Bagaimana Proyek Pembuatan Sejarah Resmi Versi Pemerintah Berpotensi Menggerus Inklusivitas, Mengerdilkan Penulisan Sejarah Lokal, dan Menghilangkan Fakta Pelanggaran HAM
“Penulisan ulang sejarah dan melabelinya sejarah ‘resmi’ adalah kebijakan otoriter negara untuk melegitimasi kekuasaannya. Program ini harus segera dihentikan.”
Penulis Muhammad Akmal Firmansyah7 Juni 2025
BandungBergerak – Proyek penulisan “sejarah resmi” versi pemerintah yang dikomandani Menteri Kebudayaan (Menbud) Fadli Zon dengan melibatkan 113 sejarawan dari berbagai daerah di Indonesia berpotensi menggerus inklusivitas penulisan sejarah, termasuk kekayaan narasi sejarah lokal. Proyek yang menyedot anggaran negara hingga 9 miliar rupiah tersebut juga bakal dikhawatirkan bakal menghilangkan fakta-fakta masa lalu, khususnya pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM).
Penggiat dan penulis sejarah asal Kota Bandung Merrina Kertodwidjoyo berpendapat, ketika negara secara dominan mengendalikan narasi sejarah, ada resiko tinggi penghapusan atau pemutihan fakta-fakta yang tidak sesuai dengan kepentingan citra negara. Dalam konteks pelanggaran HAM, akan ada penyangkalan, pembenaran, dan pengaburan kekejaman yang pernah terjadi. Imbasnya, upaya rekonsiliasi dan keadilan terhadap para korban tersumbat.
Menurut Merrina, salah satu pendiri komunitas sejarah Djiwa Djaman, sejarah yang ditulis ulang dengan membawa narasi ‘resmi’ oleh pemerintah dikhawatirkan juga akan mengerdilkan inisiatif penulisan sejarah lokal karena terbebani dengan banyaknya muatan politis dari pemerintah pusat. Banyak sumber data yang bisa menjadi kebaruan informasi sejarah tidak akan tersampaikan kepada publik semata karena belum diteliti dan dilabeli “tidak resmi”.
Di Bandung, misalnya, bermunculan para penulis sejarah lokal. Tidak sedikit dari mereka yang secara mandiri melakukan penelitian lalu menerbitkan hasilnya dalam sebuah buku. Di kota ini juga tumbuh subur komunitas-komunitas pengapresiasi sejarah yang secara rutin menggelar kegiatan bersama warga.
“Sebagai bagian dari masyarakat yang peduli terhadap sejarah, saya merasa khawatir penulisan sejarah ulang yang dilakukan dan dibiayai pemerintah saat ini terlalu tergesa-gesa dan juga tidak transparan,” kata Merrina, Kamis, 5 Juni 2025.
Merrina menegaskan, transparansi dibutuhkan untuk memastikan bahwa penulisan ulang sejarah ini memuat inklusivitas. Peran gerakan perempuan dan kelompok marginal lain tidak boleh tersisih oleh narasi penguasa, narasi para pemenang. Sejarah sebuah bangsa, menurut Merrina, adalah pengalaman dari seluruh elemen masyarakat. Bukan hanya milik elite politik, militer, dan kelompok dominan. Kelompok perempuan, petani, buruh, masyarakat adat, minoritas etnis dan agama, serta kelompok terpinggirkan lainnya memainkan peran krusial dalam membentuk sejarah Indonesia.
“Mengabaikan peran mereka berarti menciptakan narasi pincang dan tak representatif,” tutur Merrina.
Senada dengan Merrina, pengajar Sejarah Peradaban Islam (SPI) Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati (UIN SGD) Bandung Agung Purnama menjelaskan, penerapan metodologi sejarah secara inklusif bisa diterapkan melalui pendekatan history from below (sejarah dari bawah) yang memberikan wadah bagi narasi kaum perempuan dan kelompok marginal. Ia juga mengingatkan bahwa proyek penulisan ulang sejarah harus berbunyi sebagaimana fakta dan data yang terjadi. Entah itu positif atau negatif, entah itu kelam atau gemilang.
Menurut Agung, klaim “sejarah resmi” bisa mereduksi dan menghapus memori kolektif bangsa Indonesia tentang berbagai tragedi kemanusiaan di masa lalu yang dilakukan negara. Apabila itu terjadi, muncul kekhawatiran peristiwa-peristiwa serupa bakal secara leluasa berulang di masa kini dan masa depan.
“Jika ini terjadi, tentu sejarah akan berkurang objektivitasnya. Apalagi sejarah itu sarat akan interpretasi,” kata Agung, Kamis, 5 Juni 2025.
Lazim, tapi…
Akademisi dan sejarawan dari prodi Ilmu Sejarah, Universitas Padjajaran (Unpad) Bandung, Mumuh Muhsin mengatakan, penulisan ulang sejarah merupakan hal yang lazim. Ada beberapa pertimbangan yang bisa digunakan, mulai dari sumber-sumber baru yang belum digunakan, penafsiran baru atas sumber lama, hingga metodologi baru yang sebelumnya belum digunakan dalam analisis sejarah.
