• Opini
  • MAHASISWA BERSUARA: Mengevaluasi Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru

MAHASISWA BERSUARA: Mengevaluasi Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru

Semua rakyat Indonesia memiliki kesempatan yang sama untuk mengenyam pendidikan tinggi.

Muhammad Rifai Nugroho

Mahasiswa Sosiologi UIN Sunan Ampel Surabaya

Ilustrasi. Mahasiswa dari keluarga kelas menengah ke bawah kesulitan melanjutkan kuliah dengan biaya semakin mahal. (Ilustrator: Bawana Helga Firmansyah/BandungBergerak.id)

9 Juli 2025


BandungBergerak.id – Seleksi nasional penerimaan mahasiswa baru atau SNPMB pada tahun 2025 mengalami banyak kontroversi. Mulai dari persoalan SNBP (Seleksi Nasional Berdasarkan Prestasi), kasus joki pada ujian SNBT-UTBK, hingga ujian mandiri yang hanya bisa diakses oleh kalangan serta kontroversi joki saat ujian mandiri. Hal ini membuat sebuah pertanyaan, apakah seleksi mahasiswa baru di Indonesia sudah tepat, humanis, atau hanya sekedar untuk bisnis ajang naik kelas belaka?

Dalam permasalahan SNBP, sering kali banyak problematika yang terjadi, seperti pengisian PDSS pada beberapa sekolah yang terlambat, seperti SMKN 2 Solo hingga SMAN 1 Mempawah. Kemudian ada indikasi katrol nilai, jual beli nilai dari pihak sekolah untuk siswa yang lolos eligible dengan banyaknya keluhan siswa kelas 12 mengenai perbedaan nilai sekolahnya dengan sekolah lain di media sosial, hingga kriteria penerimaan yang tidak adil. Sebab dalam kebijakan terdahulu, indeks sekolah sangat mempengaruhi diterima atau tidaknya di universitas tersebut. Sebagai contoh, ketika siswa A dengan rata-rata nilai 90 keatas dengan siswa B dengan nilai 87 daftar di universitas C, tetapi universitas C melihat indeks sekolah siswa B lebih bagus dibanding siswa A. Maka dari itu, universitas C akan lebih memilih siswa B daripada siswa A yang nilainya lebih bagus. Mengutip Detik.com, Ketua Pelaksana SNPMB 2023 Budi P Widyobroto menyatakan penilaian yang mempengaruhi SNBP ada dua, yakni kualitas sekolah yang ditunjukkan dari indeks sekolah, dan nilai siswa. Hal ini dikonfirmasi oleh Prof. Ganefri selaku panitia SNPMB 2024, walaupun Dr. Riza Satria Perdana, panitia SNPMB 2024, mengatakan bahwa tidak semua universitas menerapkan sistem tersebut pada saat konferensi pers untuk pelaksaan SNPMB 2025.

Sedangkan dalam permasalahan SNBT-UTBK, ditemukan kasus joki demi mendapatkan jurusan impiannya, khususnya kedokteran. Mengutip Tempo dan Detik.com, praktik joki terbongkar di Universitas Padjajaran, dan Institut Teknologi Bandung pada UTBK 2025. Jasa joki sering kali ditujukan pada calon mahasiswa yang ingin masuk jurusan kedokteran dengan biaya yang tidak murah, yakni mencapai ratusan juta hingga miliaran rupiah. Hal ini disebabkan persaingan ketat pada jurusan ditambah peminatnya banyak, sehingga ada yang menghalalkan segala cara demi mendapatkan jurusan tersebut. Hal ini juga berlaku pada seleksi mandiri, tetapi bedanya hanya orang yang sanggup membayarnya yang bisa mendaftarkan diri pada jalur tersebut. Ada juga kasus dugaan kecurangan dalam proses seleksi jalur mandiri seperti yang terjadi di Universitas Indonesia tahun 2024 dan 2025 dengan menggunakan AI dalam ujian mandiri.

Baca Juga: MAHASISWA BERSUARA: Dari “Starling” ke E-bike, Evolusi Kopi Pinggir Jalan
MAHASISWA BERSUARA: Membaca Kekerasan Aparat pada Demonstran dalam Logika Penertiban
MAHASISWA BERSUARA: Pemikiran Politik Indonesia dalam Menciptakan Pendidikan Karakter Generasi Penerus Bangsa

Mengapa Terjadi Kecurangan?

Sejumlah kecurangan yang terjadi pada proses penerimaan mahasiswa baru melalui jalur SNBP terjadi diduga karena untuk memenuhi penilaian indeks sekolah dan ajang promosi sekolah. Hal ini dipicu karena kebijakan beberapa universitas yang menyatakan keberadaan alumni sekolah berpengaruh terhadap peluang diterima tidaknya di universitas tersebut, dengan dalih alumni mampu menjadi tolok ukur kualitas sekolah tersebut. Padahal hal demikian tidak sepenuhnya benar. Hal ini yang diduga memicu pihak sekolah melakukan katrol nilai dan mengarahkan siswanya untuk memilih universitas tertentu agar diterima lewat jalur SNBP.

