Dukungan Publik Mengalir untuk Neni Nur Hayati usai Foto Pribadinya Dipajang Pemprov Jabar
Aktivis demokrasi Neni Nur Hayati mengalami perundungan digital setelah mengkritik kebijakan soal buzzer oleh kepala daerah di Indonesia. Mendapat respons dari KDM.
Penulis Yopi Muharam19 Juli 2025
BandungBergerak.id - Aktivis demokrasi Neni Nur Hayati mendapat serangan digital setelah mengunggah video lewat TikTok pada 5 Mei 2025 mengenai bahaya penggunaan buzzer (pendengung) oleh pemerintah daerah yang terpilih pada Pemilihan Umum Serentak 2024. Dalam video dia sama sekali tidak menyebut Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi (KDM). Namun, kritik ini mendapat respons serius dari akun-akun media sosial resmi di bawah Pemprov Jabar.
Foto pribadi Direktur Democracy and Election Empowerment Partnership (DEEP) Indonesia muncul di akun-akun media sosial yang dikelola Pemerintah Provinsi Jawa Barat, di antaranya Diskominfo Jabar, jabarprovgoid, humas_jabar, dan jabarsaberhoaks pada 16 Juli 2025.
Salah satu akun resmi Pemprov Jabar di Instagram Diskominfo Jabar menampilkan video penjelasan KDM disertai narasi yang menyatakan tidak ada anggaran khususnya belanja media yang digunakan untuk membayar buzzer. Konten tersebut juga menampilkan foto Neni, tanpa sepengetahuan dan persetujuan sebelumnya dari serangan terhadap kebebasan sipil dan semakin menegaskan kemunduran serius dalam iklim kebebasan berekspresi di Indonesia. pemilik foto.
Menanggapi serangan digital tersebut, Direktur Eksekutif Amnesty International Usman Hamid mengatakan bahwa apa yang dialami Neni adalah
“Kritik yang sah dibalas dengan serangan adalah suatu bentuk pelanggaran terhadap kebebasan menyatakan pendapat dan berekspresi di Indonesia. Ini harus segera dihentikan,” kata Usman Hamid, dalam keterangan resmi, diakses Sabtu, 19 Juli 2025.
Usman meminta aparat penegak hukum di Indonesia proaktif mengusut serangan digital ini. Menurutnya, jika ruang berekspresi terus dibungkam, maka Indonesia akan terus mundur ke zaman gelap otoritarianisme yang seharusnya telah lama ditinggalkan.
“Negara seharusnya hadir untuk melindungi, bukan membiarkan — apalagi berperan dalam — pembungkaman suara-suara kritis yang sah dari warga negara,” tegasnya.
Ia mengingatkan, perlindungan hak atas kebebasan berekspresi yang diatur di Pasal 19 ICCPR berlaku untuk segala jenis informasi dan gagasan termasuk informasi dan gagasan yang dianggap mengejutkan, menyerang, atau mengganggu, terlepas dari apakah konten informasi atau gagasan tersebut benar atau salah.
Kepada Amnesty International, Neni Nur Hayati menceritakan bahwa selama tiga hari terakhir, 15-17 Juli 2025, ia mendapatkan serangan serius berupa doxing, ujaran kebencian, hingga peretasan melalui akun digital instagram @neni1783 dan akun tiktok @neninurhayati36 yang tidak ada hentinya. Akun WhatsApp tidak dapat diakses sehingga tidak dapat membalas pesan.
Serangan bermula setelah ia mengunggah konten yang ditujukan untuk seluruh kepala daerah yang terpilih pada Pemilihan Umum Serentak 2024 terkait penggunaan anggaran untuk membiayai pendengung oleh pemerintah daerah. Di video ini ia tidak menyinggung-nyinggung nama personal. Namun, Neni menyadari memang dalam beberapa konten video yang lain di mana ia mengkritik kebijakan KDM, tetapi ada juga video yang berisi apresiasinya terhadap mantan Bupati Purwakarta.
Dalam video klarifikasinya, Dedi Mulyadi membantah kritik Neni. KDM—begitu ia dikenal, menyebut tidak ada dana untuk belanja iklan media yang dialihkan untuk membiayai buzzer dan pemolesan citra dirinya. Dia menantang untuk mengecek Dinas Informasi dan Komunikasi Pemprov Jawa Barat terkait anggaran tersebut.
“Datanya terbuka kok, tinggal diambil saja. Silakan datangi Dinas Informasi Komunikasi, menanyakan anggarannya (untuk bayar buzzer),” ungkap Dedi Mulyadi, di akun media sosial resmi, dengan latar belakang sawah dan memajang foto Neni.
Akun Media Sosial Resmi Pemprov Jabar Membuka Ruang Perundungan
Heri Pramono, Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandung menyebut Pemprov Jabar menyikapi kritik warganet atau masyarakat, seperti Neni, dengan lebih bijak ketimbang memajang foto di akun-akun resmi mereka.
“Lebih baik (fokus) pada evaluasi dan reflektif terhadap kinerja. Bukan direspons secara populis melalui media sosial,” kata Heri Pramono, dihubungi BandungBergerak, Jumat, 18 Juli 2025.
Menurut Heri, unggahan foto Neni di akun resmi Pemprov Jabar malah memberi ruang pada warganet yang pro terhadap Dedi Mulyadi untuk melakukan perundungan, ujaran kebencian, dan pencemaran nama baik.
Heri mengingatkan, setiap data pribadi, seperti foto, dilindungi Undang-Undang nomor 27 tahun 2022 tentang Pelindungan Data Pribadi (Pasal 67 ayat (1) dan (2)). Ketentuan Pasal 67 ayat (1) menerangkan bahwa orang yang dengan sengaja dan melawan hukum memperoleh atau mengumpulkan data pribadi yang bukan miliknya dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain yang dapat mengakibatkan kerugian subjek data pribadi dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan/atau pidana denda paling banyak 5 miliar rupiah.
Pasal 67 ayat (2) UU PDP menerangkan bahwa setiap orang yang dengan sengaja dan melawan hukum mengungkapkan data pribadi yang bukan miliknya dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 tahun dan/atau pidana denda paling banyak 4 miliar rupiah.
“Tidak sepatutnya akun resmi pemerintah apalagi Dinas Komunikasi dan kehumasan memposting konten yang justru memperparah perundungan,” ujarnya.
Perundungan digital yang dialami Neni mencerminkan bahwa ruang-ruang demokrasi khususnya di ranah digital semakin menyempit. Heri mengatakan, tindakan penguasa populis yang antikritik semakin melemahkan perlindungan terhadap kebebasan berpendapat dan berekspresi.
“Tentunya berbahaya (tindakan pembocoran data pribadi), mengingat beberapa kegiatan orang saat ini didominasi dengan komunikasi melalui dimensi digital,” tutur Heri.
Dibiayai APBD/APBN
Senada, Iqbal Tawakal Lauziardi, Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bandung menyatakan saat ini iklim demokrasi di Indonesia terus menyempit. “Dalam arti ketika konteksnya kasus Ibu Neni dan itu langsung dilawan oleh akun-akun resmi dari pemerintah provinsi Jawa Barat,” ujar Iqbal, dihubungi BandungBergerak, Jumat, 18 Juli 2025.
Tindakan akun resmi Diskominfo yang menayangkan Dedi Mulayadi yang bukan sekadar klarifikasi. Sebab di konten tersebut ditayangkan foto Neni tanpa konteks yang jelas.
“Menurut kami ada upaya untuk melempar kepada publik yang terutama pro-Dedi Mulyadi agar mengetahui ini siapa yang mengeluarkan narasi tersebut,” tuturnya.
Iqbal menyesalkan langkah yang dilakukan akun resmi Pemprov Jabar yang menghambat kebebasan berekspresi masyarakat. “Ini kan menjadi sesuatu yang meresahkan. Di mana akun-akun resmi pemerintah provinsi Jawa Barat yang dibiayai oleh APBN malah melakukan hal yang menghambat orang berkespresi,” lanjutnya.
Hal serupa disampaikan Wakca Balaka, forum advokasi keterbukaan informasi yang terdiri dari organisasi masyarakat sipil Kalyana Mandiria, AJI Bandung, LBH Bandung, Walhi Jawa Barat, Perkumpulan Inisiatif. Wakca Balaka menilai, pencatutan foto pribadi Neni di akun media sosial resmi
Pemprov Jabar justru memberikan ruang perundungan.
“Tidak sepatutnya akun resmi pemerintah apalagi Dinas Komunikasi dan kehumasan memposting konten yang justru memperparah perundungan terhadap Neni dan mengabaikan prinsip-prinsip perlindungan data pribadi,” kata pernyataan resmi Wakca Balaka.
Tindakan yang dilakukan akun-akun resmi Pemprov Jabar yang merupakan badan publik dianggap telah mengkerdilkan prinsip-prinsip kebebasan berpendapat dan berekspresi warga.
Wakca Balaka menyatakan sikapnya, yakni mengecam Pemprov Jawa Barat yang mengunggah foto tanpa izin pada akun resmi; Pemerintah Provinsi Jawa Barat dituntut menyatakan permohonan maaf secara terbuka kepada korban, Neni Nur Hayati; meminta Gubernur Jawa Barat untuk mengevaluasi kinerja aparatur sipil negara di bawahnya, khususnya Dinas Komunikasi dan Informatika Provinsi Jawa Barat; Mendesak Gubernur Jawa Barat memberikan sanksi tegas kepada badan publik yang melakukan tindakan-tindakan di atas sejalan dengan UU Perlindungan Data Pribadi.
Baca Juga: Mengkritik Politisi Populer di Indonesia, antara Fanatisme dan Demokrasi
Bagaimana Pemerintah Hari ini Mengabaikan Kita dan Kritik Menjadi Satu-satunya Jalan?
Kriminalisasi Aktivis
Kasus yang menimpa Neni Nur Hayati menambah catatan pelanggaran kebebasan di ruang digital. Dalam laporan Pemantauan Hak-Hak Digital Januari-Maret 2025 oleh South Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet), terdapat 34 kasus pelanggaran kebebasan berekspresi daring dengan 32 orang korban. Mayoritas kasus kriminalisasi menggunakan Pasal 27A UU ITE dan menyasar warganet biasa.
Presentase terkait isu keamanan digital terjadi lonjakan signifikan yang menyasar aktivis sebesar 60 persen dengan 137 kasus serangan yang didokumentasikan. Angka ini meningkat dua kali lipat dibandingkan periode yang sama pada 2024.
Sementara itu, Amensty International Indonesia mencatat dari Januari hingga Desember 2024, ada 13 pelanggaran kebebasan berekspresi dengan 15 korban yang dituduh melanggar UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Hingga memasuki tahun 2025, kriminalisasi terus terjadi, kendati telah ada aturan hukum yang melindungi warga yang ingin berpartisipasi (Anti-SLAPP).
***
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB