• Opini
  • Sejarah Nasional dalam Tinta Kekuasaan

Sejarah Nasional dalam Tinta Kekuasaan

Sebab sejarah tidak hanya milik negara, tapi juga milik publik; dan kebenaran, betapapun ditutupi, selalu mencari jalannya untuk diungkap.

Valeri Jehanu

Dosen Hukum Tata Negara dan Anggota Centre for Human Development and Social Justice (ChuDS) Unpar

Penulisan ulang sejarah versi pemerintah dikhawatirkan menjadi alat legitimasi kekuasaan politik (Ilustrasi: Bawana Helga Firmansyah/BandungBergerak)

9 Juli 2025


BandungBergerak - Bayangkan sebuah negara yang tengah menulis ulang sejarahnya; di mana redaksi masa lalu harus lebih rapi daripada masa depan. Setiap kalimat tentang kekerasan dihapus dengan spidol atau stabilo, dan setiap korban diubah menjadi angka yang tak disebutkan.

Di perpustakaan nasional, rak-rak sejarah penuh dengan buku yang belum dibaca tapi sudah diperbarui. Pada halaman pembuka, ada semboyan yang berbunyi: "Apa yang tidak membanggakan, tak layak dikenang." Sementara di luar jendela, para penyintas dan keluarga korban masih menunggu kebenaran—yang tak kunjung diterbitkan.

Di negara semacam ini, tinta kekuasaan lebih pekat daripada tinta akademik. Dan masa depan dirancang bukan melalui pengetahuan, tetapi melalui ketidakjujuran yang dirawat dengan rapi—dengan kurikulum, sensor, dan slogan.

Proyek Besar Mengelola Ingatan

Sejarah suatu bangsa tak pernah selesai ditulis. Ia selalu terbuka bagi tafsir baru, terutama ketika negara merasa perlu merapikan narasi masa lalu. Hari ini, pemerintah melibatkan para sejarawan dan akademisi untuk menulis ulang sejarah nasional. Suatu upaya yang menjanjikan, namun juga menyisakan tanya: sejauh mana masa lalu dapat ditulis ulang tanpa menyisihkan luka, konflik, dan suara-suara yang tak pernah sempat bersuara?

Meski banyak ahli mati-matian menunjukkan bukti sejarah kekerasan, toh negara tak pernah kunjung menengok dan mengakui bukti-bukti itu. Gelagat yang ditunjukkan pemerintah justru terkesan abai dan berpegang pada sejarah versinya sendiri. Lihat saja ucapan Menteri Kebudayaan yang menegasikan peristiwa kekerasan terhadap perempuan dalam tragedi Mei 1998. Secara hukum, pernyataan semacam itu menandai pengingkaran terhadap hak asasi manusia (HAM). Padahal pelanggaran HAM yang pernah terjadi seharusnya diakui dan diperingati, bukan diabaikan.

Rencana penulisan sejarah ini punya konsekuensi serius dalam menentukan apa yang akan kita ingat tentang diri kita sendiri. Ketidakjujuran pada sejarah, artinya juga ketidakjujuran terhadap diri sendiri. Lebih dari itu, penulisan ulang sejarah juga berpotensi menciptakan narasi tunggal yang mendukung kekuasaan. Sampai titik tertentu, juga akan meluruhkan ingatan kolektif kita atas siapa yang harus bertanggung jawab dalam tragedi kekerasan masa lalu.

Kekhawatiran akan pengabaian sejarah kekerasan terverifikasi dari laporan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) yang turut meninjau dokumen draft Kerangka Konsep Penulisan “Sejarah Indonesia” keluaran Kementerian Kebudayaan. KontraS menyoroti ketiadaan kasus pelanggaran berat HAM di Indonesia dalam draft tersebut. Tindakan ini menguatkan indikasi adanya upaya menyusun amnesia kolektif yang justru membuat bangsa ini akan permisif terhadap ketidakjujuran dan penyalahgunaan kekuasaan. Rantai persoalan ini jelas memerlukan diskusi yang lebih luas. Apa yang berusaha kita lawan harus tegas dirumuskan sebagai: sebuah proyek besar untuk mengelola ingatan kolektif kita bersama.

