• Opini
  • MAHASISWA BERSUARA: Membaca Kekerasan Aparat pada Demonstran dalam Logika Penertiban

MAHASISWA BERSUARA: Membaca Kekerasan Aparat pada Demonstran dalam Logika Penertiban

Polisi tidak bekerja di bawah supremasi hukum, tetapi tunduk pada logika internal ketertiban sosial.

Muhammad Syamil Basayev

Mahasiswa Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Padjadjaran (Unpad)

Aktivis dari sejumlah organisasi yang tergabung dalam Koalisi Rakyat Antikriminalisasi di Bandung mengkritik polisi bertepatan dengan Hari Bhayangkara, 1 Juli 2025. (Foto: Muhammad Akmal Firmansyah/BandungBergerak)

3 Juli 2025


BandungBergerak.id – Kekerasan yang dilakukan aparat kepolisian bukan lagi peristiwa luar biasa, ia hadir sebagai peristiwa yang berulang. Dalam laporan Kontras mengatakan bahwa dalam 100 hari pemerintahan Prabowo Gibran setidaknya terdapat sekitar 136 kekerasan yang dilakukan oleh aparat. Bukan hanya itu, apabila kita merefleksikan kembali beberapa bulan ke belakang dalam demo tentang efisiensi anggaran, tolak UU TNI, ataupun aksi May Day tak pelak aparat negara menggunakan unsur koersifnya dalam meredam hak-hak masyarakat untuk melakukan demonstrasi tersebut. Bahkan, kasus yang ekstrem polisi menggunakan unsur kekerasannya terhadap medik yang jelas-jelas dilindungi oleh hukum internasional. Lebih dari itu, beberapa tenaga medis, termasuk mahasiswa Filsafat UI tak pelak jadi korban kriminalisasi.

Dalam hal ini suatu pertanyaan muncul dalam benak saya, “Mengapa kekerasan ini terus berulang meskipun selalu dikutuk?” Setidaknya ada satu tesis yang coba saya uraikan untuk memahami hal tersebut bahwa polisi bukan alat netral yang serta merta dapat dipahami sebagai penegak hukum dan ketertiban secara harfiah dan pasif, tetapi perlu dilihat sebagai produsen tatanan sosial dalam sistem kekuasaan yang eksploitatif dengan logika ketidakadilan lebih baik daripada ketidakaturan.

Baca Juga: MAHASISWA BERSUARA: Danau Ketidakpedulian Itu Bernama Bandung
MAHASISWA BERSUARA: Kata yang Bersuara dan Kebijakan yang Bisu
MAHASISWA BERSUARA: Dari “Starling” ke E-bike, Evolusi Kopi Pinggir Jalan

Memahami Logika Kekuasaan Polisi dalam Perspektif Mark Neocleous

Untuk memahami kekuasaan negara secara lebih lanjut, Mark Neocleous dalam bukunya A Critical Theory of Police Power (2000) menawarkan pendekatan yang tak terpisahkan antara kekuasaan negara dengan kekuasaan polisi. Ia berpendapat bahwa, sebagaimana negara tidak pasif dalam menggunakan kekuasaan, kekuasaan polisi pun tidak semata-mata bersifat koersif. Sebaliknya, kekuasaan polisi justru bekerja secara aktif sebagai pembentuk tatanan masyarakat dan realitas sosial itu sendiri.

Tesis utama Neocleous berpijak  pada akar historis dari keberadaan polisi. Menurutnya, sejak awal pembentukannya, institusi polisi telah digunakan sebagai sarana untuk menggambarkan dan mewujudkan bagaimana keteraturan sosial dapat dicapai. Polisi, dalam hal ini, bukan hanya alat untuk menjaga hukum yang telah ada, melainkan merupakan sarana negara untuk membentuk masyarakat sipil sesuai dengan kebutuhan dan kepentingan kekuasaan dominan. Melalui kepolisianlah, negara menciptakan dan menata struktur sosial yang dianggap sah dan tertib.

