MAHASISWA BERSUARA: Gagalnya Perlawanan Neoliberalisasi Pendidikan di Indonesia dan Pelajaran Berharga dari Cile
Rakyat Cile melawan kebijakan neoliberalisasi pendidikan menggunakan kombinasi metode yang memadukan demonstrasi di jalan dan perjuangan lewat politik praktis.

Noki Dwi Nugroho
Mahasiswa Program Studi Ilmu Politik Universitas Padjadjaran (Unpad)
10 Juli 2025
BandungBergerak.id – Mahalnya biaya pendidikan di negeri ini sudah menjadi topik hangat setiap masa penerimaan peserta didik baru. Kondisi ini tentu tidak datang dari ruang hampa. Mahalnya biaya pendidikan di negeri ini merupakan konsekuensi dari virus neoliberalisme yang telah menjangkit sektor pendidikan. Celakanya, virus ini masih menginfeksi sehingga membuat pendidikan semakin eksklusif.
Neoliberalisme juga pernah menjangkiti sektor pendidikan di Cile. Serupa seperti apa yang terjadi di Indonesia, neoliberalisme membuat pendidikan di Cile menjadi sangat mahal. Geram akan kondisi ketertindasan seperti ini, elemen rakyat yang terdiri dari pelajar, serikat guru, buruh, petani, dan lainnya melakukan perlawanan. Perlawanan ini pada akhirnya berhasil memaksa pemerintah memberikan pendidikan gratis bagi masyarakat Cile pada 2016.
Berbeda dengan Cile, perlawanan rakyat Indonesia dalam melawan neoliberalisasi pendidikan masih jauh dari keberhasilan. Perlawanan rakyat di Cile adalah pelajaran berharga bagi mereka yang tertindas oleh neoliberalisme pendidikan di Indonesia. Oleh karenanya, tulisan singkat ini akan membahas bagaimana Cile berhasil melawan neoliberalisasi pendidikan dan pelajaran yang dapat diambil.
Baca Juga: MAHASISWA BERSUARA: Membaca Kekerasan Aparat pada Demonstran dalam Logika Penertiban
MAHASISWA BERSUARA: Pemikiran Politik Indonesia dalam Menciptakan Pendidikan Karakter Generasi Penerus Bangsa
MAHASISWA BERSUARA: Mengevaluasi Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru
Bagaimana Cile Melawan Neoliberalisasi Pendidikan?
Terpilihnya seorang sosialis bernama Salvador Allende sebagai pemimpin Cile pada tahun 1970 membuat Amerika Serikat terancam. Amerika Serikat khawatir bahwa kemenangan sosialis di Cile akan menciptakan “efek domino” yang akan mendorong kemenangan sosialisme di benua Amerika. Untuk mencegah hal ini terjadi, Amerika Serikat melalui CIA melakukan intervensi di Cile dengan menggulingkan Allende pada 1973. Kudeta berdarah ini dipimpin oleh Augusto Pinochet yang saat itu merupakan panglima angkatan bersenjata Cile. Menurut laporan Amnesty International, Pinochet bertanggung jawab atas pemenjaraan, penghilangan, hingga pembunuhan total 40.175 orang selama masa kepemimpinannya.
Kejatuhan Allende sekaligus menjadi momen bagi kejatuhan kebijakan ekonomi sosialisnya. Di bawah rezim Pinochet, Cile melakukan reformasi ekonomi yang dikomandoi oleh para ekonom Cile yang dikenal dengan sebutan The Chicago Boys– fenomena serupa juga terjadi di era Orde Baru, saat kebijakan ekonomi Indonesia banyak dipengaruhi oleh para ekonom lulusan Universitas California, Berkeley, yang dikenal sebagai “Mafia Berkeley”. Dikatakan demikian karena mereka merupakan mahasiswa departemen ekonomi Universitas Chicago yang dibimbing langsung oleh salah seorang pemikir neoliberal, yaitu Milton Friedman. Untuk kemudian, reformasi ekonomi yang dilakukan di bawah rezim Pinochet ini telah menumbuhkan bibit neoliberalisme. Bahkan, dikatakan bahwa Cile adalah laboratorium penerapan neoliberalisme.
Neoliberalisme yang dalam praktiknya mendorong peran minim negara yang dalam pasar telah menjadi biang keladi atas krisis sosial. Neoliberalisme membuat sektor publik yang harusnya merupakan hak dasar bagi warga negara diubah menjadi sebuah komoditas. Hal ini dapat terjadi karena neoliberalisme mensyaratkan liberalisasi, komersialisasi, dan privatisasi sektor publik. Ketiga elemen ini pada dasarnya mendorong agar pasar bisa bergerak secara luas tanpa campur tangan negara.
Pendidikan menjadi salah satu sektor publik yang terdampak oleh neoliberalisme di Cile. Neoliberalisasi pendidikan di Cile dalam praktiknya menciptakan kondisi di mana pendidikan bukan merupakan hak dasar manusia, melainkan investasi yang dapat diakses dengan merogoh kocek yang mahal. Celakanya, saat itu pemerintah menawarkan solusi berupa pemberian student loan bagi para pelajar. Solusi ini tentu tidak menjawab akar permasalahan akan biaya pendidikan yang mahal, karena hal ini hanya akan menjerumuskan masyarakat ke dalam lingkaran setan. Neoliberalisasi pendidikan di Cile mencapai puncaknya kala Pinochet mengesahkan Ley Orgánica Constitucional de Enseñanza (LOCA) beberapa hari sebelum berakhirnya kediktatoran Pinochet. LOCA merupakan undang-undang yang dianggap sebagai bentuk lepas tangan pemerintah terhadap pendidikan. Dalam hal ini, negara hanya berperan sebagai regulator dan pemberi subsidi untuk pendidikan, bukan sebagai penyelenggara utama.
Merespons kebijakan neoliberalisasi pendidikan, pelajar melakukan aksi demonstrasi besar-besaran pada tahun 2006. Demonstrasi yang dikenal dengan nama Revolusi Penguin (istilah ini merujuk pada warna seragam demonstran yang seperti penguin, yaitu berwarna hitam putih) ini menuntut penguasa saat itu untuk mencabut LOCA, pemberian akses transportasi umum gratis bagi para pelajar, dan penghapusan biaya pendaftaran perguruan tinggi. Meskipun pada akhirnya tidak semua tuntutan demonstran dipenuhi oleh pemerintah, demonstrasi ini menawarkan metode yang efektif dalam menekan pemerintah.
Pendidikan memang menjadi isu yang utama dalam demonstrasi ini. Namun, demonstran tidak hanya berasal dari kalangan pelajar saja, melainkan dari serikat guru, buruh, petani, dan elemen masyarakat lain. Selain itu, mobilisasi sumber daya gerakan yang baik telah berhasil membuat dua kali pemogokan skala nasional. Merespons hal ini, pemerintah saat itu mengumumkan pembentukan komite penasihat presiden untuk pendidikan yang diisi oleh elemen gerakan, seperti pelajar dan guru.
Revolusi Penguin memang tidak berhasil dalam mencapai tujuannya. Pendidikan masih menjadi hal yang eksklusif di Cile saat itu. Oleh karenanya, lima tahun setelah Revolusi Penguin, pelajar kembali melakukan demonstrasi dengan tuntutan yang lebih radikal, yaitu menuntut pemerintah untuk memberikan pendidikan gratis. Demonstrasi yang kemudian dikenal dengan Cilean Winter berhasil membuat pemerintah memberikan pendidikan gratis melalui kebijakan Gratuidad pada 2016. Namun, tidak semua masyarakat di Cile dapat mendapatkan akses pendidikan gratis, kebijakan ini hanya diperuntukkan untuk 60 persen masyarakat dengan penghasilan rendah. Menarik untuk dipelajari bahwa kemenangan gerakan ini tidak semata-mata dilakukan hanya dengan demonstrasi dengan banyak elemen masyarakat saja. Lebih dari itu, gerakan berhasil menaruh orangnya di parlemen untuk memperjuangkan kepentingan mereka. Dalam hal ini, beberapa tokoh, seperti Camilla Vallejo dan Gabriel Boric –tokoh gerakan yang berasal dari kelompok mahasiswa– terpilih sebagai anggota legislatif di Cile pada tahun 2013. Bahkan, keduanya saat ini merupakan politisi yang berada di tingkat nasional. Saat ini, Boric adalah presiden Cile dan Vallejo merupakan Menteri Sekretariat Jenderal Pemerintah.
Bagaimana Kita Dapat Belajar dari Cile
Kondisi ketertindasan akibat neoliberalisme tidak hanya terjadi di Indonesia saja. Hal ini mesti dipahami agar kita dapat bersolidaritas dan mengambil pelajaran dari gerakan perlawanan neoliberalisme di negara lain. Perlawanan terhadap neoliberalisme tentu memiliki cara yang berbeda, mengingat perbedaan pra-kondisi material di tiap wilayahnya. Namun, keberhasilan Cile dalam melawan kebijakan neoliberalisasi pendidikan dapat kita jadikan pelajaran. Perlu diakui, gerakan dalam melawan neoliberalisasi pendidikan di Indonesia masih belum mencapai tujuannya. Beberapa hal, seperti metode gerakan dan kesadaran politik menjadi faktornya.
Terdapat hal yang menjadi kritik saya terhadap gerakan yang dilakukan oleh kawan-kawan mahasiswa dewasa kini. Mahasiswa sudah tenggelam dalam narasi heroik bahwa mereka merupakan agen perubahan bagi masyarakat. Implikasinya, mahasiswa sering kali menganggap dirinya memiliki peran besar dalam menyelamatkan masyarakat yang tertindas dari ketertindasan. Sayangnya, hal ini bermasalah. Sejalan dengan apa yang dikatakan Freire, bahwa upaya pembebasan tanpa melibatkan kaum tertindas sama saja dengan memperlakukan mereka sebagai barang yang harus diselamatkan dari sebuah rumah yang terbakar. Sudah saatnya mahasiswa membuang narasi heroik tersebut ke tempat sampah. Mulailah berjejaring dan mengorganisasi massa dengan kelompok rentan lainnya.
Selain itu, penting rasanya bagi gerakan untuk mempertimbangkan metode perjuangan melalui jalur politik praktis, seperti apa yang gerakan di Cile lakukan. Memang, perlu diakui hal ini sulit untuk dilakukan karena Indonesia tidak seberuntung Cile yang masih memiliki partai komunis –partai yang secara ideologis sangat menentang neoliberalisme. Di sisi lain, muncul banyak skeptisisme di kalangan kawan-kawan gerakan terhadap perjuangan melalui jalur politik praktis. Saya cukup memahami ketakutan kawan-kawan yang beranggapan bahwa perjuangan melalui politik praktis tidak akan membuahkan apa-apa karena wakil rakyat tidak akan melakukan apa yang mereka janjikan. Namun, kita mesti sadar bahwa kondisi buruk ini tidak datang dari ruang hampa, kondisi ini terjadi karena politik praktis di Indonesia dikooptasi oleh para oligark. Akan sangat sulit bagi seorang individu yang memiliki gagasan revolusioner untuk bebas bergerak di tengah kepungan oligark.
Meskipun sulit, perjuangan tetap perlu diupayakan. Mendirikan partai alternatif dapat menjadi cara untuk menghimpun kekuatan dalam melawan dan merebut arena politik praktis dari para oligark. Tampaknya, kita perlu belajar dari beberapa Pemilu ke belakang, di mana banyak dari kita memilih Jokowi –yang dianggap bukan merupakan bagian dari oligark– untuk melawan Prabowo Subianto.
Kelompok tertindas sudah semestinya dapat memperjuangkan kepentingan mereka sendiri melalui partai alternatif yang mereka dirikan. Maka dari itu, pendirian partai alternatif ini perlu dibarengi dengan proses pendidikan politik bagi masyarakat untuk menumbuhkan kesadaran politik. Masyarakat tertindas perlu dilibatkan dalam upaya membebaskan diri dari ketertindasan.
Pada akhirnya, kemenangan gerakan Cile dalam melawan neoliberalisasi pendidikan merupakan pelajaran berharga bagi gerakan di Indonesia. Kombinasi metode gerakan yang memadukan demonstrasi di jalan dan perjuangan melalui politik praktis dapat juga kita lakukan di Indonesia dalam menghadapi neoliberalisme dan permasalahan ketertindasan lainnya. Seperti apa yang selalu digaungkan oleh kawan-kawan kala berdemonstrasi:
“Rakyat (tertindas) bersatu, tak bisa dikalahkan!”
*Kawan-kawan dapat membaca artikel-artikel menarik lain Mahasiswa Bersuara