• Buku
  • Membincangkan Novel Menuai Badai di Toko Buku Pelagia, Kala Fiksi Menjadi Lensa untuk Membaca Luka Sejarah

Membincangkan Novel Menuai Badai di Toko Buku Pelagia, Kala Fiksi Menjadi Lensa untuk Membaca Luka Sejarah

Diskusi bertajuk “Menuai Badai dan Kisah Seorang yang Diseret Masa Lalu” mengupas novel dengan latar tragedi 1965 karya Putu Juli Sastrawan.

Juli Sastrawan sebagai pembicara sekaligus penulis dalam diskusi buku Menuai Badai di Toko Buku Pelagia pada Jumat, 11 Juli 2025. (Foto: Olivia A. Margareth/BandungBergerak)

Penulis Olivia A. Margareth17 Juli 2025


BandungBergerak.id - Aroma kopi yang menguar terasa kontras dengan topik yang dibahas di Toko Buku Pelagia, Bandung, Jumat, 11 Juli 2025. Belasan peserta lintas generasi duduk khusyuk menyimak cerita dari masa lalu yang kelam. Di tengah mereka, Putu Juli Sastrawan, penulis novel Menuai Badai, berbagi kisah di balik karyanya yang berlatar tragedi 1965.

Dalam diskusi bertajuk “Menuai Badai dan Kisah Seorang yang Diseret Masa Lalu”, Juli bercerita bahwa novelnya dipersembahkan untuk kakeknya. Baginya, tragedi 1965 adalah pintu masuk untuk mengenal sejarah keluarganya sendiri.

"Aku punya dua kakek. Satu meninggal saat '65 di Lombok. Satu lagi yang menceritakan padaku apa yang terjadi," ungkap Juli.

Novel ini, menurutnya, akumulasi ingatan-ingatan yang tercecer, sebuah upaya merangkai kembali potongan tekateki dari obrolan samar dengan sang kakek, arsip yang ia temukan, hingga cerita-cerita yang beredar di sekitarnya. "Kakekku adalah salah satu orang yang membuka pintu untuk mengenal apa yang terjadi secara lebih dekat," tambahnya.

Alih-alih menyajikan sebuah laporan historis, Juli memilih jalur fiksi dengan sudut pandang yang berbeda yakni perspektif pelaku. Pilihan ini terinspirasi dari cerita kakeknya tentang seorang warga desa yang menjadi eksekutor dan terus dihantui rasa bersalah hingga akhir hayatnya.

Dengan mengambil sudut pandang ini, Juli tidak bermaksud memberi pembenaran, melainkan menggunakan fiksi untuk "menghumanisasi" rasa bersalah dan trauma yang juga menghantui para pelaku. Tokoh utama dalam novelnya adalah sebuah konstruksi imajinatif untuk mengeksplorasi bagaimana kekerasan meninggalkan luka.

Pilihan medium fiksi pun menjadi krusial. Juli sadar betul bahwa fiksi bukanlah catatan fakta, melainkan ruang untuk berdialektika.

"Aku merasa novel bisa jadi satu agensi untuk membicarakan banyak hal," jelasnya.

Dengan memadukan fakta dari kliping koran Suara Indonesia dengan imajinasi sastra, Juli membangun sebuah dunia yang terasa nyata, namun tetap berfungsi sebagai sebuah interpretasi, bukan kebenaran tunggal.

Melalui narasi fiksinya, Juli tidak menyajikan fakta definitif, melainkan mengajak pembaca untuk merenungkan kemungkinan bahwa tragedi di Bali sering kali dipicu oleh alasan yang jauh lebih personal. Novel ini menyoroti bagaimana stempel "komunis" bisa menjadi senjata untuk melenyapkan lawan dalam konflik sehari-hari.

“Kadang alasan-alasan yang sangat personal. Kayak misal istrinya cantik, jadi untuk mendapatkan istrinya aku bisa cap suaminya tuh PKI,” ujar Juli, menjelaskan inspirasi di balik konflik-konflik dalam novelnya.

Dalam kerangka inilah, novel Menuai Badai berfungsi sebagai sebuah lensa kritis. Ia tidak mengklaim sebagai cermin sejarah, tetapi menawarkan sudut pandang untuk memahami bagaimana kekerasan masa lalu bisa jadi berakar pada perebutan aset dan tanah—isu yang dampaknya masih terasa hingga kini.

"Kita enggak bisa tiba-tiba membicarakan soal tanah dan lingkungan tanpa melihat konteks '65 itu apa yang terjadi, siapa yang punya tanah," kata Juli.

Kekerasan ini membuka jalan bagi perampasan aset dan tanah yang dampaknya terasa hingga kini. Juli menegaskan, banyak isu kontemporer di Bali tidak bisa dilepaskan dari akarnya di tahun 1965. Narasi dalam novel ini seolah menyiratkan bahwa pembungkaman yang dulu dilakukan dengan parang, kini bermetamorfosis menjadi narasi ekonomi yang menuntut semua pihak untuk diam demi menjaga citra "Pulau Dewata".

Fiksi di tangan Juli menjadi alat untuk menggugat kenyamanan itu.

Baca Juga: RESENSI BUKU: Di Balik Tragedi 1965
Membicarakan Kekaburan Sejarah Tragedi 1965 dengan Penyintas, Merawat Ingatan dengan Nobar Film Eksil

Peserta diskusi buku Menuai Badai di Toko Buku Pelagia pada Jumat, 11 Juli 2025. (Foto: Toko Buku Pelagia)
Peserta diskusi buku Menuai Badai di Toko Buku Pelagia pada Jumat, 11 Juli 2025. (Foto: Toko Buku Pelagia)

Melawan Amnesia di Ruang-Ruang Alternatif

Kehadiran ruang diskusi seperti ini, menurut moderator Silvi Tanaga, menjadi krusial. "Yang pertama kita butuhkan untuk membicarakan memori kolektif adalah space-nya dulu, ruang aman untuk bisa berdiskusi secara terbuka tanpa judgement," tegasnya.

Menurut Silvi, medium seperti novel menjadi instrumen penting justru karena sifatnya yang tidak terikat pada kekakuan fakta historis. "Novel itu salah satu instrumen yang baik untuk mengisahkan tentang apa yang selama ini sulit untuk dikisahkan dalam buku-buku sejarah. Kita bisa bermain, spektrumnya itu luas," katanya.

Kekuatan narasi personal, seperti yang diangkat Juli dari kisah keluarganya, menjadi bukti bagaimana fiksi bisa menjadi politis dan membuka gerbang untuk memahami sejarah sebuah bangsa tanpa harus mengklaim sebagai satu-satunya kebenaran.

Juli memilih judul Menuai Badai dari sebuah peribahasa yang sarat makna. Namun, novelnya tidak menawarkan jawaban final, melainkan pertanyaan-pertanyaan penting. Pada akhirnya, Menuai Badai adalah pengingat bahwa fiksi merupakan medium ampuh untuk menjaga sejarah tetap hidup—bukan dengan mendiktekannya, tetapi dengan memicunya untuk terus dibicarakan dan dipertanyakan.

"Siapa yang menabur angin, dia yang menuai badai," tutup Juli.

***

*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//