MAHASISWA BERSUARA: Sikap Pengecut Sejarawan Kampus
Akademisi di banyak kampus tampaknya telah menyepakati penulisan ulang sejarah nasional Indonesia yang dilakukan Kementerian Kebudayaan.

Izam Komaruzaman
Mahasiswa Pendidikan IPS Universitas Negeri Jakarta. Biro Mahasiswa Nasional Front Perjuangan Pemuda Indonesia (FPPI).
11 Juli 2025
BandungBergerak.id – “Kau harus punya keberanian, punya nyali untuk menyatakan pikiran kau.”
Saya mendengar itu dari Andreas Harsono –seorang jurnalis senior– sekira dua tahun lalu di Kantor Pantau, Kebayoran Lama. Pernyataan itu bukan agitasi kosong semata, itu merupakan cerminan besar dari lembar sejarah kita. Seorang Pramoedya dipenjara oleh tiga penguasa berbeda. Tan Malaka harus mengasingkan dirinya. Ki Hadjar Dewantara hampir mati kedinginan di Belanda.
Dalam konteks yang lebih baru, saya terkadang tidak sanggup menahan air mata ketika eksil Soeharto menceritakan kisahnya. Bukan soal penderitaan yang mereka alami, tapi bagaimana mereka mempertahankan sikapnya akan kebenaran. Sampai berani mengorbankan seluruh kecintaannya pada negara ini.
Sikap keberanian semacam itu yang jarang saya temui dalam lingkungan akademik hari ini. Lingkungan yang dalam sejarahnya merupakan tempat bersemainya tradisi perlawanan, telah tunduk tak berdaya di bawah kaki kekuasaan.
Saya tidak bicara soal satu atau dua orang akademisi yang masih menyuarakan kritik kepada penguasa. Dalam kerangka sistemik, status quo di perguruan tinggi adalah manut dan tunduk pada mereka yang berkuasa.
Meski seringnya tidak secara eksplisit melampirkan dukungan, beberapa gejala memperlihatkan kedekatan rezim dengan perguruan tinggi. Beberapa waktu ke belakang kita ingat, kampus membuka tangan untuk pemberian konsesi tambang yang waktu itu diwacanakan Kementerian ESDM. Dalam beberapa kesempatan pun, kampus malah membantu rezim untuk menekan mahasiswanya sendiri agar tidak melakukan demonstrasi.
Lebih konyol lagi, 25 Mei 2025 lalu dipertegas pada 5 Juli, Perkumpulan Prodi Studi Sejarah Indonesia (P3S1) menyatakan dukungan kepada penulisan Buku Sejarah Indonesia yang dicanangkan Fadli Zon. Mereka menganggap diperlukan pembaruan dan “sejarah resmi” sebagai acuan pendidikan nasional.
Saya memandang dari kacamata awam, artinya akademisi di banyak kampus telah menyepakati penulisan ulang yang dilakukan Kementerian Kebudayaan. Sikap amat pengecut dari orang-orang yang katanya intelektual.
Baca Juga: MAHASISWA BERSUARA: Pemikiran Politik Indonesia dalam Menciptakan Pendidikan Karakter Generasi Penerus Bangsa
MAHASISWA BERSUARA: Penulisan Ulang Sejarah Nasional dalam Bayang-bayang Novel 1984
Tentang Pembakuan Sejarah
Sejarah, sepanjang apa pun kita menilik ke belakang selalu menjadi arena perebutan tafsir kebenaran. Relasi tersebut dapat dipecahkan dengan membedah hubungan antara kekuasaan dan pengetahuan.
Pada era kolonial, sejarah didikte oleh kolonial lewat buku Geschiedenis van Nederlandsch Indie yang ditulis enam jilid oleh F. W. Stapel. Pembakuan berlanjut di zaman Soeharto lewat Sejarah Nasional Indonesia (SNI), semangatnya adalah anti-bias kolonial. Namun dalam praktiknya, penghapusan bias kolonial berujung pada munculnya praktik militerisasi sejarah dan sentralisasi Orde Baru (Orba).
Orba dalam SNI berusaha untuk melegitimasi kekuasaan sekaligus menciptakan nasionalisme versinya. Sebagai contoh, sejarah berfokus pada peristiwa-peristiwa kemiliteran, seperti penumpasan pemberontakan, heroisme ABRI dalam perang kemerdekaan, serta demonisasi gerakan kiri. Ya, salah satu penyusunnya memang Pusat Sejarah ABRI sih.
Pada masa awal Reformasi, SNI digugurkan, proyek Indonesia Dalam Arus Sejarah (IDAS) digaungkan. IDAS berusaha menjungkirbalikkan logika nasionalistik terpusat Orba dalam penulisan sejarah. Meski terbatas, IDAS dikerangka lebih terbuka serta membuka keran-keran sejarah yang tidak hanya berpusat pada Pulau Jawa dan mayoritas tertentu.
Berbeda dengan SNI yang mendiktekan “sejarah resmi” kepada masyarakat, IDAS mencoba untuk membuka ruang tafsir baru bagi sejarah. Meski tidak sempurna membongkar bias kekuasaan Orba, IDAS sudah berusaha memperluas ruang tafsir sejarah. Hal yang ingin direbut kembali oleh negara lewat Buku Sejarah Indonesia (BSI).
Akademisi Pura-pura Bodoh
Bila ditelisik lanjut, BSI mempunyai urgensi untuk menghapus bias kolonial, memperkuat identitas serta menjawab tantangan kekinian. Entah apa yang mereka maksud dengan identitas bangsa atau tantangan kekinian. Sebab dari kerangka jilid yang ada justru mirip seperti SNI versi baru saja.
Dalam tataran bias kolonial, harusnya SNI maupun IDAS sudah cukup dalam mengaburkan bias kolonial yang ada. Toh ini bukan buku sejarah resmi pertama kita, ya masa masih bicara bias delapan dekade lalu.
Demonisasi gerakan kiri dan glorifikasi Orba juga terlihat kembali dalam versi ini, G30S/PKI menjadi nama yang bakal diamini negara. Masa Soekarno dianggap sebagai Masa Bergejolak dan Ancaman Disintegrasi. Sedangkan Orba akan digambarkan sebagai masa stabilitas ekonomi-politik nasional, dan kiblat utama Demokrasi Pancasila.
Alih-alih menjawab tantangan kekinian, negara coba untuk menuntun masyarakat pada sejarah yang mereka kehendaki serta identitas yang mereka paksakan. Bahkan, hal mendasar seperti kritik terhadap IDAS saja mereka gagal, perubahan mereka dengan urgensi yang mengada-ada. Bukankah seharusnya perubahan didasari atas evaluasi dari sebelumnya? Kok rasanya malah kembali ke zaman orang tua? Malah landasan kritiknya ditujukan pada buku Geschiedenis van Nederlandsch Indie yang lebih tua dari umur bangsa ini sendiri.
Entah di mana poin logisnya, BSI ini sangat absurd secara akademik. Belum lagi bila bicara kepentingan politik penguasa, memoles Orba, demonisasi gerakan kiri, dan/atau alat legitimasi penguasa. Tentunya hal tersebut sangat terasa dalam penulisan BSI.
Namun saya coba untuk berpikir baik, 112 penulis, 20 editor jilid, serta 3 editor utama yang akan merumuskan BSI saya yakin bukan orang-orang bodoh. Toh, mereka sejarawan-sejarawan kampus top Indonesia. Pun P3SI yang mendukung proyek Fadli ini isinya sejarawan kampus ternama. Alih-alih bodoh betulan, mereka terlihat seperti pura-pura bodoh di depan kekuasaan.
Mereka yang mendukung dan/atau diam saja, saya pikir lebih baik dicabut saja gelar intelektualnya. Mereka telah lalai dalam tugas-tugas kaum intelektual. Tidak perlu pakai istilah dari pemikir luar negeri, seorang Bung Hatta saja mengatakan tugas intelektual adalah berkata benar walau di depan kekuasaan. Kata apa yang cocok bagi mereka yang lalai selain pengkhianat dan/atau pengecut?
*Kawan-kawan dapat membaca artikel-artikel menarik lain Mahasiswa Bersuara