Baca Juga: Bagaimana Proyek Pembuatan Sejarah Resmi Versi Pemerintah Berpotensi Menggerus Inklusivitas, Mengerdilkan Penulisan Sejarah Lokal, dan Menghilangkan Fakta Pelanggara
Mengurai Kontroversi Penyangkalan Menteri Fadli Zon Soal Kekerasan Seksual di Peristiwa Reformasi 1998

Kewajiban Negara untuk Tidak Melupakan

Dalam sebuah negara hukum, tidak ada keputusan politik yang boleh berdiri di atas hukum. Frasa “Indonesia adalah negara hukum” bukan sekadar kutipan simbolik dalam pembukaan konstitusi, melainkan janji etik dan legal yang seharusnya membatasi ambisi kekuasaan. Jika negara menulis ulang sejarah nasional, maka sejarah itu harus ditulis dalam kerangka hukum yang menghormati hak warga negara atas kebenaran, bukan sebagai proyek politik yang mengabadikan kekuasaan.

Konstitusi kita, melalui Pasal 28C ayat (1) UUD 1945, menjamin hak setiap orang untuk mendapatkan manfaat dari ilmu pengetahuan demi peningkatan kualitas hidup. Sejarah adalah bagian dari ilmu pengetahuan tersebut. Maka, ketika negara menyembunyikan bagian-bagian gelap dari masa lalu—terutama peristiwa pelanggaran HAM—negara secara langsung mengkhianati hak konstitusional warga negara untuk memperoleh pengetahuan yang utuh.

Lebih jauh lagi, Pasal 14 UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM dan Pasal 19 ICCPR (yang telah diratifikasi Indonesia) menjamin hak untuk mencari, menerima, dan menyebarluaskan informasi tanpa pembatasan. Jika akses terhadap sejarah dikunci oleh negara demi alasan politik atau stabilitas semu, maka yang dibungkam bukan hanya masa lalu, melainkan juga kebebasan berpikir dan berbicara sebagai pilar utama demokrasi.

Kita juga memiliki UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik yang menegaskan pentingnya transparansi dalam penyusunan kebijakan. Maka rencana penulisan sejarah nasional, sebagai kebijakan publik, harus tunduk pada prinsip keterbukaan dan partisipasi masyarakat. Penulisan sejarah yang dilakukan secara tertutup, atau hanya melibatkan segelintir pihak yang pro status quo, adalah bentuk pelanggaran terhadap prinsip-prinsip demokrasi partisipatif.

Dalam konteks pelanggaran HAM masa lalu, kita juga tak bisa mengabaikan prinsip keadilan transisional yang mengharuskan adanya pengungkapan kebenaran. Hak atas kebenaran bukan hanya hak korban dan keluarganya, tapi juga hak publik untuk mengetahui secara jujur apa yang telah terjadi. Negara yang menutup-nutupi masa lalu kekerasannya adalah negara yang sedang menyiapkan panggung bagi kekerasan berikutnya.

Sejarah yang direkayasa bukan hanya menghapus masa lalu, tapi juga mengkhianati masa depan. Penulisan ulang sejarah nasional yang mengaburkan kekerasan, mengubur trauma kolektif, dan membungkam korban, bukan saja bertentangan dengan hukum, tapi juga bertentangan dengan martabat manusia itu sendiri.

Perbandingan dengan Negara Lain

Saat Indonesia mempertimbangkan penulisan ulang narasi sejarah nasional, penting melihat pengalaman negara-negara yang memiliki luka kolektif: genosida, pelanggaran HAM, rezim otoriter. Apakah mereka memilih keterbukaan atau justru “merapikan” narasi demi stabilitas politik?

Jerman sering dijadikan contoh bagaimana sebuah negara menghadapi masa lalunya secara terbuka dan sistematis. Sejak berakhirnya Perang Dunia II, negara ini mengembangkan Erinnerungskultur (budaya ingatan) yang tidak hanya hadir di ruang kelas, tetapi juga menyatu dalam arsitektur kota: dari tugu peringatan di sudut jalan, museum yang mencatat kekejaman Nazi, hingga bekas kamp konsentrasi yang dibuka sebagai situs edukasi publik. Bagi sejarawan seperti Jan Assmann, ingatan kolektif bukan sekadar nostalgia, tetapi bagian dari tanggung jawab sosial untuk menjaga nilai-nilai demokrasi agar tak tergerus waktu (Assmann, 2006: 239–240).

Namun, tantangan tetap ada. Laporan MEMO Youth Study 2023 menunjukkan penurunan signifikan dalam kedekatan emosional generasi muda Jerman terhadap Holocaust. Banyak yang tahu peristiwanya, tetapi tidak lagi merasa terhubung secara personal dengannya. Bahkan, survei yang dirilis oleh Claims Conference pada 2025 menemukan bahwa 11% generasi muda belum pernah mendengar tentang Holocaust, dan 26% tidak mengetahui satu pun lokasi kamp kematian di Eropa (Claims Conference, 2025). Ini menjadi peringatan: bahwa ingatan bukan hanya perlu diajarkan, tetapi juga dirawat. Tanpa upaya aktif, sejarah bisa memudar, bahkan di negara yang sudah begitu serius memperingatinya.

Hal serupa juga dilakukan di Afrika Selatan. Setelah sistem apartheid runtuh, Afrika Selatan tidak memilih jalan pelupaan, tetapi justru membuka luka sejarah secara terbuka. Salah satu langkah paling penting adalah dibentuknya Truth and Reconciliation Commission (TRC)—komisi kebenaran dan rekonsiliasi—yang memberi ruang bagi ribuan korban dan pelaku kekerasan untuk bersaksi di hadapan publik. Proses ini tidak hanya mencatat peristiwa kekerasan, tetapi juga membuka ruang bagi emosi: kesedihan, amarah, bahkan permintaan maaf yang tulus (Boraine & Levy, 1995).

Tokoh-tokoh seperti Desmond Tutu memimpin proses ini bukan hanya sebagai proyek politik, tetapi sebagai jalan etis menuju penyembuhan. Dalam pengakuan yang dibacakan dengan suara bergetar atau tangis tertahan, sejarah ditulis ulang—bukan dari sudut pandang penguasa, tetapi dari suara yang selama ini dibungkam (Gobodo-Madikizela, 2008).

Berbeda dengan Jerman dan Afrika Selatan, Jepang menempuh jalan yang lebih berliku dalam menghadapi masa lalunya selama Perang Dunia II. Meskipun ada pengakuan resmi atas beberapa tragedi, seperti kekerasan militer di Nanking atau praktik perbudakan seksual terhadap perempuan Asia (comfort women), narasi sejarah ini terus menjadi medan tarik-menarik antara tekanan politik dalam negeri dan desakan dari komunitas internasional (Dudden & Gordon, 2015).

Di ruang kelas, misalnya, isi buku sejarah kerap direvisi. Bukan untuk menambahkan fakta, tetapi justru mengurangi detail-detail kekerasan yang dianggap merusak citra nasional. Kata-kata seperti “perbudakan” diganti menjadi “perekrutan”, dan peran militer dalam kekejaman perang dikaburkan atau dihapus (Dudden, 2015). Pengalaman Jepang menunjukkan bahwa penulisan ulang sejarah bisa menjadi jalan menuju pelupaan, jika tidak dilandasi keberanian untuk mengakui kebenaran.

Dalam sistem hukum yang demokratis, negara memiliki kewajiban untuk tidak melupakan, karena melupakan berarti mengingkari hak warga negara untuk mengetahui, mengingat, dan memahami. Pelupaan yang disengaja bukan hanya pengkhianatan terhadap sejarah, tetapi juga bentuk pelanggaran terhadap hak asasi manusia, sebagaimana ditegaskan oleh berbagai instrumen hukum yang telah disinggung sebelumnya.

Dalam konteks ini, pengalaman negara lain menjadi relevan. Ketika Jerman menjadikan pendidikan Holocaust sebagai bagian dari kurikulum wajib, atau ketika Afrika Selatan membuka kesaksian korban apartheid lewat TRC, mereka sesungguhnya sedang menunaikan kewajiban hukum: yaitu memastikan bahwa negara tidak menutup-nutupi kebenaran atas pelanggaran HAM masa lalu. Sebaliknya, ketika negara seperti Jepang mengaburkan bagian-bagian kelam dalam sejarah perang, kritik yang muncul bukan semata persoalan moral atau etika, tetapi juga tuduhan pelanggaran terhadap hak korban dan publik untuk mendapatkan narasi yang utuh.

Timokrasi dan Politik Pengetahuan

Persoalan besar yang muncul kemudian adalah: apakah pemerintah mau menimbang serangkaian ketentuan hukum yang seharusnya digunakan untuk mengevaluasi rencana penulisan sejarah nasional?

Saya kira jawabannya mengarah pada sikap pesimistis. Mari kita jujur, apa lagi yang dapat diharapkan dari sebuah rezim yang menggunakan hukum hanya sebagai formalitas? Lebih buruk lagi jika hukum hanya digunakan sebagai alat untuk melegitimasi setiap keputusan politik semata. Fenomena legislasi kita yang akhir-akhir ini mengarah pada legalisme otokratis menunjukkan adanya kecenderungan untuk membuat segala hal yang tak masuk akal menjadi benar karena dilakukan dalam koridor hukum yang sah.

Apa yang terjadi jika hukum terus-terusan hanya digunakan sebagai formalitas? A. Setyo Wibowo dalam tulisannya “Habis Demokrasi, Terbit Timokrasi” (BASIS, Nomor 03-04, 2025) mengingatkan bahwa demokrasi sedang berjalan mundur. Hal ini tampak dalam gejala militerisme: sipil berpakaian ala militer, kepala daerah bangga berseragam militer, sampai lolosnya UU TNI yang menandai senjakala demokrasi di Indonesia. Menggunakan istilah Platon (filsuf Yunani dari abad ke-5 SM), rezim militeristik itu disebut dengan timokrasi.

Dalam The Republic, Platon mengisahkan bahwa timokrasi adalah campuran aristokrasi dan demokrasi. Menurutnya, rezim aristokrasi (para filsuf Raja) pada akhirnya akan mengalami kemerosotan. Aristokrasi berubah menjadi rezim militeristik, yang bernama timokrasi, lalu merosot lebih jauh menjadi rezim pencari uang (oligarki), kemudian menjadi rezim anarkis (demokrasi), yang ujung akhirnya adalah tirani. Bagi Platon, rezim yang adil hanyalah aristokrasi, sedangkan rezim lainnya adalah tidak adil. (Wibowo. Ibidem).

Rezim timokrasi adalah rezim yang berorientasi pada harga diri, dan pada gilirannya memperanakkan kaum demokrat yang terobsesi dengan nafsu uang seliar-liarnya. Secara publik, seorang timokrat berkhotbah tentang pentingnya membela negara, tentang kebesaran nama bangsa, namun secara privat diam-diam diperbudak oleh keinginan untuk mengumpulkan uang (Wibowo, Ibidem).

Seorang timokrat yang lahir dari rahim aristokrasi tentu masih mengingat secara samar-samar, bagaimana aura intelektual kaum aristokrat pendahulunya. Namun, karena kualitas dirinya tidak sebanding dengan pendahulunya, "para timokrat menerjemahkan kekuasaan secara agresif untuk menguasai bidang-bidang yang sebenarnya tidak dikuasainya". Jika para aristokrat tahu akan batas diri, para timokrat justru sebaliknya. Jika para aristokrat dihormati oleh rakyat karena pesona pengetahuan dan hidupnya yang apa adanya, "para timokrat hanya mendapat pesona lewat kontrol, paksaan, dan dominasi" (Wibowo, Ibidem). Wataknya cenderung keras kepala. Meski sudah diperingatkan oleh para ahli, para timokrat justru mencibir para ahli dan menganggap pendapat ahli sama halnya dengan komentar para pendengung. Dalam timokrasi, pengetahuan adalah properti kekuasaan, bukan milik publik. Negara tidak sekadar menyampaikan pengetahuan, tetapi mengarsiteki cara berpikir publik: apa yang boleh diketahui, dan apa yang harus dilupakan.

