Kelas Edukasi Dampak Proyek Transisi Energi untuk Warga Kaki Gunung Tampomas
Kelas ini menyadartahukan masyarakat di kaki Gunung Tampomas, Sumedang yang berpotensi terdampak proyek transisi energi panas bumi (geothermal).
Penulis Awla Rajul9 Juli 2025
BandungBergerak.id - Transisi energi yang berkeadilan haruslah menekankan pada prinsip keadilan dengan menerapkan partisipasi publik, perlindungan sosial, dan distribusi manfaat yang merata agar tidak ada pihak yang dikorbankan demi tujuan lingkungan semata. Kesadaran ini penting dimiliki oleh warga dan mendorong Rhizoma Indonesia menyelenggarakan Just Energy Transition School (JETS), khususnya bagi masyarakat yang berpotensi terdampak kebijakan energi.
JETS adalah inisiasi Rhizoma Indonesia yang diselenggarakan selama empat pekan bagi orang muda di kawasan kaki Gunung Tampomas, Kabupaten Sumedang. Melalui program ini, orang muda dibekali pengetahuan dan pemahaman seputar transisi energi, mencakup hak-hak, konsep, prinsip transisi energi, pengorganisasian warga, advokasi kebijakan, investigasi sosial, dan lainnya.
Juru Kampanye Rhizoma Indonesia Klistjart Tharissa menyampaikan, program ini mulanya dikhususkan bagi orang-orang muda Tampomas yang akan terdampak pembangunan pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) atau geothermal. Orang muda disasar, lantaran merekalah yang akan merasakan dampaknya di masa mendatang. Melalui keterlibatan aktif mereka pula, diharapkan bisa lahir kebijakan yang lebih progresif, adil, dan berorientasi pada masa depan.
Namun begitu, program ini juga diikuti oleh warga yang sudah berusia tua. Sebab generasi ini sudah lebih dulu melakukan advokasi kebijakan pembangunan geothermal di Tampomas. Mereka juga masyarakat yang akan merasakan dampak dari pengeboran energi panas bumi.
“Anak muda ini sebetulnya kelompok yang ke depannya itu akan sangat terdampak dari kebijakan energi yang ada. Harapannya memang teman-teman ini dari sekolah ini bisa membangun pembelajaran yang kolektif, sehingga mereka bisa berpikir kritis terkait kondisi kebijakan energi yang ada di depan mata, yang akan berdampak kepada mereka,” ungkap Caca, demikian ia akrab disapa, Sabtu, 5 Juli 2025, di Desa Cilangkap, Kecamatan Buahdua, Kabupaten Sumedang.
Caca juga berharap, program ini bisa melahirkan generasi muda yang mau berpartisipasi aktif untuk mengawal kebijakan energi dan persoalan lingkungan di sekitar Gunung Tampomas. Program ini dilaksanakan setiap Sabtu, selama empat pekan berturut-turut, dimulai sejak 14 Juni 2025. Setiap Sabtu, warga diberikan dua materi yang berbeda di empat lokasi yang berbeda pula.
Caca menegaskan, rangkaian sekolah selama empat pekan ini merupakan pembekalan dasar sebagai fondasi masyarakat mengetahui dan memahami kebijakan energi. Warga juga diberi tahu mengenai hak-haknya yang akan berpotensi terdampak dari proyek transisi energi. Selain itu, program ini diharapkan menjadi jejaring aksi orang muda untuk memperjuangkan keadilan energi secara berkelanjutan.
Sebelumnya, rencana pembangunan geothermal di Gunung Tampomas sudah digagas sejak 2008. Gunung Tampomas ditetapkan dalam daftar wilayah kerja panas bumi (WKP) berdasarkan keputusan menteri ESDM nomor 1456K/30/MEM/2008. Jika pengeboran panas bumi ini terealisasi, diperkirakan akan berdampak bagi dua kecamatan, yaitu Buahdua dan Conggeang. Proyek transisi energi ini juga mengancam hilangnya sumber mata air di kaki gunung Tampomas yang dimanfaatkan untuk kehidupan warga dan mengairi pertanian.
Baca Juga: PLTU Batu Bara Memperparah Dampak Krisis Iklim, Studi Kasus di Indramayu
Mempertanyakan Sejauh Mana Ketaatan Pengelola PLTU dalam Menjalankan Perlindungan Lingkungan Hidup

Menyadarkan dan Menolak
Seorang warga Desa Cilangkap, Utari (42 tahun), merasa mendapatkan dampak positif setelah mengikuti program ini. Ia adalah warga yang berpotensi terdampak geothermal, rumahnya berjarak sekitar 3 kilometer dari lokasi rencana pengeboran panas bumi.
“Yang pasti nambah pengetahuan. Terus kita jadi tau langkah-langkah ke depannya untuk menolak di jalur yang benar, maksudnya yang sesuai dengan hukum,” ungkap Utari setelah pertemuan akhir JETS. “Posisinya (sebelum kelas ini) jujur sih tidak peduli, karena ketidaktahuan.”
Utari dulunya apatis dan tidak mengerti mengenai geothermal. Dengan mengikuti program ini, terbukalah pengetahuan dan pemahamannya mengenai dampak dari geothermal. Dulunya ia melihat program ini baik-baik saja, sebab warga akan mendapatkan ganti rugi jika digusur. Namun, kini ia menyadari, meskipun ada potensi uang ganti rugi, kerugian jangka panjang terhadap hilangnya sumber air dan mata pencaharian jauh lebih besar.
“Dampak pertamanya ke air sih. Tadinya kita berlimpah air. Terus mata pencaharian sama penghasilan yang pasti. Karena kan pertanian enggak mungkin sesubur dulu yang airnya banyak. Khawatirnya air nanti jadi berukurang,” ungkapnya yang memiliki lahan persawahan.
Selain Utari, ada juga Cecep Heryanto (52 tahun), warga Sekarwangi, Kecamatan Buahdua. Melalui sekolah yang diinisiasi Rhizoma Indonesia, ia mendapatkan banyak pencerahan. Awalnya ia menolak rencana proyek panas bumi karena ketakutan semata. Kini penolakan bisa didasarkan pada data dan pengetahuan yang lebih mendalam.
“Memberi pemahaman kepada masyarakat yang awalnya awam atau tidak tahu sama sekali. Alhamdulillah berkat adanya edukasi ini ya bertambah wawasan kami bagaimana cara menolah dengan pemahaman yang lebih jauh dan dalam juga. Yang paling utama masalah data yang awalnya kita tidak tahu sama sekali, hanya menolak karena ketakutan semata tanpa berdasarkan data,” ungkap Cecep.
Yang paling dikhawatirkan Cecep dengan adanya proyek panas bumi ini adalah hilangnya pasokan air, baik untuk kebutuhan pertanian maupun kebutuhan sehari-hari. Hal ini didasari pada kebutuhan jumlah air yang besar untuk menghasilkan sejumlah listrik melalui panas bumi. Ia merasa akan adanya “perebutan” air antara kebutuhan sehari-hari warga, pertanian, dan geothermal nantinya. Selain persoalan air, Cecep juga mengkhawatirkan ketersediaan lahan garapan, yang akan berhubungan dengan penghasilan.
“Yang jelas nanti ya berkurangnya lahan yang akan digunakan karena sangat berdekatan sekali dengan rencana wilayah geothermal ini, pengeborannya terutama. Mungkin hanya beberapa puluh meter ya, bukan ratusan meter lagi (jaraknya),” ungkap Cecep yang sehari-harinya bertani. Kini ia sedang mengusahakan tanaman pisang dan palawija di lahannya.
***
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB