Mengkritik Politisi Populer di Indonesia, antara Fanatisme dan Demokrasi
Kritik terhadap tokoh favorit mudah dianggap sebagai serangan langsung terhadap kelompok atau komunitas yang mendukungnya.

Eko Ramdani
Seorang karyawan swasta yang peduli terhadap kebijakan politik dan nalar masyarakat
27 Mei 2025
BandungBergerak.id – Secara teori, Indonesia dikenal sebagai negara demokrasi. Namun dalam kenyataannya, memberikan kritik terhadap politisi populer kerap terasa seperti melawan kepercayaan yang sudah mengakar kuat. Alih-alih membuka ruang diskusi yang sehat, kritik justru sering kali ditanggapi dengan serangan balik, pembelaan tanpa dasar, bahkan label negatif.
Mengapa hal ini bisa terjadi?
Politik Indonesia masih cenderung didominasi oleh budaya patrimonial, di mana figur tokoh lebih diutamakan daripada gagasan. Popularitas sering kali mengesampingkan substansi. Ketika seorang tokoh tampil karismatik dan dianggap dekat dengan masyarakat, dukungan tanpa syarat pun muncul. Kritik terhadap tokoh semacam itu dianggap sebagai serangan pribadi, bukan sebagai bentuk evaluasi terhadap kebijakan.
Plato pernah mengatakan, "Those who tell the stories also rule society." Ketika seorang tokoh mampu menguasai narasi, kebenaran pun menjadi relatif: bukan soal apa yang disampaikan, tetapi siapa yang menyampaikan.
Baca Juga: Bangsa ini Lahir dari Kritik, Kenapa Kita Sekarang Hendak Menumpasnya?
Kriminalisasi terhadap Partisipasi Publik, Cara Negara Menjegal Kritik
Kekuasaan dan Kecabulan
Fanatisme di Media Sosial
Media sosial memperkuat fenomena polarisasi ini. Algoritma yang ada cenderung membawa pengguna ke dalam "echo chamber", di mana mereka hanya mendengar apa yang sesuai dengan pandangan mereka. Di tengah situasi ini, kritik terhadap tokoh favorit mudah dianggap sebagai serangan langsung terhadap kelompok atau komunitas yang mendukungnya.
Semakin seorang tokoh dianggap "bersih" dan "peduli", semakin sulit menyampaikan kritik terhadapnya. Kesan kebaikan pribadi seolah membuatnya kebal dari evaluasi. Situasi ini sebenarnya cukup berbahaya. Voltaire pernah menyindir dalam bukunya : Candide (1759), "To learn who rules over you, simply find out who you are not allowed to criticize." Ketika kritik tidak dapat diarahkan kepada seseorang, itu bukan lagi demokrasi, melainkan pengkultusan individu.
Ketika fanatisme menghalangi kritik, demokrasi yang tersisa hanyalah tampak luar –meriah di permukaan, tetapi hampa di dalam. Politisi tidak lagi merasa perlu bertanggung jawab kepada rakyat karena loyalitas emosional lebih diutamakan daripada akuntabilitas.
Kita perlu kemampuan untuk berpikir seacara mandiri, mengkritik tokoh publik bukanlah tindakan kebencian, melainkan wujud kepedulian. Demokrasi yang sehat membutuhkan publik yang rasional dan berpikir kritis, bukan sekadar pengikut yang membela tanpa dasar. Kagum boleh, tapi jangan sampai mengabaikan akal sehat.
*Kawan-kawan dapat membaca artikel-artikel menarik lainnya tentang politik