Politik pengetahuan dalam rezim ini berlangsung melalui tiga mekanisme utama: kontrol, paksaan, dan dominasi. Kontrol hadir dalam bentuk narasi tunggal yang disebarluaskan lewat kurikulum, media, dan literatur “resmi”. Paksaan terjadi ketika institusi pendidikan dipaksa untuk mengikuti narasi negara tanpa ruang untuk kritik atau tafsir alternatif. Dominasi terjadi saat negara tidak hanya menutup kemungkinan debat, tetapi mendeligitimasi narasi yang berbeda sebagai ancaman terhadap kesatuan, stabilitas, atau bahkan nasionalisme. Sampai di sini, kita seharusnya tidak kaget jika tiap kritik yang diarahkan pada kekuasaan justru berbalas tudingan “antek asing” bagi pengkritiknya.

Hal yang lantas harus diwaspadai adalah penulisan ulang sejarah justru tampil sebagai proyek ideologis, bukan akademik. Ia bukan bertujuan membongkar kebenaran, tetapi membekukan versi tertentu saja-yang telah melalui proses kuratif- demi memperkuat pesona kekuasaan. Pengetahuan dengan demikian tidak lagi bersifat emansipatoris, melainkan sudah menjadi alat represi kultural.

Poros Anti Intelektualisme

Di tengah atmosfer timokratis, muncul kecenderungan yang semakin menguat: anti-intelektualisme. Intelektual tidak lagi diposisikan sebagai pengusung nalar publik atau pengingat etika politik, tetapi justru dicurigai sebagai sumber disonansi. Ketika negara menulis ulang sejarah, ia pada saat yang sama mengkerdilkan peran intelektual sebagai pembanding dan pengkritik kebijakan.

Dalam kerangka ini, pendidikan tidak diarahkan untuk membentuk warga negara yang reflektif dan kritis, tetapi warga yang patuh, bangga tanpa pengetahuan, dan sinis terhadap pemikiran yang mendalam. Sistem pendidikan menjadi alat ideologisasi, bukan pembebasan. Materi pelajaran yang seharusnya mengungkap tragedi dan memberi ruang bagi empati, malah dihapuskan atau digantikan oleh glorifikasi sejarah yang semu.

Yang paling mengkhawatirkan adalah bahwa hak asasi manusia perlahan kehilangan tempat dalam lanskap publik. Ia dianggap tidak relevan, bahkan subversif, dalam logika timokratis. Rezim seperti ini melihat HAM sebagai produk liberal asing, bukan sebagai standar etis universal. Kritik atas pelanggaran HAM diposisikan sebagai gangguan terhadap stabilitas nasional, bukan sebagai alarm demokrasi.

Akibatnya, tanggung jawab terhadap korban sejarah lenyap, dan upaya pengungkapan kebenaran dianggap sebagai pembangkangan. Intelektualitas yang seharusnya merawat memori kolektif dan memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan, justru dipinggirkan.

Menulis Sejarah Alternatif

Di tengah kecenderungan negara untuk memonopoli narasi sejarah demi kepentingan kekuasaan, para intelektual publik tak boleh bungkam. Justru saat inilah tanggung jawab moral dan intelektual itu diuji. Kita membutuhkan penulisan sejarah alternatif. Sejarah yang jujur, yang berani mengakui luka kolektif, dan yang memberi tempat bagi suara-suara korban yang selama ini disisihkan.

Jika negara menulis dengan tinta kekuasaan, maka biarlah para intelektual menulis dengan tinta kebenaran. Sebab sejarah tidak hanya milik negara, tapi juga milik publik; dan kebenaran, betapapun ditutupi, selalu mencari jalannya untuk diungkap. Inilah saatnya bagi mereka yang cemas terhadap masa depan, untuk menulis masa lalu yang menolak untuk dikubur.

 

*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

Editor: Tri Joko Her Riadi

COMMENTS

//