Neocleous secara eksplisit menyatakan bahwa perhatian utama institusi kepolisian sejak awal bukanlah terhadap kejahatan konvensional atau kriminalitas sebagaimana umumnya dipahami. Sebaliknya, polisi hadir untuk mengatur sekelompok warga negara yang dianggap memiliki potensi untuk merusak tatanan umum. Fungsi tersebut, menurutnya, sangat erat terkait dengan konteks historis kemunculan polisi setelah runtuhnya tatanan feodal. Runtuhnya feodalisme menghasilkan kelompok masyarakat yang oleh para penguasa disebut sebagai masterless men –orang-orang yang tidak lagi memiliki tuan atau penguasa yang mengontrol mereka secara langsung.

Kelompok ini dipandang memiliki potensi gangguan terhadap kemunculan sistem sosial-ekonomi baru, yakni kapitalisme. Dalam konteks ini, Neocleous meminjam analisis Karl Marx dalam On the Jewish Question (1844) yang mengidentifikasi bahwa konsep “keamanan” (security) menjadi nilai sosial tertinggi dalam masyarakat sipil modern. Dalam sistem kapitalis, keamanan tersebut berfungsi bukan untuk menjamin keselamatan manusia sebagai subjek, tetapi untuk menjamin pelestarian properti dan relasi produksi. Oleh sebab itu, kata Neocleous, polisi muncul sebagai instrumen kunci untuk memastikan keamanan dalam arti ini –yaitu keamanan kelas berpunya atas tatanan kapitalisme.

Lebih jauh, Neocleous menjelaskan bahwa kekuasaan polisi selalu diselimuti oleh narasi dan semangat peperangan. Polisi, dalam operasional dan wacananya, selalu memosisikan dirinya sebagai kekuatan “tempur” melawan ancaman internal yang muncul dari dalam masyarakat. Dalam kerangka ini, warga negara diposisikan sebagai objek pengawasan yang potensial menjadi musuh bagi tatanan sosial kapitalistik. Karena itu, tugas utama polisi bukanlah menjalankan hukum secara objektif, melainkan menertibkan masyarakat demi mempertahankan keteraturan sosial yang sesuai dengan logika kekuasaan kapitalis.

Konsekuensi dari cara pandang ini adalah bahwa polisi bertugas tidak atas dasar supremasi hukum, melainkan atas logika penertiban. Polisi bekerja dengan aturan dan ketentuan internalnya sendiri yang berakar pada prinsip bahwa “lebih baik ketidakadilan daripada ketidakaturan.” Dalam prinsip ini, ketimpangan dan pelanggaran hak warga dapat ditoleransi sejauh keteraturan sosial tetap terjaga. Oleh sebab itu, Neocleous menolak definisi umum polisi sebagai penegak hukum (law enforcement), dan lebih tepat melihat mereka sebagai penjaga ketertiban yang aktif membentuk struktur sosial sesuai dengan kepentingan penguasa.

Demonstrasi sebagai Ancaman Internal Tatanan Kelas Penguasa

Dalam konteks demonstrasi, pemahaman ini memberi kita kacamata baru. Kekerasan fisik oleh aparat terhadap demonstran dapat dipahami bukan sebagai penyimpangan perilaku aparat atau kegagalan prosedur semata, tetapi sebagai bagian inheren dari logika kekuasaan negara yang menghadapi krisis legitimasi. Ketika narasi dominan yang ditanamkan melalui berbagai instrumen ideologis seperti pendidikan, media massa, partai politik, serikat pekerja, hingga budaya populer tidak lagi mampu meredam keresahan rakyat, maka kekuasaan beralih kepada aparatus koersif seperti kepolisian.

Dengan kata lain, kekuasaan polisi memainkan peran penting dalam meredam pemberontakan, membungkam jeritan kolektif, menenangkan amarah, dan menghentikan mobilisasi sosial. Demonstrasi yang muncul sebagai bentuk artikulasi politik dan perjuangan sosial akan diposisikan sebagai ancaman terhadap tatanan, dan karena itu diubah narasinya menjadi kriminalitas atau gangguan keamanan.

Fungsi ini menjadikan polisi sebagai aktor yang aktif dalam memproduksi ketakutan, membingkai perjuangan sosial sebagai ancaman, dan melegitimasi penggunaan kekuatan fisik. Maka tak mengherankan ketika demonstran, bahkan yang menjalankan hak konstitusionalnya secara damai, tetap menjadi korban kekerasan. Bahkan dalam kasus-kasus ekstrem seperti kriminalisasi dan kekerasan terhadap tenaga medis yang secara universal diakui dan dilindungi, termasuk dalam hukum internasional sekalipun dalam kondisi perang, tetap menjadi target.

Fakta ini memperlihatkan dengan gamblang bahwa polisi tidak bekerja di bawah supremasi hukum, tetapi tunduk pada logika internal ketertiban sosial. Dalam konteks ini, ketidakadilan dapat disubordinasi dan dibenarkan atas nama keteraturan. Kekuasaan polisi selalu terkait erat dengan kekuasaan perang, di mana teknologi militer seperti gas air mata, meriam air, dan drone bukanlah indikasi dari “militerisasi” yang baru, melainkan manifestasi dari sifat dasar kekuasaan polisi yang telah ada sejak lama.

Sebagaimana telah dijelaskan Neocleous, polisi senantiasa melihat dirinya dalam posisi “berperang”, dan bahkan secara simbolik menyebut dirinya sebagai “garis biru tipis” (thin blue line) –barikade terakhir antara masyarakat sipil yang tertib dan kekacauan sosial. Dalam perspektif ini, demonstran bukan lagi warga negara yang menyuarakan tuntutan, melainkan aktor subversif yang harus dikendalikan, dipukul mundur, atau dilenyapkan secara paksa demi menjaga tatanan kelas penguasa.

Pada dasarnya penggunaan kekerasan fisik oleh aparat kepolisian secara konsisten memperlihatkan perannya secara genealogis sebagai alat untuk menekan sekelompok orang yang dapat memberikan gangguan terhadap tatanan dari kelas penguasa. Dalam hal ini, demonstran dapat dilihat sebagai gangguan dari celah yang tidak bisa ditutupi secara tidak langsung oleh kelas penguasa.

Penutup

Dari uraian-uraian di atas sebenarnya kita bisa melihat bahwa demonstran dalam perspektif dan logika kekuasaan polisi tidak dapat dilihat sebagai sekelompok orang yang menggunakan hak konstitusionalnya, melainkan sebagai gangguan internal terhadap tatanan dari kelas penguasa. Hal tersebut apabila ditilik lebih lanjut tidak terlepas dari aspek material yang mendasari adanya polisi itu sendiri yang pada hakikatnya bukanlah penegak hukum, petugas penertiban.

Neocleous menunjukkan bahwa bahasa dan praktik kepolisian selalu sarat dengan metafora perang. Polisi menyebut dirinya berada di garis depan melawan “musuh dalam negeri,” dan menggunakan teknologi militer seperti gas air mata, meriam air, hingga drone. Militerisasi polisi dalam hal ini bukanlah fenomena baru, melainkan ekspresi alami dari fungsinya sebagai tentara domestik kapitalisme. Dalam konteks ini, penggunaan kekerasan terhadap demonstran bisa dilihat lebih luas dari sekadar pelanggaran HAM semata, melalui kasus tersebut kita bisa menyingkap kriminalisasi demonstrasi dan kekerasan terhadap tenaga medis bukanlah insiden ekstrem, melainkan indikasi bahwa hukum tunduk pada logika ketertiban, bukan sebaliknya dalam rangka mempertahankan status quo.

 

*Kawan-kawan dapat membaca artikel-artikel menarik lain Mahasiswa Bersuara

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//