivasi perubahan.
Salah satu konsep yang diperkenalkan Alteraksi adalah impact distribution, yang berfokus pada distribusi film kepada kelompok-kelompok tertentu dengan tujuan untuk memberi dampak sosial.
“Kami tidak hanya membagikan film untuk ditonton, tetapi bagaimana film ini bisa mengubah perspektif dan memperkuat gerakan sosial yang ada,” jelas Rival.
Impact distribution ini membutuhkan strategi yang matang, termasuk pemilihan audiens yang tepat, agar pesan film bisa sampai dan membuahkan hasil yang diinginkan.
Baca Juga: Menanam Demokrasi dari Bawah: Gerakan Orang Muda di Bandung Raya Berkumpul untuk Menyuarakan Hak Asasi Manusia
Hutan dan Pertanian Bandung Selatan Dicabik Alih Fungsi Lahan, Bencana Ekologi Dikhawatirkan Meningkat
Film sebagai Alat Penyampai Pesan yang Kuat
Dua film dokumenter yang diputar dalam acara Alteraksi menambah dimensi baru dalam diskusi tentang dampak film. “Waya Masapi” dan “Sa’diang Harus Pulang” membawa penonton pada kisah kehidupan yang tampaknya jauh dari kehidupan Kota Bandung, tetapi justru relevan dengan banyak orang.
Film “Waya Masapi” menceritakan tentang seorang pemuda dari Tanete, Palu, Sulawesi Tengah, yang menghadapi dilema antara merantau untuk mencari kehidupan yang lebih baik atau bertahan di kampung halamannya yang kian terancam akibat pembangunan yang masif. Kehilangan Waya Masapi sama saja menguburkan pengetahuan lokal dan ruang hidup masyarakat adat.
Film ini menyentuh sisi emosi penonton dengan menggambarkan konflik antara tradisi dan modernitas, antara kehendak untuk berkembang dan mempertahankan identitas budaya.
Sementara itu, “Sa’diang Harus Pulang” mengisahkan Sa’diang, seorang pengumpul air di Sungai Mandar, Sulawesi Barat, yang menjalani rutinitasnya di tengah ancaman bahaya buaya dan kesulitan lainnya. Meskipun latar belakang geografisnya jauh dari Bandung, film ini mengungkapkan perjuangan orang-orang yang hidup dekat dengan perairan, yang sangat relevan dengan banyak orang, termasuk mereka yang tinggal di kota besar.
Sisi perjuangan orang dalam mempertahankan adat dan menghidupi keluarga ini bisa dirasakan oleh siapa saja, tak peduli di mana mereka tinggal.
Melalui kedua film ini, Alteraksi menggali emosi penonton, memperlihatkan bahwa perjuangan mempertahankan identitas dan hidup yang lebih baik adalah hal yang universal, meskipun dalam konteks yang berbeda.
Rival menekankan bahwa emosi yang ditumbuhkan dari film ini menjadi sarana untuk mendorong penonton untuk melakukan aksi nyata. “Jangan-jangan kita bisa berbuat sesuatu juga terhadap itu, karena emosi kita sebenarnya sama,” tutupnya.
Alteraksi membuktikan bahwa film menjadi alat yang kuat untuk menyampaikan pesan sosial dan mendorong perubahan dalam masyarakat. Dari film tentang konflik agraria di Dago Elos hingga ancaman pengeboran geotermal di Tampomas, film memiliki kekuatan untuk menggugah kesadaran, membentuk empati, dan bahkan menggerakkan aksi nyata.
Melalui program Alteraksi, BesiBerani tidak hanya menonton film bersama, tetapi juga mengundang penonton untuk merenungkan dampaknya dan ikut berperan serta dalam perubahan sosial yang lebih besar.
*Kawan-kawan dapat menyimak karya-karya lain Salma Nur Fauziyah, atau artikel-artikel lain tentang Film