• Berita
  • Mengulas Buku Pancaroba Nusantara di Perpustakaan Bunga di Tembok: Di Luar Keindahan Konten Media Sosial

Mengulas Buku Pancaroba Nusantara di Perpustakaan Bunga di Tembok: Di Luar Keindahan Konten Media Sosial

Konten media sosial sering kali menunjukkan kekayaan dan keindahan alam. Menyamarkan realitas sosial yang dihadapi warga di sekitar lokasi wisata.

Diskusi buku Pancaroba Nusantara karya Roem Topatimasang dan Ahmad Mahmudi yang digelar Perpustakaan Bunga di Tembok dan Insis, Senin, 7 Juli 2025. (Foto: Akmal Thoriq/BandungBergerak)

Penulis Tim Redaksi17 Juli 2025


BandungBergerak.idKonten-konten wisata alam yang marak di media sosial kerap tampil memukau. Namun, di balik pesona gambar dan narasi yang dibangun, jarang muncul pertanyaan mendasar: apakah pembangunan wisata ini menguntungkan masyarakat lokal? Berapa banyak kampung adat yang terusir akibat proyek tersebut?

Buku Pancaroba Nusantara karya Roem Topatimasang dan Ahmad Mahmudi mencoba menghadirkan pertanyaan-pertanyaan semacam itu ke permukaan, melalui pendekatan etnografi yang bersumber dari pengalaman kerja lapang puluhan tahun.

Buku ini merupakan kumpulan catatan lapangan Roem Topatimasang dan Ahmad Mahmudi yang merekam perubahan sosial dan ekologis dari wilayah-wilayah pedesaan di Indonesia. Daerah-daerah yang mereka teliti umumnya tidak tersorot oleh perhatian publik arus utama.

Roem Topatimasang menjelaskan bahwa buku yang terbit pada Februari lalu ini merupakan hasil dari proses panjang yang berakar dari kebiasaan mereka turun ke lapangan sejak puluhan tahun lalu. “Melihat, terlibat, mendengar satu peristiwa menjadi hal yang sangat penting ketika sedang mengkaji sebuah fenomena sosial-ekologis,” ungkap Roem, di diskusi buku Pancaroba Nusantara, Senin, 7 Juli 2025, yang digelar Perpustakaan Bunga di Tembok dan bekerja sama dengan Insist Pers. Acara ini menghadirkan Roem Topatimasang sebagai salah satu penulis, serta penulis pengantar buku Noer Fauzi Rachman, dan dipandu oleh Maer.

Ia menekankan pentingnya catatan lapang dalam tradisi etnografi. Menurutnya, detail mikro seperti percakapan informal, reaksi spontan warga, atau cara masyarakat lokal merespons kebijakan pembangunan bisa membuka pemahaman terhadap struktur sosial dan dinamika kekuasaan yang lebih luas. Catatan lapang menjadi semacam lensa yang membantu peneliti tidak hanya melihat apa yang tampak, tapi juga memahami apa yang sebenarnya sedang berlangsung di balik permukaan.

Roem juga menyampaikan bahwa semangat yang melahirkan buku ini berangkat dari tradisi mahasiswa pada masa lalu yang aktif dalam kegiatan kemanusiaan dan lingkungan. Berbeda dengan mahasiswa masa kini yang, menurutnya, cenderung lebih individualis dan terburu-buru mengejar SKS. “Mahasiswa sekarang tuh banyak yang terburu-buru dengan sks. Kami justru jarang di kampus, kami seringnya jalan, ke desa-desa,” katanya sambil terkekeh.

Baca Juga: Kerusakan Bumi dalam Perspektif Lintas Agama dan Budaya
Pedagogi Hijau sebagai Kritik Budaya

Diskusi buku Pancaroba Nusantara karya Roem Topatimasang dan Ahmad Mahmudi yang digelar Perpustakaan Bunga di Tembok dan Insis, Senin, 7 Juli 2025. (Foto: Rafi Alfarisy/BandungBergerak)
Diskusi buku Pancaroba Nusantara karya Roem Topatimasang dan Ahmad Mahmudi yang digelar Perpustakaan Bunga di Tembok dan Insis, Senin, 7 Juli 2025. (Foto: Rafi Alfarisy/BandungBergerak)

Noer Fauzi Rachman, akademisi yang menulis pengantar buku Panggilang Beretnografi, menyatakan bahwa Pancaroba Nusantara relevan sebagai rujukan akademik karena berisi catatan lapang jangka panjang yang mengamati detail perubahan sosial dan ekologis suatu wilayah. Ia juga menyoroti bagaimana buku ini menjadi tanggapan terhadap fenomena media sosial saat ini.

Konten-konten media sosial tentang wisata alam sering dikemas menarik, namun mengenyampingkan faktor-faktor humaniora warga di sekitar lokasi wisata alam. Contoh, konten media sosial yang menampilkan keindahan kampung adat, tetapi tidak mengulas problem yang dihadapi masyarakat adat, misalnya kondisi mereka yang yang tergerus pembangunan destinasi wisata tersebut.

Fauzi menilai naskah-naskah dalam buku ini mampu membuka tabir yang selama ini tertutupi oleh keindahan visual di media sosial. Ia mencontohkan salah satu bab berjudul “Bantuan yang Cuma Bikin Repot”, yang menggambarkan bagaimana bantuan yang seharusnya bermanfaat justru membawa dampak sebaliknya. “Bansos terkadang hanya menjadi perpecahan horizontal karena sering salah sasaran atau tidak tepat sasaran,” ungkapnya.

Lewat buku ini, Roem Topatimasang dan Ahmad Mahmudi mengajak pembaca untuk kembali melihat, mendengar, dan memahami apa yang benar-benar terjadi di akar rumput—di luar bingkai indah media sosial dan narasi pembangunan yang seragam.

***

*Reportase ini dikerjakan reporter BandungBergerak Noval Azmi Fakhreza dan Muammar Dafa

*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//