• Berita
  • Melihat Ulang Angka Kasus HIV Jawa Barat Tanpa Stigma dan Diskriminasi

Melihat Ulang Angka Kasus HIV Jawa Barat Tanpa Stigma dan Diskriminasi

Menghubungkan penularan HIV/AIDS pada kelompok, gender, dan profesi tertentu akan memicu stigma dan diskriminasi yang menghambat penanggulangan penularan virus ini.

Ilustrasi. Diskriminasi terhadap minoritas gender kerap terjadi di Indonesia. (Ilustrator: Bawana Helga Firmansyah/BandungBergerak.id).

Penulis Awla Rajul10 Juli 2025


BandungBergerak.idBelakangan ini marak dibahas soal penularan kasus HIV/AIDS di Jawa Barat terkait kelompok minoritas gender. Narasi ini justru akan meningkatkan stigma dan diskriminasi terhadap kelompok rentan yang kemudian akan menghambat upaya penanggulangan HIV/AIDS.

Bandung AIDS Coalition (BAC) menjelaskan, faktor kunci penularan HIV/AIDS adalah pertukaran cairan tubuh, lazimnya melalui hubungan seks berganti-ganti pasangan dan jarum suntik tidak steril (yang dipakai pengguna narkoba suntik). Setiap orang yang berhubungan seks berganti-ganti pasangan, entah lelaki seks dengan lelaki (LSL) ataupun lawan jenis, dan orang yang menggunakan jarum suntik tidak steril, maka mereka memiliki rentan tertular HIV/AIDS.

Bandung AIDS Coalition menyatakan, narasi yang memojokkan kelompok tertentu akan membuat kelompok tersebut tidak berani lagi melakukan tes HIV/AIDS, lantaran stigma yang semakin menebal dan khawatir didiskriminasi.

“Kami melihat banyak unggahan yang beredar saat ini telah menyudutkan kelompok tertentu. Selain itu, sejumlah narasi juga mengaitkan program penanggulangan HIV dengan promosi perilaku menyimpang. Narasi semacam itu tidak dapat dibenarkan dan tidak berdasar. Alih-alih menyampaikan fakta, narasi seperti itu justru menghambat upaya penanggulangan HIV, karena memperkuat stigma yang selama ini menjadi penghalang utama dalam akses layanan kesehatan,” demikian pernyataan sikap BAC, yang diterima BandungBergerak.id, Selasa, 8 Juli 2025.

Bandung AIDS Coalition menegaskan, infeksi HIV tidak hanya terjadi pada satu kelompok populasi kunci saja, melainkan dapat menjangkiti siapa saja tanpa memandang latar belakang, orientasi seksual, atau identitas gender. “HIV bisa menular ke siapa saja, sejauh syaratnya terpenuhi, di antaranya dengan adanya pertukaran cairan tubuh dari orang yang sudah tertular HIV,” kata BAC.

Cairan tubuh tertentu itu hanya bisa ditularkan melalui empat jenis, yaitu darah, air mani, cairan vagina, dan air susu ibu (yang sudah tertular HIV kepada bayinya).

BAC mengingatkan bahwa jumlah kasus dalam program HIV dicatat secara akumulatif dari tahun ke tahun, sehingga otomatis angkanya akan terus meningkat atau bertambah.

Bertambahnya temuan kasus baru HIV juga terkait erat dengan peningkatan layanan tes HIV. Di Jawa Barat terdapat 1.106 Puskesmas, 3.489 klinik, dan 417 rumah sakit yang bisa melakukan tes HIV. Layanan tes HIV berbeda dengan satu atau dua dekade lalu yang jumlahnya terbatas. Artinya, semakin banyak lokasi tes, semakin besar kemungkinan kasus baru ditemukan.

“Dengan tidak memandang angka yang dicatat secara khusus dalam kasus HIV yang sudah ditanggulangi. Hal ini kami rasa perlu dipahami dengan lebih baik,” tegas BAC. 

Penanggulangan HIV di Kota Bandung

BAC menjelaskan, program penanggulangan HIV di Kota Bandung, Jawa Barat dijalankan berdasarkan prinsip penghormatan terhadap hak asasi manusia (HAM) dan pendekatan berbasis bukti (evidence based approach). Tujuan utama dari seluruh strategi yang dilakukan adalah untuk menekan angka infeksi baru, meningkatkan deteksi dini, serta memastikan setiap orang yang hidup dengan HIV (ODHIV) mendapatkan pengobatan dan dukungan yang dibutuhkan, tanpa stigma dan diskriminasi.

BAC menegaskan, program pencegahan dan penanggulangan HIV di Kota Bandung tidak dilakukan oleh Pemerintah Kota Bandung dan BAC sendirian. BAC dan Pemkot Bandung berkolaborasi erat dengan organisasi masyarakat sipil, tokoh agama, komunitas, akademisi, serta media untuk memastikan program berjalan secara inklusif, efektif, dan tidak melanggar nilai-nilai lokal.