“Selain alasan akademis, tentu ada juga pertimbangan praktis dan politis. Seperti ungkapan yang populer: setiap rezim atau penguasa punya kepentingan untuk menulis sejarah versinya sendiri. Karena sejarah sering dianggap sebagai milik kelompok pemenang,” kata Mumuh, Sabtu, 31 Mei 2025.
Mumuh menjelaskan, dalam hal metodologi atau pun teori, tidak ada yang benar-benar baru dalam penulisan sejarah. Kemungkinan besar, pertimbangan politis menjadi yang utama. Mumuh menyoroti beberapa polemik dalam penulisan ulang sejarah nasional ini, seperti penghilangan istilah Orde Lama dengan pertimbangan politis ketiadaan dokumen formal yang menyebut secara eksplisit tentangnya.
“Tapi saya pribadi tidak setuju dengan alasan itu, karena sejarah adalah interpretasi. Kalau ada istilah Orde Baru, logis kalau ada istilah Orde Lama. Ini hanya contoh kecil, ya. Saya belum tahu perubahan-perubahan lainnya apa saja,” ujarnya.
Kontroversi lain yang disoroti yaitu penulisan sejarah hingga masa pelantikan Presiden Prabowo Subianto. Mumuh menjelaskan, pelaku sejarah yang masih hidup dan rentangnya dekat dengan masa kini memunculkan pro dan kontra sangat tajam terutama jika ada tokoh, partai, atau kelompok yang merasa perannya tidak diberi porsi memadai.
Menurut Mumuh, proyek ini akan berdampak besar terhadap dunia pendidikan apabila pemerintah mewajibkan referensi tunggal dari buku sejarah resmi. Apalagi terkait isu-isu yang menjadi perdebatan publik, seperti Peristiwa 1965.
Di luar isu penulisan ulang sejarah, Mumuh menyoroti pentingnya upaya serius membuat sejarah menarik bagi generasi muda. Salah satunya lewat penyajian secara menarik dan kontekstual, bukan sekadar hafalan.
“Kalau sekarang (sejarah) kurang diminati, bisa jadi karena penyajiannya kurang bagus atau guru kurang mampu menghidupkan materi sejarahnya,” ucapnya.
Sementara itu, penulis sejarah independen Atep Kurnia berharap, penulisan ulang sejarah bisa menambahkan informasi semakin lengkap dan komprenshif. Pasalnya, dalam dua sampai tiga dasawarsa banyak sekali sumber sejarah baru yang muncul baik di luar negeri atau pun lokal.
“Dari sisi informasi yang disampaikan ke publik, harapannya sih bisa semakin utuh. Jadi kekosongan-kekosongan informasi yang dulu ada, sekarang bisa terisi,” tutur Atep, Sabtu, 31 Mei 2025.
Atep menjelaskan, penulisan sejarah versi pemerintah jelas berbeda dengan penulisan sejarah independen sebagaimana yang biasa dia lakukan. Penulis independen biasanya menulis sejarah tentang hal-hal kecil yang keseharian, sementara proyek penulisan ulang sejarah yang disusun pemerintah pasti akan ada batasannya.
“Dengan banyaknya penulis yang dilibatkan dalam proyek ini , katanya ada 113 orang ya, peluang untuk konfirmasi silang antar sumber itu besar. Jadi harapannya, (proyek) bisa mengurangi bias. Semoga hasilnya terang-benderang dan seinklusif mungkin,” kata penulis sekaligus penggiat kebudayaan Sunda ini.
Baca Juga: MAHASISWA BERSUARA: Penulisan Ulang Sejarah Nasional dalam Bayang-bayang Novel 1984
Sejarawan Akademis, Amateur Historicus, Pengrajin Sejarah, dan Historicrat
Cuci Dosa Rezim
Proyek penulisan ulang sejarah nasional mengundang tidak sedikit penolakan dari beberapa elemen masyarakat. Aliansi Keterbukaan Sejarah (AKSI) terang-terangan menolak proyek tersebut karena dianggap berpotensi menghilangkan fakta-fakta masa lalu, khususnya pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM).
“Yang paling berbahaya adalah proyek ini bisa digunakan untuk mencuci dosa rezim, baik yang berjalan saat ini maupun yang terjadi selama masa Orba di mana pelanggaran HAM berat masif terjadi,” kata ketua AKSI Marzuki Darusman, dikutip dari keterangan resmi, Senin, 2 Juni 2025.
Sejarawan Asvi Warman Adam menyoroti hal serupa. Proyek penulisan ulang sejarah oleh pemerintah dianggap hanya akan menghasilkan penggelepan sejarah bangsa. Proyek ambisius penulisan “sejarah resmi” Indonesia semacam ini juga tidak memenuhi kaidah sebagai suatu produksi ilmu pengetahuan sejarah. Alih-alih, ia meminta agar pemerintah fokus untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu.
