• Opini
  • Pedagogi Hijau sebagai Kritik Budaya

Pedagogi Hijau sebagai Kritik Budaya

Krisis ekologi meluas ke ranah budaya. Solusi untuk masalah ekologi jauh lebih kompleks daripada revitalisasi teknologi yang mekanis.

Wilfridus Demetrius S.

Mahasiswa Program Doktoral Manajemen Pendidikan Universitas Negeri Jakarta/Dosen Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) Bandung.

Ilustrasi sampah plastik. (Ilustrator: Bawana Helga Firmansyah/BandungBergerak.id)

4 Juni 2024


BandungBergerak.id – “Kehilangan masa depan tidaklah sama seperti kalah dalam pemilihan umum atau rugi dalam pasar saham. Saya berada di sini untuk berbicara bagi semua generasi yang akan datang. Saya berada di sini mewakili anak-anak yang kelaparan di seluruh dunia yang tangisannya tidak lagi terdengar. Saya berada di sini untuk berbicara bagi binatang-binatang yang sekarat yang tidak terhitung jumlahnya di seluruh planet ini karena kehilangan habitatnya. Kami tidak boleh tidak didengar. Saya merasa takut untuk berada di bawah sinar matahari karena berlubangnya lapisan OZON. Saya merasa takut untuk bernafas karena saya tidak tahu ada bahan kimia apa yang dibawa oleh udara” (antaranews.com).

Kutipan di atas merupakan penggalan pidato Severn Suzuki yang berbicara mewakili ECO (Enviromental Children Organization) dalam KTT Bumi (Earth Summit) tahun 1992 di Rio De Jeneiro (antaranews.com, 2009). Ungkapan kegelisahan itu kemudian menjadi sangat kuat energinya ketika hasil temuan lembaga riset Ipsos Global yang bekerja sama dengan perusahaan listrik multinasional Prancis (EDF)  menunjukkan, sebanyak 46% responden menganggap perubahan iklim menjadi isu lingkungan yang mendapat perhatian atau sorotan termasuk isu perubahan iklim ekstrim seperti banjir, panas, kekeringan, badai, hingga kebakaran hutan (databoks.katadata.co.id).

Menurut data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), tahun 2023 ada sekitar 19,56 juta ton sampah yang dihasilkan Indonesia. Dari data sampah 96 kabupaten/kota yang tersedia, mayoritas atau 38,3 % berasal dari rumah tangga. Jika dilihat berdasarkan jenis, pada 2023 mayoritas sampah di Indonesia berupa sisa makanan dengan proporsi 41,%. Selain itu, isu eksploitasi dengan mengusung konsep food estate masih menjadi pro dan kontra karena dianggap tidak memberikan dukungan dan perlindungan terhadap ekosistem kehidupan.

Menyikapi rentetan degradasi ekologi, bagaimana kontribusi pedagogi yang relevan untuk mengurangi dampak krisis ekologi? Menurut Sonny Keraf (2014), penyebab utama dari krisis dan bencana lingkungan hidup global adalah kesalahan paradigma berpikir. Opini ini menawarkan sebuah pendekatan paradigma pedagogi melalui pendekatan budaya ekologi dalam ruang lingkup pendidikan.

Baca Juga: Bukan Bunga Rawa saja yang Hancur di Ranca Upas, Kesadaran Lingkungan Turut Tercerabut
Menyuarakan Pencemaran Lingkungan Dikriminalisasi, Kisah Pilu dari Karimun Jawa
Kritik Aktivis Lingkungan terhadap Pengelolaan Pencemaran Sungai Citarum

Pedagogi Hijau

Simon Jorgenson (2011) menawarkan sebuah visi tentang pedagogi hijau (green pedagogy) untuk menjembatani kesenjangan antara tujuan pendidikan transformatif dan pendidikan konvensional. Tawaran kurikulum berbasis ekologi melalui kurikulum merdeka bahkan konsep green research diharapkan dapat menjembatani kesenjangan ini, meredefenisi makna ekologis dan tindakan untuk keberlangsungan ekologis. Harapannya, terjadi penguatan kesadaran yang oleh Fitjrof Capra (1997) menyebutnya sebagai ecoliteracy. Terciptanya masyarakat berkelanjutan yang membangun dan menata hidupnya secara bersama dengan bertumpu pada kesadaran tentang pentingnya lingkungan hidup (Keraf, 2014).

Degradasi ekologi adalah masalah budaya yang membutuhkan solusi budaya. Perlu pendekatan partisipatif kritis melalui budaya dan memahami pengalaman budaya. Pedagogi hijau menyoal pengalaman belajar di luar ruangan untuk membangun kemampuan membentuk makna budaya, membedakan antara sistem nilai dan mengungkapkan makna tersembunyi dari transmisi budaya. Pedagogi hijau berpusat di bumi dan membuka kemungkinan sebagai sebuah kritik budaya. Konkretnya, diperlukan transformasi cara berpikir dan gaya hidup yang melembaga dan habitual untuk masyarakat modern melalui budaya ramah ekologi.

Para pendidik dalam hal ini guru atau pun dosen harus memiliki kekuatan untuk melawan prinsip mekanis yang mengancam keberlanjutan ekologi. Secara pedagogis, proposisi yang lebih radikal dari gerakan hijau perlu ada batasan  alami untuk pertumbuhan ekonomi; bahwa ketidakadilan sosial dan ekologis bercampur; bahwa solusi teknologi untuk masalah sosial-ekologis tidak mencukupi; bahwa biologi menawarkan imperatif moral tentang penggunaan energi; bahwa alam memiliki nilai intrinsik; bahwa kerja manusia adalah mulia; bahwa konsumerisme dan konsumsi berkontribusi pada ketidaknyamanan. Dengan demikian, dialog memberi ruang bagi pendidik dan peserta didik untuk membandingkan pemikiran mekanis dan manifestasi teknis dengan visi masa lalu dan orientasi masyarakat masa depan yang berkelanjutan.

Krisis ekologi meluas ke ranah budaya dan solusi untuk masalah ekologi jauh lebih kompleks daripada revitalisasi teknologi yang ditawarkan oleh pemikiran yang terlalu mekanis. Akar krisis ekologi adalah antroposentrisme, linearitas perubahan, individualisme, dan mekanisme spesifik yang membentuk bahasa, pemikiran, dan pola perilaku orang yang tinggal di tengah kultur yang ‘merusak’. Untuk mengatasi pola pikir seperti ini dan krisis ekologi, dengan tetap menghargai pengetahuan antargenerasi yang hidup dalam komunitas budaya, kita perlu mempertanyakan peran ilmu pengetahuan dan teknologi, mempromosikan pola berpikir dan bertindak adil secara sosial dan ekologis. Peran pendidik sebagai mediator antara pola budaya dan sosialisasi ke generasi berikutnya menjadi penting dalam konteks ini.

Krisis ekologi mengalir dalam makna nilai dasar ideologi dan praktik budaya, termasuk pendidikan. Ide Capra tentang ecoliteracy (melek ekologi) koheren dengan tujuan pedagogi hijau yaitu tercapainya tingkat kesadaran tinggi tentang pentingnya lingkungan hidup yang bersumber pada kearifan alam. Kelahiran kembali budaya adalah manisfestasi transformasi budaya yang lebih luas ke paradigma baru ekologi. Pandangan tentang alam adalah pencarian holistik dari persepsi terintegrasi dengan penekanan pada  interdependensi dan keinginan kuat untuk mengembalikan manusia ke tempat yang intim dengan organisme lain yang membentuk keberlanjutan ekosistem. Dalam arti ini, perspektif ekologi adalah manifestasi dari sebuah dinamika budaya.

Peneliti di bidang pendidikan mulai mengadopsi perspektif ekologi pada berbagai sistem sosial dan budaya. Ekologi dan konsep ekosistem, menjadi cara yang bermanfaat untuk memahami dan mengekspresikan faktor kontekstual, relasional, dan lingkungan yang berkaitan dengan perkembangan manusia, perilaku, dan reformasi pendidikan.  Pedagogi hijau menekankan bagaimana dan mengapa individu berhubungan dengan dunia alam, dan bagaimana kita dapat menyatukan pengalaman dan alam dalam tata kelola pendidikan, tidak menyerah kepada dorongan kekuasaan- tidak kepada ekologi kuantitatif atau kategorisasi dan tidak kepada analisis operasional, namun pada ekosistem kontekstual dalam pengembangan dan pembelajaran. Pedagogi hijau berakar pada pembelajaran kontekstual yang selaras dengan alam. Lembaga pendidikan perlu melakukan revitalisasi ke arah pedagogi hijau agar prinsip-prinsip ekologi dapat diwujudkan di dalam komunitas pendidikan.

Pendidikan Hijau

Pedagogi hijau juga melibatkan kritik terhadap ideologi dan restrukturisasi kehidupan sosial politik. Tanpa menggabungkan nuansa dari kritik yang mendalam, termasuk perhatian bagaimana keyakinan dan praktik yang merusak lingkungan ditransmisikan melalui proses pembelajaran, pendidikan hijau menjadi kosmetik, hanya sekedar menutupi, cepat kering dan memudar. Ideologi hijau juga diharapkan meminimalisir peran teknologi dalam mengeksploitasi kehidupan sosial politik dan mempersempit ruang gerak pendidikan untuk melakukan respons partisipatif terhadap isu-isu sosio-ekologis seperti pemanfaatan teknologi konvensional dan smart technology yang lebih ramah lingkungan (Keraf, 2022).

Kurikulum pendidikan yang didominasi oleh fokus keilmuan STEM (Science, Technology, Engineering, and Mathematics) memungkinkan peserta didik memiliki kompetensi inovator untuk berhasil secara akademis, ekonomi, dan kolektif di tengah dinamika kompetisi global. Salah satu konsekuensinya adalah kekuatan inovasi diarahkan ke penemuan teknologi hijau (green technology) dan pekerjaan hijau (green job). Terlepas dari keterbatasan budaya yang signifikan ini, wacana inovasi hijau menegaskan bahwa masa depan yang berkelanjutan akan melibatkan penciptaan bentuk-bentuk teknik baru, sistem, proses, dan inovasi  disiplin keilmuan.

Salah satu tawaran penguatan karakter peserta didik adalah pendidikan luar ruangan, terlibat di alam terbuka. Pendidik dan peserta didik didorong untuk mampu membangun mindset sebagai alat kritis untuk revitalisasi budaya. Pendidikan hijau mengajak kita untuk kembali ke pedagogi. Pengetahuan digunakan untuk menggali kemungkinan budaya pedagogis yang berbasis progresivisme dan saintisme melalui pengajaran yang berpusat pada peserta didik sebagai subyek dengan mengedepankan prinsip interdependensi, berkelanjutan, kolaborasi jejaring (kemitraan), fleksibilitas dan keragaman, dan keseimbangan siklus.

Lembaga pendidikan diharapkan tidak hanya berhenti mendidik orang dengan cara yang mengasingkan mereka dari alam dan mempersiapkan mereka untuk posisi yang tidak ada di masyarakat.  Kultur lembaga pendidikan di seluruh dunia berbeda, jadi sangat penting bagi para ilmuwan yang bermitra dengan pendidik, peserta didik, dan masyarakat lokal untuk secara eksplisit berbagi motivasi dan harapan dengan membentuk kelompok kolaboratif. Jika para ilmuwan berkomitmen untuk berkolaborasi dengan anggota masyarakat, seperti pendidik dan peserta didik, mereka berhutang kepada semua yang terlibat untuk menciptakan dan mempromosikan relasi yang kemudian mengambil alih persoalan lingkungan menjadi tanggung jawab yang berkelanjutan, di samping berpotensi membentuk kemitraan baru (Cicchino, et.al, 2023).

Lembaga pendidikan bertugas mentransmisikan nilai-nilai tradisional dari satu generasi ke generasi lain atau mengajarkan bagaimana relasi sama lain dan menghargai nilai yang tersedia dalam konteks budaya (Jobb, 2004). Meskipun mungkin sulit untuk membuktikan bahwa desain berkelanjutan meningkatkan pembelajaran, pedagogi hijau juga menawarkan manfaat yang lebih nyata. Elemen pedagogi hijau berfungsi ganda sebagai alat pengajaran - baik untuk disiplin tradisional maupun untuk membantu peserta didik belajar tentang pengelolaan lingkungan.

*Kawan-kawan dapat membaca artikel-artikel lain tentang lingkungan

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//