• Opini
  • Saatnya Masalah Kematian Ibu menjadi Prioritas Politik (Lagi)

Saatnya Masalah Kematian Ibu menjadi Prioritas Politik (Lagi)

Hambatan dalam menurunkan angka kematian ibu saat ini bukan pada keterbatasan pengetahuan medis, melainkan pada kemauan politik dari para pemimpin dan wakil rakyat.

Muhammad Andi Firmansyah

Mahasiswa Ilmu Politik Universitas Padjadjaran (Unpad)

Petugas kesehatan bersiap melayani pasien di ruang triase Instalasi Gawat Darurat (IGD) RSUD Bandung Kiwari di Kota Bandung, Selasa (11/1/2022). Rumah sakit pemerintah ini semula bernama Rumah Sakit Kesehatan Ibu dan Anak (RSKIA) Kota Bandung. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

4 Oktober 2023


BandungBergerak.id – Setiap hari pada tahun 2020, hampir 800 perempuan meninggal selama proses kehamilan atau persalinan, termasuk 6 minggu pasca melahirkan, karena penyebab yang sebenarnya dapat dicegah (WHO, 2023). Ini berarti, pada tahun 2020, kematian ibu terjadi nyaris setiap dua menit. Mirisnya lagi, sekitar 95% di antaranya terjadi di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah.

Ketika ditanya mengapa mereka tidak mengambil opsi terbaik saat menangani kondisi kritis seorang ibu, beberapa dokter mengatakan bahwa mereka kekurangan sumber daya. Para anggota parlemen bilang bukan tugas negara mencampuri keputusan dokter, dan para pejabat politik lebih mengutamakan isu ekonomi daripada kesehatan (seorang) ibu.

Dalam hal ini, hak-hak reproduksi perempuan tidak dihargai secara layak, dan dengan demikian, sebagaimana masalah kesehatan masyarakat lainnya, masalah kematian ibu bersifat politis. Para ibu tidak sekarat karena penyakit yang tidak bisa kita obati. Mereka sekarat karena kita belum mengambil keputusan bahwa nyawa mereka layak untuk diselamatkan.

Jadi, di sini saya berpendapat bahwa hambatan yang kita hadapi sekarang dalam menurunkan angka kematian ibu sudah bukan lagi keterbatasan pengetahuan atau peralatan medis, melainkan kemauan politik dari para pemimpin dan wakil kita. Faktanya, kita sudah tahu bagaimana tepatnya cara mencegah kematian ibu, dan kita bisa saja membeli peralatan dan perlengkapan medis yang diperlukan.

Hanya saja, kita memilih untuk tidak melakukannya.

Menyoal Tingginya Angka Kematian Ibu di Indonesia

Di Indonesia, angka kematian ibu mengalami pasang surut, bahkan datanya kerap simpang-siur dan kurang aktual. Survei Penduduk Antar Sensus tahun 2015 menunjukkan bahwa angka kematian ibu di Indonesia mencapai 305 per 100.000 kelahiran hidup (BPS, 2015), jauh dari target yang ditetapkan Millenium Development Goals (MDGs) 2015 sebesar 102 per 100.000 kelahiran hidup.

Pada tahun 2017, meskipun angka kematian ibu telah mencapai 177 per 100.000 kelahiran hidup, Indonesia masih menjadi salah satu yang terburuk di Asia Tenggara (WHO, 2019). Thailand berhasil menekan angka kematian ibu sampai 20 per 100.000 kelahiran hidup, sedangkan Brunei Darussalam dan Malaysia masing-masing mencapai 23 dan 40 per 100.000 kelahiran hidup. Pada tahun 2021, menurut data Kemenkes, sebanyak 7.389 ibu meninggal karena penyebab yang berkaitan dengan kehamilan dan persalinan (Sarnita Sadya, DataIndonesia.id,4 Oktober 2022).

Pemerintah, setidaknya dalam satu dekade terakhir, sebenarnya telah berusaha untuk menurunkan angka kematian ibu. Dari tahun 2011 sampai 2014, pemerintah menerapkan program Jaminan Persalinan (Jampersal) guna meningkatkan kualitas dan cakupan pelayanan kesehatan bagi ibu hamil (Helmizar, 2014). Namun, kebijakan ini sangat tidak memuaskan dan jauh dari target MDGs 2015. Upaya serupa dilanjutkan lewat kebijakan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), tetapi hasilnya masih mengecewakan kalau dibandingkan dengan negara-negara tetangga.

Jadi, kendati pemerintah telah berusaha untuk meningkatkan layanan kesehatan ibu, hal terbaik yang bisa kita katakan adalah bahwa semua itu masih belum cukup dan hanya menggigit ujung-ujungnya saja. Umpamanya, proporsi persalinan yang diawasi oleh tenaga profesional memang telah meningkat, tetapi mereka masih kesulitan memperoleh peralatan khusus yang berkualitas (Lisa Cameron dkk., 2019).

Hambatan lainnya dalam menyelesaikan masalah kematian ibu adalah maraknya sikap victim blaming (menyalahkan korban). Sikap seperti ini sering kali dijadikan jalan pintas oleh para politisi yang enggan menuntaskan masalah kematian ibu. Mereka menitikberatkan pada perempuan yang merokok atau salah sendiri tidak mencari perawatan medis prenatal.

Alih-alih bersimpati dan mempelajari masalah kematian ibu secara menyeluruh, orang mudah saja menyalahkan perempuan hamil itu sendiri: mereka hamil pada usia yang terlalu tua (disebut kehamilan geriatri), memiliki sakit bawaan (dengan hipertensi, diabetes, atau penyakit kronis lainnya), atau terlampau gemuk (obesitas).

Para ibu, selain dianggap bertanggung jawab penuh atas setiap aspek kesehatan anak mereka, tampaknya juga dianggap bertanggung jawab atas kematian mereka sendiri.

Fokus utama kita seharusnya adalah bagaimana setiap perempuan hamil, baik mereka perokok atau memiliki penyakit bawaan, dapat memperoleh haknya secara penuh dan setara. Dalam pengertian ini, kematian setiap ibu merupakan representasi dari kegagalan kita dalam merawat dan memerhatikan anggota masyarakat yang paling rentan.

Baca Juga: Dua Sisi RUU Kesejahteraan Ibu dan Anak
Potret Psikologis Ibu Bekerja dalam Bingkai Masyarakat Patriarki
Genjring Akrobat, antara Seni dan Kekuatan Super Seorang Ibu

Kematian Ibu adalah Masalah Politik

Pada tingkat individu, kita tidak bisa memprediksi secara pasti perempuan mana yang akan mengalami komplikasi kehamilan ringan atau mengancam jiwa. Namun, karakteristik tertentu seperti usia, status kesehatan, riwayat keluarga, serta jumlah kehamilan sebelumnya dan hasilnya dapat berpengaruh pada hasil buruk (Nurul Aeni, 2013).

Pada tingkat populasi, perempuan yang kurang beruntung secara sosial-ekonomi lebih mungkin mengalami hasil buruk dari kehamilan dan persalinan (Paula Braveman dkk., 2010). Misalnya, pendarahan adalah penyebab langsung kematian ibu yang paling umum di negara-negara berpendapatan rendah, sebuah kondisi yang sebenarnya dapat dicegah dan diobati.

Faktor lain yang sama politisnya adalah sistem kesehatan. Jika tuberkulosis adalah penyakit akibat perumahan yang buruk dan gonore disebabkan oleh “penyakit sosial”, maka kematian ibu adalah contoh klasik dari penyakit akibat pelayanan kesehatan yang buruk (Saifuddin Ahmed &Judith Fullerton, 2019). Jadi, masalah kematian ibu berhubungan erat dengan struktur politik, ekonomi, kesehatan, dan sosial-budaya masyarakat yang melatarbelakanginya.

Bagi kita yang mencoba untuk mengurangi angka kematian ibu dari perspektif medis semata, kita tidak akan mencapai perubahan mendasar tanpa adanya perubahan besar-besaran di ranah politik. Kendati seruan untuk menekankan tindakan politik bukanlah hal baru, seruan tersebut perlu diulangi.

Dalam hal ini, masalah kematian ibu harus menjadi prioritas politik (lagi). Kita harus mendesak para pemimpin dan wakil kita untuk melihat isu kematian ibu sebagai isu yang layak mendapatkan perhatian lebih, kemudian mendukung perhatian ini dengan penyediaan sumber daya keuangan, manusia, dan teknis yang sepadan dengan tingkat keparahannya.

Kita dapat mencontoh negara-negara yang telah menurunkan angka kematian ibu secara signifikan: Sri Lanka, Brazil, Malaysia, Honduras, dan Thailand. Mereka sama-sama mendemonstrasikan bagaimana pemerintah dapat mengurangi angka kematian ibu dengan berkomitmen dan memprioritaskannya secara berkelanjutan (Ndola Prata dkk, 2010).

Di samping itu, jika ada satu hal lainnya yang menyamakan mereka, itu adalah bahwa meningkatnya jumlah perempuan di parlemen telah mempercepat penurunan angka kematian ibu. Ini karena parlemen yang didominasi laki-laki, mengingat preferensi dan keterbatasan informasi, jarang memprioritaskan penurunan angka kematian ibu.

Pemimpin atau wakil perempuan secara alamiah lebih besar peluangnya untuk peduli terhadap masalah kematian ibu karena mereka mengenali risikonya, atau memiliki informasi yang lebih jelas tentang risiko-risiko tersebut (Nava Ashraf dkk., 2021). Jika ini terdengar mengada-ada dan terkesan seperti kebetulan saja, sebenarnya ada banyak studi yang telah membuktikannya.

Studi paling terkemuka perihal ini dilakukan oleh Bhalotra dkk. (2023), yang mana mereka menganalisis angka kematian ibu di negara-negara berkembang sejak tahun 1990. Hasilnya, seiring peningkatan jumlah perempuan di parlemen yang mulanya kurang dari 10% menjadi lebih dari 20%, angka kematian ibu mengalami penurunan yang belum pernah terjadi sebelumnya sebesar 44%.

Mereka kemudian mempelajari apakah tren ini terkait secara kausal. Akhirnya mereka menyimpulkan bahwa peningkatan keterwakilan politik perempuan mungkin tidak secara langsung menurunkan angka kematian ibu, tetapi itu mendorong tindakan intensif untuk menurunkan angka kematian ibu.

Kembali ke Kebijaksanaan Kuno

Dulu, semasa Yunani Kuno, para dokter menghabiskan banyak waktu untuk mencari jalan agar perempuan dapat melahirkan dengan selamat, tetapi, karena aneka keterbatasan, mereka hanya mampu menghasilkan perkiraan-perkiraan (terkadang takhayul).

Bagaimanapun, hal tersebut menggambarkan bahwa menjaga kesehatan perempuan yang akan melahirkan dengan cara apa pun, baik secara magis maupun medis, adalah fokus utama. Yunani Kuno bukanlah utopia feminis, tetapi bahkan dalam masyarakat yang sangat patriarkis sekalipun, para dokter menyadari bahaya mengabaikan perempuan.

Sekarang kita sudah tahu persis langkah-langkah medis seperti apa yang dapat menyelamatkan nyawa seorang ibu melahirkan, tetapi sayangnya kita tidak punya kemauan dan perhatian yang sama besarnya terhadap kesehatan perempuan seperti para dokter kuno.

Situasi ini bisa diubah; kita memerlukan visi, kepemimpinan, dan penetapan prioritas politik (lagi) untuk membuktikan kepedulian kita pada nyawa setiap ibu. Inti masalahnya bukan karena para ibu hamil tidak berpendidikan atau kurang informasi; masalahnya adalah orang-orang yang seharusnya bertanggung jawab memilih untuk tidak mendengarkan mereka.

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//