Kekuasaan dan Kecabulan
Apa dasar kekuasaan takut terhadap meme yang dibuat seorang mahasiswi ITB hingga kemudian ia harus ditersangkakan?

Irfan Fauzan
Masyarakat Sipil
18 Mei 2025
BandungBergerak.id – “What holds power together is not only some ideological grandeur but also the obscene jokes, the shared humiliations, the petty rituals of degradation.” Kutipan yang datang dari buku The Plague of Fantasies (1997) ini merangkum dengan tepat tesis Slavoj Žižek yang menjadi dasar esai ini: bahwa kekuasaan berjalan bukan meskipun obscene (cabul), melainkan berjalan karena kecabulan itu sendiri. Kekuasaan tidak hanya bertumpu pada citra wibawa dan kemurnian moral, tetapi juga diam-diam menyandarkan dirinya pada elemen-elemen obscenity (kecabulan) yang dilembagakan, dilegitimasi, dan dinormalisasi di dalam praktik kesehariannya. Apa yang selama ini dikira sebagai penyimpangan, pada kenyataannya adalah bagian inheren yang menopang struktur kekuasaan itu sendiri.
Žižek menjelaskan bahwa dalam rezim-rezim totalitarian seperti Stalinisme, kekuasaan justru ditopang oleh relasi kecabulan yang brutal, kasar, dan vulgar. Ia menegaskan: “The obscene underside is not a distortion of the public Law; it is its inherent supplement" (Žižek, 1997: p. 128). Ini merujuk pada budaya kekerasan verbal dan penghinaan sistematis yang dilembagakan dalam birokrasi Stalinis. Dalam catatan Sebag Montefiore, Stalin: The Court of the Red Tsar (2003), Stalin dikenal sering memanggil bawahannya dengan hinaan seperti “anak pelacur”, "bocah banci pengecut", "anjing busuk", dan sebagainya –bukan sebagai penyimpangan personal, tetapi sebagai mekanisme kekuasaan untuk menjaga dominasi dan ketundukan. Kecabulan menjadi bahasa sehari-hari dari otoritas: sebuah mekanisme yang mempermalukan sekaligus menegaskan superioritas tak tersentuhnya.
Hal serupa juga tampak dalam struktur militer. Dalam Violence (2008), Žižek menyebutkan bagaimana pelecehan verbal dan kekerasan fisik di dalam pelatihan militer bukanlah bentuk pelanggaran kode etik, melainkan ritual simbolik yang justru memproduksi solidaritas internal. Elemen-elemen kecabulan dan kekerasan ini menjadi perekat ideologis dan emosional di antara para anggota militer, yang tidak bisa digantikan hanya oleh hukum formal atau hierarki komando. Kekuasaan militer menampakkan wajah maskulin, disipliner, dan terhormat di ruang publik, tetapi menopang dirinya lewat kekerasan, hinaan, dan pelecehan yang dijalankan secara struktural dan sistemik. Dengan kata lain, kekuasaan berfungsi persis karena adanya kecabulan di dalamnya.
Namun penting ditekankan bahwa yang dimaksud kecabulan di sini bukan sekadar dalam pengertian seksual, melainkan elemen-elemen laten, brutal, dan vulgar dari kekuasaan yang justru menjadi fondasi tak terlihat dari tatanan simbolik resmi.
Dalam kerangka ini, kecabulan dalam tubuh kekuasaan bukanlah ekses, melainkan, sebut saja, software tersembunyi. Kekuasaan Stalin bekerja tidak hanya melalui rasa takut akan hukuman, tapi juga lewat pelecehan yang melampaui batas-batas etika normatif yang ia junjung di depan publik. Obscene supplement ini, yakni vulgaritas dan pelecehan personal, adalah justru yang mengikat aparat negara kepada figur utama kediktatoran; menjadi sebuah conditio sine qua non dari struktur totalitarianisme itu sendiri.
Struktur semacam ini bukan hanya ada dalam semesta Stalin semata. Di era Orde Baru, kecabulan hadir sebagai dalih ideologi yang menyamar sebagai moralitas. Propaganda terhadap perempuan komunis, sebagaimana dengan terang ditunjukkan lewat film propaganda murahan, Pengkhianatan G30S/PKI, secara simbolik menggambarkan perempuan anggota Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia) sebagai perempuan liar, cabul, haus seks, dan kehilangan rasa malu sebagai perempuan “timur.” Dalam satu adegan, mereka digambarkan menari-nari dengan telanjang di sekitar jendral yang mereka culik. Bahkan, beredar kabar bahwa mereka memotong penis-penis jenderal itu sebagai bagian dari penyiksaan –yang jelas tidak terbukti (Lihat: Saskia Wieringa - Sexual Politics in Indonesia, 2002).
Singkatnya, mereka bukan hanya diposisikan sebagai musuh politik, tetapi juga ancaman terhadap “norma” sosial. Segala lelucon kosmik propaganda ini tak hanya menjadikan kekerasan terhadap mereka dapat dibenarkan, tetapi juga membentuk fondasi moralitas Orde Baru: bahwa kekuasaan militer Orde Baru dibutuhkan sebagai "penjaga moral", sedangkan perempuan-perempuan "nakal" yang dikaitkan dengan komunisme adalah yang merusaknya.
Baca Juga: Kita Membutuhkan Lebih Banyak Humor untuk Meredakan Polarisasi Politik
Omong Kosong Politik Bisa Jadi Lebih Berbahaya daripada Kebohongan
Politik Baperan: Personalisasi Politik dan Warisan Feodalisme
Kekuasaan dan Meme
Di sinilah absurditas kekuasaan: ia memerlukan kecabulan untuk menegaskan kesuciannya. Tanpa musuh yang cabul, kekuasaan tidak punya alasan untuk mengklaim dirinya bermoral. Ini adalah bentuk klasik dari fantasmatic structure dalam psikoanalisis Lacanian: kekuasaan menciptakan citra musuh yang cabul agar ia sendiri bisa tampak suci.
Absurditas inilah yang bagi saya menjelaskan apa dasar kekuasaan takut terhadap meme yang sama sekali tidak memiliki nilai artistik yang dibuat oleh seorang mahasiswi Institusi Teknologi Bandung sehingga kemudian ia harus ditersangkakan. Meme yang sempat ramai di X ini memuat gambar yang memperlihatkan "dua matahari kembar", yakni Presiden Prabowo Subianto dan mantan Presiden Joko Widodo, berciuman mesra. Di luar segala perdebatan apakah boleh mengkritik pejabat publik dengan cara semacam ini, bagi saya, kita mesti membaca kasus ini dengan cara sebagai berikut. Apa yang terjadi di sini bukan semata-mata perkara “melanggar norma kesusilaan”, sebagaimana alasan hukum yang digunakan, yang membuat karya itu berbahaya bukan karena ketaksenonohannya, melainkan karena ia membocorkan sesuatu yang semestinya tetap ditutupi dari mata publik: bahwa kekuasaan, di dalam dirinya sendiri, tidaklah luhur, tidaklan maskulin, tidaklah sakral –melainkan cabul, vulgar, dan mesti kita tertawakan. Kekuasaan, yang ditampilkan sebagai entitas luhur, bermartabat, dan tak tercela, justru akan goyah ketika lapisan kecabulannya yang tersembunyi di dalamnya tersingkap di ruang publik.
Sebagai penggambaran, mari kita kembali ke Stalin. Bayangkan Anda sedang rapat di Komite Sentral Politbiro, lalu Stalin melecehkan Anda secara verbal di depan semua orang. Tanpa diduga, ada satu orang berdiri lalu mengkritik Stalin atas perbuatannya. Namun tanpa diduga lagi, ada satu orang lain yang berdiri lagi lalu mengatakan kepada orang yang mengkritik Stalin: "Di Uni Soviet, tak boleh ada yang mengkritik Stalin!" Kira-kira, siapa yang akan lebih dulu hilang di besok pagi? Bukan orang pertama yang mengkritik Stalin, melainkan orang kedua yang secara terang-terangan menelanjangi bahwa Stalin di dalam dirinya anti-kritik. Karena dengan begitu, sekaligus menelanjangi bahwa kesakralan kekuasaan Stalin adalah palsu.
Inilah yang terjadi dalam kasus meme mahasiswi ITB itu. Meme itu tidak radikal dalam pengertian ia " agenda makar", "seruan kudeta", atau yang semacamnya. Meme itu sekadar menunjukkan segala alasan moral yang selama ini membentengi kekuasaan dari kritik –bahwa yang berada di kekuasaan adalah seorang yang bermartabat, luhur, sakral, dan sebagainya– adalah palsu. Meme itu secara persis menunjukkan bahwa tak ada yang bermartabat, luhur, dan sakral, di dalam diri kekuasaan. Mereka semua pada dasarnya cabul, vulgar, dan busuk di dalam dirinya sendiri. Dan inilah yang selama ini mereka sembunyikan dari kita. Secara teoritis, meme itu adalah sebentuk traversing the fantasy ala Žižek –menerobos fantasi moral kekuasaan dan menunjukkan realitas kotornya. Dalam Lacanian theory, fantasy bukan sekadar khayalan, tapi struktur yang menopang realitas subjektif: kerangka fiktif yang kita butuhkan agar realitas bisa “dihidupi”. Maka, menembus fantasi –traversing the fantasy– berarti menyentuh realitas secara telanjang, sebagaimana dilakukan meme itu.
Kita bisa menambahkan ilustrasi dari fenomena akun anonim "fufufafa" yang diduga milik Wakil Presiden Gibran Rakabuming. Akun tersebut dikenal karena cuitan-cuitan vulgar dan menyerang lawan politik secara kasar. Pembuktian siapa identitas sesungguhnya dibalik akun ini tidaklah sepenting fakta bahwa kekuasaan yang di ruang publik tampil bermartabat, ternyata tidak bisa dilepaskan dari sisi kecabulan yang diaktifkan secara diam-diam. Akun fufufafa adalah sebuah pembuktian bahwa kekuasaan tidak bisa bertahan tanpa lapisan kecabulan yang bekerja di belakang layar.
Apa Tawaran yang Bisa Diberikan?
Tawaran saya adalah ini. Saatnya kita membalik struktur wacana yang selama ini menghegemoni kita. Selama ini, kelompok kiri, progresif, oposisi atau apa pun sebutannya, sering kali distigmatisasi sebagai pihak yang cabul, tak bermoral, menyimpang. Tetapi bila kita bongkar cara kerja kekuasaan secara historis maupun aktual, terlihat jelas bahwa justru kekuasaanlah yang menyandarkan dirinya pada kecabulan. Maka posisi politik yang perlu diambil adalah reposisi etika: bahwa kamilah –kelompok kiri, progresif, oposisi– yang memegang nilai-nilai umum, kesusilaan, dan keberadaban. Dan merekalah yang berada dalam kekuasaan yang sesungguhnya cabul, vulgar, dan menyimpang. Bukan karena kami suci, melainkan kami sepenuhnya sadar bahwa kecabulan sesungguhnya adalah cara kerja di dalam kekuasaan.
Inilah pertaruhan politis yang harus diambil: bukan mengkritik dengan mengikuti standar moral yang sejak awal diciptakan untuk melanggengkan kekuasaan, tetapi menelanjangi bahwa pada dasarnya moralitas yang selama ini dipegang kekuasaan itu palsu. Bahwa di balik wajah bersih dan berwibawa, mensyaratkan kekotoran agar sistem kekuasaan berjalan. Tugas kita hari ini adalah meruntuhkan apa yang dianggap bermartabat dalam diri kekuasaan dengan cara menertawakannya tanpa rasa bersalah. Dan karena itu, bongkarlah moralitas palsu kekuasaan itu dengan mengatakan apa yang dikatakan Groucho Marx dalam film Duck Soup (1933): "He may talk like an idiot, look like an idiot, but dont let that fool you—he really is an idiot". Dalam perkataan yang lain, kekuasaan mungkin berbicara seperti orang tolol, terlihat seperti orang tolol, tapi jangan sampai itu menipu kita—karena kekuasaan memanglah tolol!
*Kawan-kawan dapat membaca artikel-artikel menarik lainnya tentang politik