Sementara itu, Wali Kota Bandung Muhammad Farhan menyatakan, Pemkot Bandung siap menyesuaikan kebijakan dan tata kelola program untuk mendukung upaya preventif, deteksi dini, edukasi, dan pengobatan dalam program penanggulangan HIV/AIDS.

“Kami ingin membangun kota yang inklusif, tanpa stigma, dan memberi ruang bagi semua orang untuk hidup sehat dan bermartabat,” kata Farhan, saat menerima audiensi KPA Kota Bandung di Balai Kota Bandung, Selasa, 20 Mei 2025.

Membaca Data dan Fakta HIV pada Mahasiswa Bandung

Tahun 2022 lalu juga isu HIV mencuat, waktu itu disebutkan banyak mahasiswa Bandung yang terjangkit virus mematikan ini. Komisi Penanggulangan Aids (KPA) Kota Bandung maupun Dinas Kesehatan Kota Bandung kemudian menyampaikan klarifikasi, bahwa jumlah kasus HIV/AIDS bersifat kumulatif, yakni hasil penjumlahan dari semua kasus sejak pertama kali teridentifikasi.

Di Kota Bandung, menurut Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Bandung, Ira Dewi Jani, kasus HIV/AIDS mulai dikumpulkan selama 30 tahun terakhir, dari 1991-2021, dengan total mencapai 5.843 kasus.

Dalam data itu, tampak bahwa HIV/AIDS menyerang tanpa pandang bulu. Beragam profesi dengan latar belakang, bisa terserang jika mereka dalam posisi rentan. Contohnya, ibu rumah tangga yang suaminya suka berganti pasangan di luar pengetahuan istrinya, maka ia termasuk rentan.

Mahasiswa hingga tenaga medis yang terkena HIV/AIDS pun tercatat dalam data kumulatif ini. Tenaga medis terinfeksi karena kecelakaan saat terjadi penanganan kasus HIV/AIDS.

Khusus mengenai kasus pada kalangan mahasiswa di Kota Bandung dari tahun 1991-2021, jumlahnya mencapai 407 kasus atau 6,97 persen [dari total 5.843 kasus HIV/AIDS Kota Bandung]. Jika dirata-ratakan per tahunnya dalam 30 tahun data kumulatif itu, jumlah mahasiswa yang terinfeksi HIV/AIDS sebanyak 13,5 orang per tahun.

Sedangkan nilai rata-rata dari total kasus HIV/AIDS di Kota Bandung adalah 300-400 kasus per tahunnya. Faktor risiko yang paling banyak adalah hubungan heteroseksual (hubungan seks beda gender) dengan rentang usia 20-29 tahun.

Perata-rataan ini bukan untuk mengecilkan jumlah kasus, tetapi untuk melihat apakah benar kalangan tertentu sebagai penyumbang angka signifikan pada data infeksi HIV/AIDS di Kota Bandung.

Ketua Sekretariat KPA Kota Bandung Sis Silvia Dewi menjelaskan, pendataan HIV/AIDS di Kota Bandung dilakukan dengan pengelompokan berdasarkan pekerjaan atau profesi. Tujuannya tidak lain untuk membangun strategi penjangkauan atau penanggulangan HIV/AIDS.

Ditemukanlah bahwa pada profesi karyawan atau swasta justru yang paling tinggi risiko paparan HIV/AIDS-nya, yakni 30 persen, wiraswasta 15 persen, dan ibu rumah tangga 11 persen. Mahasiswa malah yang terkecil di antara tiga kelompok tersebut, yakni 6,97 persen.

Namun membaca data kelompok pekerjaan juga tidak bisa menyimpulkan bahwa jenis pekerjaan tertentu sebagai penyebab HIV/AIDS. Penyebabnya tetap sama, yaitu kegiatan berisiko yang memungkinkan terjadinya pertukaran cairan tubuh (darah dan sperma). Sehingga kelompok mahasiswa terinfeksi HIV/AIDS bukan karena statusnya sebagai mahasiswa.

Tri Irwanda, pegiat komunitas pendampingan HIV/AIDS, menganalisa bahwa mengaitkan kasus HIV/AIDS dengan status pekerjaan atau profesinya malah akan memperkuat stigma atau stereotip yang akhirnya menghambat penanggulangan HIV/AIDS sendiri.

Intinya, menurut Tri Irwana, kegaduhan isu HIV/AIDS tidak akan terjadi jika sejak awal adanya akurasi dalam membaca data kumulatif sejak 1991 hingga 2021 atawa 30 tahun lalu. Dengan kata lain, temuan tersebut bukanlah yang terkini. Mereka yang tercatat sebagai mahasiswa dengan HIV/AIDS pada 1991 tidak mungkin masih berstatus mahasiswa saat ini, setelah 30 tahun.

Baca Juga: HIV/AIDS di Bandung dalam Bingkai Medis dan Moralitas
Suatu Hari dalam Kehidupan Abbe Setelah Positif HIV

Antara Moralitas dan Medis

HIV/AIDS atau human immunodeficiency virus/acquired immunodeficiency syndrome adalah penyakit dengan sejarah panjang dan penuh kegaduhan. Sama halnya dengan Covid-19 yang pada awal kemunculannya marak dengan berbagai sudut pandang. 

HIV/AIDS berawal dari masalah kesehatan, yaitu virus yang menyerang simpanse, lalu menginfeksi manusia, lalu siapa pun yang dalam posisi rentan bisa terkena. Baru belakangan diketahui galur HIV/AIDS sangat mirip dengan SIV, virus yang menginfeksi simpanse, pertama kali ditemukan pada 1920. Pada saat itu hingga tahun 80-an dan sekarang, dunia mengalami pandemi HIV/AIDS.

Tri mencatat, sejak awal kemunculannya pada 1980-an itu, HIV/AIDS di dunia memang kerap diwarnai dengan sejumlah kekeliruan dan bias informasi. Di Amerika sekalipun yang sering disebut negara liberal, bias informasi pada HIV/AIDS kerap terjadi. Kasus pertama di Amerika Serikat terdeteksi pada kalangan homoseksual (gay). Di sana kalangan ini dianggap punya perilaku dan orientasi seksual yang “menyimpang” alih-alih dipandang sebagai keragaman gender dan seksualitas manusia.

Tidak sedikit pesohor dunia yang terinfeksi HIV/AIDS. Freddie Mercury, motor band Queen, meninggal dunia karena AIDS. Ia dinyatakan AIDS pada 1987, di saat penyakit HIV/AIDS sendiri masih dipandang asing karena baru muncul. Obat anti-retroviral (ARV) yang bisa menjinakkan virus ini baru ditemukan pada 1987. Obat ini tidak menyembuhkan HIV/AIDS, tapi mampu menekan virus di dalam tubuh agar lebih jinak hingga tidak lagi bisa menularkan.

Menurut Tri, awal kemunculan kasus HIV/AIDS di Indonesia pun dipengaruhi bias informasi. Kasus AIDS dinyatakan pertama kali pada 1987 dan terdeteksi pada turis gay Belanda di RS Sanglah Denpasar, Bali.

“Kita semua paham, bagaimana konstruksi sosial dan tata norma bangsa kita pada umumnya terhadap kalangan gay. Sudah mah gay, dia juga bule. Pasti karena perilaku kebarat-baratan dan hedonis! Begitu kira-kira cara berpikir kita pada umumnya,” tulis Tri Irwanda, dikutip dari laman Rumah Cemara, Kamis (15/9/2022).

Pada perkembangan selanjutnya, Tri mencatat infeksi HIV pun banyak terdeteksi pada kelompok waria dan pekerja seks. Demikian pula dengan lonjakan kasus HIV pada kalangan pengguna narkoba suntik di pertengahan tahun 2000-an. Banyak orang yang makin teguh melihatnya dari perspektif moral. Mereka seolah ingin berkata, bukankah itu semua adalah kelompok yang memang “menyimpang” secara moral?  

“Maka, fenomena HIV-AIDS yang sejatinya adalah persoalan virus yang merusak kesehatan manusia, didekati dan dianalisis dengan teropong moralitas. HIV-AIDS menjadi fakta moral, bukan fakta medis seperti seharusnya,” lanjut Tri.

Sehingga, kata Tri, kita dapat memahami betapa HIV-AIDS sejak awal memang lekat dengan stigma alias cap buruk. Temuan kasus HIV dianggap aib yang sedapat mungkin ditutupi.

Menurut Tri, fakta medisnya, HIV adalah virus yang bisa menginfeksi semua orang, sejauh syaratnya terpenuhi yakni adanya pertukaran cairan tubuh (darah, air mani, cairan vagina, dan air susu ibu) dari seseorang yang telah terinfeksi dengan orang lainnya.

Dengan demikian, HIV bisa menular akibat hubungan seksual yang tidak aman (contohnya, tidak menggunakan kondom) dengan seseorang yang memang telah terinfeksi HIV, penggunaan alat suntik secara bersama-sama (tidak steril), atau dari seorang ibu kepada bayinya.

Padahal fakta medisnya, Tri memaparkan, seorang perempuan (istri) berisiko besar jika menikah dengan laki-laki yang gemar “membeli” seks. Survei Kementerian Kesehatan RI (2012) mencatat ada sekitar 6,7 juta lelaki di Indonesia yang membeli seks alias “jajan”. Data juga menunjukkan, ada sekitar 4,9 juta perempuan yang menikah dengan para pelanggan seks itu. Tentu saja mereka sangat berisiko terinfeksi HIV. Kebanyakan dari jutaan lelaki pembeli seks itu adalah pekerja dan mobile (mobile man with money alias 3M).

Kalau HIV/AIDS menyerang orang-orang yang “memiliki” moral menyimpang, mengapa ibu rumah tangga dan bayinya bisa terinfeksi HIV juga? Atau mengapa kalangan medis juga ada yang terinfeksi?

***

*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//