Pada seleksi SNBT, sebenarnya cukup dikatakan cukup baik dalam subtes yang diberikan, seperti Literasi Bahasa Indonesia, Literasi Bahasa Inggris, Penalaran Matematika, Pengetahuan Umum, dan sebagainya. Namun, panitia SNPMB luput, tes tersebut tidak cukup untuk menilai calon mahasiswa layak untuk masuk pada jurusan tersebut atau tidak. Karena serangkaian tes tersebut bersifat umum dan menilai daya pikir kritis, tetapi belum cukup untuk menilai minat calon mahasiswa terhadap jurusan tersebut. Sehingga ada saja calon mahasiswa setelah lulus merasa salah jurusan.

Pihak sekolah yang mengarahkan siswanya untuk memilih jurusan tertentu, baik dalam seleksi calon mahasiswa baru lewat jalur SNBP maupun SNBT, yang menjadi penyebab ada mahasiswa yang merasa salah jurusan. Mengutip Detik.com,  ahli Educational Psychologist dari Integrity Development Flexibility (IDF) Irene Guntur mengatakan bahwa 87 persen  dari mahasiswa Indonesia merasa salah jurusan. Lebih parahnya, para calon mahasiswa ini tidak mau pikir panjang untuk riset mengenai jurusan yang dipilih sehingga ketika lolos pada pilihan yang ia tidak diminati tetapi dipilih, maka yang sering terjadi adalah tidak melakukan daftar ulang. Faktornya adalah arahan pihak sekolah yang sering kali berlebihan demi indeks sekolah yang membuat siswa pasrah memilih jurusan tertentu.

Pierre Bourdieu melalui teorinya, yakni habitus menyatakan fenomena seperti ini terjadi karena realitas sosial yang terbentuk, yakni mereka yang lolos top PTN dianggap pintar, sedangkan mereka yang lolos di PTN biasa-biasa saja atau swasta dianggap bodoh. Hal ini justru menimbulkan sebuah pertanyaan, “Apakah kuliah untuk menuntut ilmu kepada diri sendiri atau hanya memenuhi indeks sekolah yang nantinya dijadikan ajang promosi sekolah tersebut? Dan apakah kuliah memilih jurusan tertentu untuk sekedar mencari pekerjaan?”

Langkah yang Harus Diambil

Kita harus mulai membuka mata dengan banyaknya fenomena yang terjadi pada sekian tahun ini, mulai dari masalah dalam SNBP hingga, calon mahasiswa merasa salah jurusan karena terlalu banyak diatur oleh pihak ketiga dalam menentukan jurusan yang membuat setiap tahunnya banyak mahasiswa berpindah-pindah kampus mencari jurusan yang cocok. Setidaknya dalam kasus seperti ini, perlu peran masyarakat, sekolah, maupun pemerintah.

Pemerintah agar membuat kebijakan yang tegas mengenai seleksi penerimaan mahasiswa baru. Hal ini dapat dimulai dengan tidak lagi memberikan toleransi dalam kelalaian pengisian PDSS untuk SNBP, serta pemerataan fasilitas universitas yang ada supaya tidak ada diskriminasi terhadap universitas. Pemerintah juga harus membuat regulasi yang tegas untuk mengatur biaya proses seleksi ujian mandiri yang semakin hari semakin mahal. Pemerintah bisa saja memberikan subsidi pada kampus untuk mengurangi beban operasional kampus, jika biaya operasional yang menjadi penyebab biaya kuliah yang mahal.

Kemudian peserta seleksi yang berstatus mahasiswa, setidaknya mengundurkan diri dulu jika hendak mengikuti SNPMB. Sebab masih banyak mahasiswa penasaran yang berkeliaran, yakni mereka yang tes dan ketika lolos tidak diambil.

Pihak sekolah diharapkan agar seminim mungkin memberi saran, bahkan berhenti memaksa anak didiknya untuk memilih jurusan tersebut dengan alasan realistis. Sebagai pihak ketiga, sekolah seharusnya cukup mengarahkan dengan cara memberitahu gambaran jurusan yang akan dituju, dan universitas yang dituju. Pihak sekolah boleh memberikan saran dengan syarat tidak boleh memaksa. Jangan sampai sekolah memaksa anak didiknya untuk memilih universitas tertentu untuk menaikkan indeks sekolah. Sebab sudah banyak keluhan siswa kelas 12 di media sosial mengenai fenomena tersebut.

Untuk calon mahasiswa, ketika memilih jurusan tolong dipikirkan dengan kritis, apakah jurusan yang kalian pilih sudah sesuai dengan minat dan bakat atau tidak? Dan apakah sudah sesuai dengan restu orang tua? Jangan sampai kalian tidak melakukan daftar ulang ketika kalian sebagai calon mahasiswa memilih universitas dan jurusan tidak sesuai minat tetapi lolos pilihan tersebut. Sebab dari sekian ratusan ribu yang mendaftar, di antara mereka pasti ada yang menginginkan jurusan tersebut. Jangan sampai Anda termakan keegoisan demi sekedar lolos SNBT supaya dianggap keren.

Terkadang fenomena seperti ini terbentuk ketika masyarakat sudah berani melabeli orang yang lolos kuliah jalur A atau B dan dianggap keren, tetapi mereka yang lolos jalur C dianggap bodoh. Sudah seharusnya semua pihak mulai mengevaluasi tentang kekurangan sistem ini. Semua rakyat Indonesia memiliki kesempatan yang sama untuk mengenyam pendidikan tinggi Indonesia, sebagaimana yang disebutkan dalam Pembukaan UUD NRI 1945.

 

*Kawan-kawan dapat membaca artikel-artikel menarik lain Mahasiswa Bersuara

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//