“Proses pembentukan sejarah lewat kebijakan negara melawan impunitas dengan menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM, lebih baik ketimbang melakukan penggelapan sejarah lewat proyek politik penulisan ulang sejarah,” ujar sejarawan penulis buku Pelurusan Sejarah Indonesia ini.
Ita F. Nadia menyoroti bagaimana proyek penulisan “sejarah resmi” yang ditargetkan selesai pada Agustus 2025 ini rentan mengabaikan fakta tentang peran penting gerakan perempuan. Ia mencontohkan, proyek penulisan tidak membahas kongres perempuan yang diselenggarakan di Yogyakarta pada Desember 1928. Kongres yang mendorong gerakan empansipasi perempuan ini digagas oleh Taman Siswa, Jong Islamitien Bond, Poetri Indonesia, dan Wanita Katolik, dengan salah satu tokoh terkenalnya, Nyi Hadjar Dewantara. Penulisan sejarah, menurut Ita, semestinya dilakukan secara egaliter dan menciptakan ruang yang setara bagi perempuan yang terpinggirkan di dalam masyarakat patriarkis seperti era kolonial.
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid menyebut penggunaan istilah “resmi” dalam terminologi sejarah sebagai suatu anokronisme yang menandai kemunduran intelektual di negara demokrasi. Dalam alam demokrasi, tidak boleh ada kebenaran sejarah yang dimonopoli oleh negara.
“Sejarah adalah milik publik, termasuk para korban pelanggaran HAM. Mereka berhak untuk mencari, menafsirkan, dan memaknainya secara merdeka tanpa campur tangan negara,” jelas Usman.
Kebijakan penulisan ulang sejarah, kata Usman, berpotensi menghilangkan peristiwa dan ketokohan yang tidak cocok dengan kepentingan kekuasaan. Padahal betapa pun gelap, sejarah harus ditulis sehingga generasi muda bisa mengambil pelajaran. Pelabelan sejarah resmi memaksakan satu tafsir tunggal dan mengingkari keberagaman pengalaman serta ingatan kolektif bangsa. Ia berpotensi mengebiri kebebasan berpikir dan menumpulkan daya kritis generasi mendatang.
“Penulisan ulang sejarah dan melabelinya sejarah ‘resmi’ adalah kebijakan otoriter negara untuk melegitimasi kekuasaannya. Program ini harus segera dihentikan,” ucapnya.
Perspektif Indonesia-sentris
Sebelumnya, Menbud Fadli Zon menegaskan, penulisan ulang sejarah merupakan keberlanjutan dari misi Kementerian Kebudayaan sejak awal dibentuk. Penulisan sejarah ulang ini akan dilakukan dalam 10 jilid dengan rentang periode dari awal mula sejarah sampai era Presiden Joko Widodo dengan melibatkan 113 sejarawan dari seluruh Nusantara.
“Sudah 26 tahun kita tidak menulis sejarah secara komprehensif. Terakhir, buku Sejarah Nasional Indonesia diperbarui pada 2008, dan hanya sampai era Presiden Habibie. Kini kita menulis sejarah dari 1,8 juta tahun lalu hingga masa kini,” jelas Fadli dalam keterangan resmi yang diakses Senin, 2 Juni 2025.
Tim penulis yang diketuai oleh sejarawan Susanto Zuhdi ini juga diisi oleh pakar-pakar sejarah, arkeologi, antropologi, hingga arsitektur. Hasilnya ditargetkan dapat diluncurkan menjelang 17 Agustus 2025, bertepatan dengan 80 tahun Kemerdekaan Indonesia.
Menteri Fadli menjelaskan, penulisan ulang sejarah ini diharapkan lebih objektif dengan berbasis perspektif Indonesia atau Indonesia-sentris. Bukan narasi kolonial seperti yang selama ini mendominasi.
“Kalau versi Belanda, agresi militer mereka disebut politionele actie. Bung Tomo dianggap ekstremis. Tapi bagi kita, Bung Tomo adalah pahlawan nasional. Maka penulisan ini kita dasarkan pada perspektif Indonesia-sentris,” tuturnya.
Mengenai minimnya narasi pelanggaran HAM masa lalu yang dalam draft awal yang bereder, politisi Partai Gerinda ini mengeaskan bahwa dokumen tersebut belum final, dan buku yang disusun 113 sejarawan ini memang bukan bertujuan merinci pelanggaran HAM secara spesifik. Menurutnya, penulisan buku ini menekankan pencapaian bangsa serta garis besar peristiwa penting dalam rangka memperkuat integritas nasional.
“Kalau kita mau tulis sejarah secara detail, bisa 100 jilid dan tak akan pernah selesai. Fokus kita adalah menuliskan sejarah nasional yang konstruktif dan positif,” terangnya.
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB