Diskriminasi di Balik Seruan Toleransi MUI
Jika dibaca dari kacamata Emmanuel Levinas, MUI terjebak dalam totalitas yang mencoba menyeragamkan pelbagai paham.

Ahmad Baidhowi Mursyid
Mahasiswa Aqidah dan Filsafat Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
6 Juli 2025
BandungBergerak - “Sangat penting untuk mengetahui apakah kita tidak tertipu oleh moralitas,” kata Emmanuel Levinas dalam Totality and Infinity.
Dalam kehidupan, kita sering menyaksikan fenomena klaim peran atas sebuah keberhasilan. Setelah sebuah pengumuman ranking atau kemenangan tim sepak bola, misalnya, tak jarang individu atau kelompok berbondong-bondong memberikan pujian atau bahkan menyatakan diri sebagai faktor kunci di balik pencapaian tersebut. Fenomena ini terkadang muncul dalam bentuk candaan ringan: ‘kejuaraan itu berkat doaku’ atau barangkali dalam bentuk pengakuan: ‘ada seseorang yang bekerja di balik layar’.
Setelah Sulawesi Utara (Sulut) beberapa kali mendapatkan predikat yang baik sebagai daerah yang toleran, di tengah kegiatan Monitoring Evaluasi Majelis Ulama Indonesia (MUI) 2024 di Manado, sebagaimana dikutip dari AntaraNews, Kepala Kantor Wilayah Kementerian Keagamaan (Kemenag) Sulut berucap: “Sulut selama ini mendapatkan nilai baik dalam toleransi kerukunan umat beragama adalah tak lepas dari peran besar MUI.”
Berdiri sejak tahun 1975, MUI memang mendaku sebagai wadah kemajemukan: tempat silaturahmi yang membina serta mengayomi kaum muslimin di seluruh Indonesia. Dalam acara “Ngopi Kerukunan Lintas Agama” yang digelar oleh Komisi Kerukunan Antar Umat Beragama (KAUB) MUI di Masjid Lautze Jakarta Pusat beberapa bulan lalu, Wakil Sekretaris Jenderal MUI menekankan kalau toleransi haruslah membumi, bukan elitis. Tujuan tersebut sangat mulia tentu saja karena keagamaan dan kepercayaan di Indonesia begitu pusparagam.
Sayangnya, apa yang tertera dalam gagasan berbenturan dengan kenyataan.
Menyingkirkan Egosentris
Di IAIN Manado, setelah panitia menyiapkan acara diskusi bedah buku tentang Ahmadiyah selama dua pekan pada awal Juni 2025 lalu, datang surat perintah dari MUI untuk membatalkan acara sebelum dimulai. Buku berjudul Menyingkap Tabir Kebenaran Ahmadiyah yang sedianya hendak diobrolkan itu merupakan hasil riset ilmiah dengan pendekatan antropologi.
“Tidak terlalu urgen baca buku atau tidak. Pengarang Menyimpulkan ajaran Ahmadiyah benar sehingga tak bisa ditoleransi,” begitulah ucap Ketua Umum MUI Manado, dikutip dari Tempo
Apa arti jargon “mengayomi” dan “toleransi bukan hanya di kalangan elitis” jika bahkan di ruang diskusi, intoleransi bisa terjadi? Demikianlah para jemaat Ahmadiyah sering menjadi sasaran diskriminasi, dan kali ini langsung dari MUI.
Seruan toleransi ala MUI nyatanya dibentuk oleh kepercayaan tunggal. Padahal dalam setiap aliran keagamaan, ada paham-paham yang mengendap di dalamnya, dan tidak bisa dipaksakan jadi satu. Setiap aliran keagamaan memiliki kepercayaannya masing-masing. Jika itu direnggut, kekacauan akan terjadi.
Jika dibaca dari kacamata Emmanuel Levinas, MUI terjebak dalam totalitas yang mencoba menyeragamkan pelbagai paham. Ego menjadi dasar dari melihat segala sesuatu. Ego menjadi penentu apakah sesuatu bernilai, bermakna, atau dalam diksi keagamaannya: sesat. MUI tidak bisa melepaskan egonya dan masuk ke dalam paham yang berseberangan. Dan itu menyebabkan Ahmadiyah terkurung dalam keranjang yang kejam.
Menggunakan istilah Levinas, setiap kepercayaan aliran keagamaan adalah “Yang Lain”. Dalam kehidupan, “Yang Lain” adalah realitas “Yang Tak Terhingga,” sehingga tidak bisa dijadikan satu dalam lingkup pengetahuan dan kemampuan subjek.
Bagi Levinas, “Yang Lain” adalah “Wajah” bukan arti secara fisik, melainkan orang lain yang luput dari bentuk tematisasi atau pengonsepan. Wajah hanya perumpamaan untuk menjelaskan kehadiran langsung tanpa perantara.
Dalam perjumpaan tersebut, subjek dituntut untuk keluar dari imanensi diri, menyingkirkan egosentrisitasnya dan memasuki alam “Yang Lain”. Hubungan ini bersifat asimetris: bukan timbal balik yang searah, tetapi mengenai tanggung jawab tanpa syarat yang diemban subjek kepada “Yang Lain”. Sudah menjadi perintah etis kepada subjek untuk mengakui dan merespons tanpa menginginkan balasan.
Perjumpaan dengan keberagaman adalah kemuliaan dari yang tak terhingga. Subjek tidak dapat mereduksi “Yang Lain” ke dalam kategori-kategori. “Yang Lain” berdiri sendiri dengan keunikannya, dan tidak dapat dibungkus ke dalam pemahaman yang sama. Inilah pemikiran Levinas yang tidak bisa dilepaskan dari kekejaman Nazi, yang membuatnya begitu kritis dengan totalitas dan keserasian.
“Yang Lain” konsep dari Levinas merupakan pemikiran etis yang menarik sebagai bahan renungan. Perbedaan paham keagamaan bukanlah suatu problem yang pelik, melainkan anugerah. Levinas menyebutnya sebagai alteritas yang patut dirayakan. Tanpa sebuah transendensi etis pada “Yang Lain”, kekerasan, diskriminasi, peperangan, dan pembunuhan bisa terjadi dengan begitu mudah.
Sebab itu, toleransi bisa tercapai jika kita dapat merangkul keberagaman dengan segala keunikannya. Setiap orang, aliran, sekte, organisasi maupun individu harus mampu melihat golongan lain sebagai “Yang Lain”. Levinas mengajak untuk tidak menjadikan “Yang Lain” sebagai musuh atau sesuatu yang merusak.
Baca Juga: Jemaat Tanpa Masjid, Nestapa Warga Ahmadiyah di Nyalindung dalam Belenggu Penyegelan
Melarang Jalsah Salanah Ahmadiyah di Kuningan, Negara Mengabaikan Amanat Konstitusi
Mempertanyakan Fatwa
Pemikiran Levinas ini senapas dengan Indonesia yang pusparagam. Fatwa MUI yang menetapkan Ahmadiyah sebagai aliran yang sesat, sudah menjadi tindakan membatasi ruang beragama dan kiranya tidak tepat masuk dalam lanskap Indonesia yang menjamin kebebasan beragama.
Fatwa merupakan urusan dapur kepercayaan tertentu, dan sifatnya sangat terbatas. Di Indonesia, fatwa MUI tidaklah serupa dengan Undang-undang atau hukum resmi negara yang mengikat. Fatwa bisa dibantah, bisa tidak diikuti. Untuk menjadi undang-undang, butuh proses yang panjang.
Malangnya, dalam konteks hukum, fatwa MUI tersebut sudah terserap dalam Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri Nomor 3 Tahun 2008 tentang Ahmadiyah. Atas dasar itu, MUI dengan mudahnya mendiskriminasi Ahmadiyah.
Sebuah ironi! Gencar menyuarakan toleransi, dalam praktiknya MUI sendiri yang menjadi pelaku. Toleransi yang digagas hanya berlaku pada aliran yang sepaham. Begitu ada yang nyeleneh, fatwa sesat dilontarkan.
Sudah berkali-kali jemaat Ahmadiyah mendapati tindak intoleran. Beberapa waktu yang lalu jemaat di Kota Banjar mendapati masjid yang hendak mereka renovasi disegel oleh pemerintah. Warga hanya bisa tersedu sembari mengibarkan spanduk “KITA HANYA INGIN SHOLAT DI TEMPAT KAMI” dan “KITA JUNJUNG TOLERANSI BERAGAMA” di tempat ibadahnya yang direnggut.
Mengikuti nada Levinas di pembukaan esai ini, MUI perlu mempertanyakan dirinya sendiri: “Apakah kita tidak tertipu oleh moralitas toleransi?” Bukankah toleransi bisa disebut toleran kalau sudah menjadi tindakan konkret? Toleransi tidak sekadar gagasan atau penghargaan belaka, tetapi juga bentuk trasendensi etis suatu kelompok ke kelompok yang lain. Ketegangan ego luluh-lantak di depan “Wajah Yang Lain”
Jangan sampai di Indonesia toleransi menjadi mimpi yang tak terbeli karena pejabat dan ormas keagamaan menjadikan diskriminasi sebagai destinasi yang terus dikunjungi.
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB