• Opini
  • Omong Kosong Politik Bisa Jadi Lebih Berbahaya daripada Kebohongan

Omong Kosong Politik Bisa Jadi Lebih Berbahaya daripada Kebohongan

Fakta dalam dunia politik yang didominasi oleh omong kosong sering kali dipelintir sedemikian rupa sehingga publik tak lagi bisa membedakan antara fakta dan fiksi.

Muhammad Andi Firmansyah

Mahasiswa Ilmu Politik Universitas Padjadjaran (Unpad)

Kumpulan baliho kampanye di perempatan Jalan Sukajadi, Bandung, Rabu (31/5/2023). (Foto: Virliya Putricantika/BandungBergerak.id)

15 November 2023


BandungBergerak.id – Dalam esainya “Truth and Politics” (1967), Hannah Arendt mungkin benar saat mengatakan bahwa “… kebenaran dan politik punya hubungan yang tak baik satu sama lain, dan tak ada seorang pun… yang pernah menganggap kejujuran sebagai salah satu kebajikan politik.” Ini karena, secara umum, kebenaran agak membosankan. Kebenaran hanya ada di sana, suatu gumpalan abu-abu yang ukurannya tak tentu, familier tapi susah dimengerti.

Sementara itu, politik penuh dengan orang-orang yang menyukai hal-hal bombastis.

Kebenaran biasanya hanya bisa diungkapkan melalui satu, dua cara. Ketidakbenaran, dan ini yang membuatnya menarik, memiliki cara pengungkapan yang hampir tak terbatas. Dengan berbohong, selain lebih luwes, seorang agen politik dapat memaksimalkan keuntungan atau meminimalkan biaya mereka dalam mencapai tujuannya yang beragam. Namun, atas semua perhatian terhadapnya, kebohongan yang terang-terangan relatif jarang terjadi.

Apa yang tampaknya perlu kita perhatikan lebih di zaman kita adalah menjamurnya omong kosong politik. Meskipun kerap disamakan dalam bahasa sehari-hari, kebohongan sangatlah berbeda dengan omong kosong. Di sini saya akan menjelaskan perbedaan inti dari keduanya dan mengapa, dalam banyak hal, omong kosong bisa lebih berbahaya daripada kebohongan. Terakhir, saya menawarkan satire sebagai cara efektif untuk mengekspos omong kosong.

Baca Juga: Saatnya Masalah Kematian Ibu menjadi Prioritas Politik (Lagi)
Di Balik Tawa Pahit Humor Politik
Kita Membutuhkan Lebih Banyak Humor untuk Meredakan Polarisasi Politik

Perbedaan Omong Kosong dan Kebohongan

Omong kosong (bullshit), kendati terkesan seperti istilah nyeleneh, sebenarnya merupakan istilah akademis yang memiliki definisi ilmiah. Filsuf Harry Frankfurt, lewat esai nyentriknya “On Bullshit” (1986), adalah orang pertama yang mendedikasikan waktu secara serius untuk mendefinisikan omong kosong. Menurutnya, omong kosong tak sama dengan kebohongan. Keduanya salah menggambarkan kebenaran, tapi memiliki maksud yang sangat berbeda.

Pembohong mengetahui kebenaran, hanya saja menyembunyikannya dari orang lain. Dilihat dari sisi ini, seorang pembohong sebenarnya amat peduli terhadap kebenaran, untuk alasan yang sama seorang pelayar peduli tentang gunung es. Mereka perlu mengetahui letak fakta, sehingga mereka dapat mengambil tindakan pasti untuk menghindarinya. Orang jujur tahu dan menerima kebenaran, sedangkan pembohong tahu tapi menolak kebenaran.

Sebaliknya, orang yang melontarkan omong kosong, atau disebut pembual, sama sekali tak peduli dengan kebenaran. Bagi mereka, kebenaran bukanlah sesuatu yang relevan; mereka bahagia untuk mengambilnya atau mengabaikannya. Seperti dijelaskan Frankfurt: “Pembual tak menolak otoritas kebenaran, sebagaimana pembohong, dan menentang dirinya sendiri terhadap kebenaran. Mereka sama sekali tak menaruh perhatian terhadapnya.”

Ini berarti, pembual bodo amat apakah hal-hal yang dikatakannya sesuai dengan kebenaran yang ada. Mereka hanya memilih (terkadang mengarang) cerita agar sejalan dengan tujuan mereka. Bagi pembohong, ditemukannya fakta bisa menjadi sesuatu yang mematikan. Bagi pembual, jika ucapannya terbukti bertentangan dengan kenyataan, mereka dengan senang hati akan mengarang cerita lainnya.

Perhatikan betapa mudah dan mengerikannya pengelakan seperti itu.

Pada 20 Januari 2017, hanya beberapa jam setelah Donald Trump dilantik sebagai presiden AS, juru bicara Gedung Putih, Sean Spicer, mengatakan pada pers bahwa pelantikan Trump adalah pelantikan presiden terbesar dalam sejarah. Klaim ini begitu menyeramkan sehingga penasihat Trump Kellyanne Conway membela koleganya bahwa itu bukan kebohongan, tapi “fakta alternatif”.

Itulah keindahan omong kosong: ini merupakan tongkat ajaib untuk membuat semua orang bingung. Karena omong kosong tak berada di sepanjang sumbu kebenaran atau kebohongan tradisional, pembual dapat dengan mudah melawan klaim bahwa mereka berbohong lewat penerapan lapisan omong kosong yang lebih jauh. Ini adalah dunia magis di mana kata-kata, seperti diungkapkan Lewis Carroll, memiliki arti sesuai dengan apa yang kita pilih.

Omong kosong beroperasi dalam logika mimpi, bahagia membajak segala hal yang kelihatan saling bertentangan. Pembual hanya berfokus untuk memajukan agenda mereka sendiri. Ini bukanlah permainan benar dan salah; ini adalah permainan politik. Hasilnya, dampak omong kosong dan kebohongan teramat berbeda. Kebohongan adalah sebuah pisau bedah; omong kosong adalah sebuah buldoser.

Omong Kosong Politik Sering Kali Lebih Berbahaya daripada Kebohongan

Mengapa politisi suka memberitakan omong kosong? Pada dasarnya, politisi sering bergulat dengan isu-isu kompleks di mana fakta-fakta sulit dipastikan. Dengan begitu, guna mengejar kebenaran, mereka harus mencurahkan waktu dan tenaga yang signifikan. Upaya seperti ini dianggap terlalu mahal, mengingat waktu sebanyak itu bisa digunakan buat hal-hal lain yang lebih berharga.

Dengan membual, seorang politisi cukup mengatakan apa yang ingin didengar oleh pemilih. Bebas dari komitmen untuk memberitakan kebenaran, mereka dapat berbicara sesuka hati, menampilkan kepura-puraan yang membuat mereka terlihat menarik bagi pemilih. Dengan cara ini pula mereka dapat menyelamatkan muka saat ditanyai pertanyaan-pertanyaan sulit, berbicara seolah-olah ahli dalam hal-hal rumit yang sebenarnya tak mereka mengerti.

Itulah mengapa Harry Frankfurt mengakui bahwa omong kosong merupakan sumber bahaya yang luar biasa, terutama dalam politik. Kebohongan jelas berbahaya, tapi dalam banyak hal omong kosong lebih berbahaya lagi. Ketika seseorang kurang menghargai kebenaran dalam hal-hal yang relatif tak penting dalam kehidupan pribadinya, konsekuensinya cukup sepele. Namun dalam politik, masalah omong kosong adalah tragedi epistemik bersama.

Omong kosong bukan hanya upaya untuk menipu audiens tentang sifat pembicara. Ini juga merupakan upaya untuk memanipulasi keyakinan orang lain. Omong kosong mendekati apa yang disebut Plato sebagai “retorika”: ini membuat argumen yang lebih lemah mengalahkan argumen yang lebih kuat. Para pembual mungkin juga memanipulasi orang lain tanpa secara langsung berbohong. Omong kosong lebih seperti ilusi daripada kebohongan.

Lagi pula, kebohongan bisa dijawab dengan bukti, yang memaksa pembohong merevisi atau menarik pernyataan sebelumnya. Omong kosong, mirisnya, menghilangkan fakta-fakta yang tak diinginkan. Jika nanti muncul fakta yang mendukung omong kosongnya, pembual bakal semakin angkuh; jika terdapat bukti yang menghalanginya, seperti Conway ketika membela Spicer dengan istilah “fakta alternatif”, mereka akan mengelak dengan bualan lainnya.

Prinsip kebenaran kehilangan relevansinya. Alhasil, perdebatan politik tak lagi berdasarkan fakta, tapi hanya bertumpu pada ideologi, perasaan, dan nilai-nilai pribadi. Terkadang para pembual membumbui omong kosongnya dengan angka statistik, grafik, dan bentuk-bentuk serupa, yang membuat audiens merasa tak berdaya atau kewalahan untuk memeriksanya, apalagi menyangkalnya.

Ekonom Tim Harford, pada tahun ketika Trump terpilih menjadi presiden AS, memerhatikan sebuah cuitan Trump yang berisi sebuah infografis, di mana 81 persen korban pembunuhan kulit putih dibunuh oleh orang kulit hitam. Sumber dari data ini disebutkan sebagai “Crime Statistics Bureau - San Francisco”. Kenyataannya, Crime Statistics Bureau - San Francisco tak ada dan tak pernah ada.

Tapi, cuitan tersebut terlanjur mendapat sambutan hangat dari barisan pendukungnya, yang nantinya sedikit-banyak berkontribusi pada serangkaian kasus penyerangan terhadap orang kulit berwarna oleh “orang kulit putih yang marah”. Saat Trump ditantang oleh para jurnalis tentang data itu, Trump dengan santai menjawab, “Hei, apakah aku harus memeriksa setiap statistik?”

Tentu saja, kebohongan terkadang muncul dan akibatnya bisa sangat besar. Tuduhan bahwa Saddam Hussein menyimpan dan merahasiakan senjata pemusnah massal telah mengawali tragedi kemanusiaan yang begitu mengerikan. Bagaimanapun, tanpa meremehkan dampak dari kebohongan, omong kosong—selain lebih sering menghiasi politik hari ini—juga dapat berdampak sama buruknya, dan penyangkalan terhadapnya jauh lebih sulit.

Sebagaimana diungkapkan filsuf G. A. Cohen, omong kosong adalah “ketidakjelasan yang tak bisa dijelaskan.” Omong kosong itu not even wrong—salah pun tidak, apalagi benar.

Mengeskpos Omong Kosong melalui Satire

Pada tahun 2014, insinyur perangkat lunak Italia Alberto Brandolini pernah memberi sebuah pernyataan berikut, yang kini dikenal sebagai “Prinsip Brandolini”: “Energi yang dibutuhkan untuk menyangkal omong kosong jumlahnya lebih besar ketimbang yang dibutuhkan untuk memproduksinya.” Dengan kata lain, membual jauh lebih mudah dan lebih murah daripada membersihkannya.

Pembersihan omong kosong amat sulit karena ini biasanya menyentuh ketakutan mendalam kita: keinginan akan penjelasan. Sekarang, melalui media sosial, penyebaran omong kosong telah menjadi semakin masif dan keruh. Bukan hanya sangkalan terhadapnya jarang muncul atau—kalaupun ada—sangat terlambat, tapi terutama upaya memperbaikinya hanya akan menambah bahan bakar ke dalam api.

Omong kosong, mitos, dan kebohongan yang banyak diulang, bahkan untuk menyangkalnya, justru membuatnya tampak lebih bisa dipercaya. Pengecekan fakta kini semakin masif, dan sayangnya ini tak menyelesaikan masalah. Dalam dunia politik yang didominasi oleh omong kosong, “fakta” sering kali diperdebatkan dan dipelintir sedemikian rupa sehingga publik tak lagi bisa membedakan antara fakta dan fiksi.

Apa yang sebaiknya kita lakukan?

Saya pikir salah satu cara yang paling efektif untuk mengekspos omong kosong, meskipun ini jarang mendapat sorotan, adalah humor, lebih khususnya satire. Memang, satire tak banyak membantu untuk menghilangkan produk busuk itu, tapi satire bisa mengidentifikasinya. Kita telah melihat bahwa omong kosong cenderung kebal terhadap argumen rasional. Di sisi lain, dengan mengekspos kepura-puraan penguasa, omong kosong amat rentan terhadap satire.

Pada intinya, satiris menyajikan omong kosong sembari bertanya, “Bagaimana mungkin ada orang yang menganggap serius omong kosong ini?” Satire terkadang berjiwa kejam. Namun, menolak komedi karena tak sopan atau menantang otoritas sama saja dengan menyangkal kekuatannya yang paling penting. Justru, cara-cara itulah yang menjadikannya jalan efektif untuk mengekspos omong kosong.

Satire, tentu saja, tak kebal dari ambiguitas. Bagaimanapun, dalam melawan omong kosong, satire bisa menjadi salah satu kekuatannya. Kalau demokrasi bergantung pada pemahaman yang luas tentang bagaimana dunia ini senyatanya dan seharusnya, maka maraknya omong kosong adalah alarm untuk demokrasi. Satire mungkin tak bisa berbicara banyak mengenai bagaimana dunia ini, tapi cukup efektif untuk mengatakan bahwa dunia ini tak seperti itu.

*Kawan-kawan dapat membaca tulisan-tulisan lain dari Muhammad Andi Firmansyahserta artikel-artikel lain bertema politik.

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//