• Opini
  • Dua Sisi RUU Kesejahteraan Ibu dan Anak

Dua Sisi RUU Kesejahteraan Ibu dan Anak

RUU Kesejahteraan Ibu dan Anak memiliki dua sisi dilema: berdampak positif bagi kaum ibu, di sisi lain dapat merugikan perusahaan.

Theresia Naomi Berliani Simarmata

Mahasiswi Universitas Katolik Parahyangan (Unpar)

RUU Kesejahteraan Ibu dan Anak sedang digodik pemerintah dan DPR RI. RUU ini memiliki dua sisi baik positif maupun negatif bagi kaum ibu dan perusahaan. (Foto Ilustrasi: Theresia Naomi Berliani Simarmata/mahasiswi Universitas Katolik Parahyangan (Unpar))

6 Juli 2022


BandungBergerak.idIndonesia merupakan negara yang mengakui dan menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia dan menjamin terpenuhinya hak tiap warga termasuk dalam hal kesejahteraan. Aspek yang paling penting dalam hal peningkatan kualitas hidup dan kesejahteraan rakyat adalah aspek sumber daya manusia. Sumber daya manusia yang berkualitas tentunya dapat mendorong peningkatan kualitas hidup dan kesejahteraan rakyat.

Kualitas tumbuh kembang anak sangat berpengaruh bagi kualitas bangsa. Anak dengan tumbuh kembang yang baik dapat menjadi sumber daya manusia yang berkualitas di masa depan. Aspek fisik, psikis, spiritual, ekonomi, dan sosial pada orang tua dan anak merupakan aspek penting yang sangat berpengaruh bagi kualitas tumbuh kembang anak. Menurut Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 1.000 (seribu) hari pertama kehidupan anak merupakan waktu yang paling krusial dan perlu diperhatikan dengan optimal. Periode ini dimulai dari awal kehamilan ibu hingga usia anak 2 tahun [Biro Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat, Kementerian Kesehatan RI, (2017, 01, 20)]. 

Kualitas perkembangan anak yang baik tentunya tidak lepas dari peran ibu yang memiliki kewajiban memberikan ASI bagi anak, juga sebagai salah satu figur yang melindungi, mengasuh juga mendidik anak. Namun sayangnya, ibu hamil maupun ibu yang memiliki balita belum sepenuhnya mendapatkan perlakuan khusus, seperti kurangnya kepedulian di masyarakat masyarakat akan label “prioritas” di fasilitas umum, kurangnya fasilitas untuk ibu menyusui di ruang publik.

Peran ayah dalam perkembangan anak tentunya tidak kalah penting dengan peran ibu. Peran aktif ayah dalam pengasuhan anak akan membawa dampak yang positif bagi perkembangan anak dalam aspek emosional, kognitif dan sosial [Daly, K. The Effect of Father Involvement:An Updated Research Summary of the Evidence. 2007. Canada: University of Guelph].

Namun sayangnya, dalam pasal 93 ayat (4) huruf e Undang-Undang No.13 tahun 2013 tentang Ketenagakerjaan menyebutkan bahwa cuti istri melahirkan yang dapat diajukan oleh suami dan tetap diberikan gaji, hanya boleh dua hari saja.

Rancangan Undang-Undang Kesejahteraan Ibu dan Anak yang diusung oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, dalam pasal 4 ayat (2) huruf a menyebutkan bahwa tiap ibu yang bekerja berhak memperoleh cuti melahirkan minimal selama 6 (enam) bulan. Kemudian masih menyangkut cuti bagi ibu yang bekerja, pasal 4 ayat (2) huruf b menyebutkan bahwa tiap ibu yang bekerja berhak memperoleh waktu istirahat selama 1,5 (satu setengah) bulan atau sesuai surat keterangan dokter apabila mengalami keguguran.

Pasal ini tentunya sangat berdampak positif bagi perkembangan anak, karena dengan perpanjangan waktu cuti bagi ibu yang bekerja dapat memperbanyak waktu para ibu untuk bisa lebih memperhatikan anaknya yang baru lahir. Pasal ini berdampak positif bagi ibu, karena memberikan waktu bagi ibu untuk pemulihan pasca melahirkan.

Pasal tersebut juga melindungi hak ibu yang mengajukan cuti melahirkan dan cuti keguguran karena dalam pasal 5 ayat (1) menyebutkan bahwa ibu yang mengajukan cuti melahirkan dan cuti keguguran tidak dapat diberhentikan dari pekerjaannya dan dapat tetap memperoleh haknya. Hak yang akan diterima oleh ibu yang mengajukan cuti melahirkan dilindungi oleh pasal 5 ayat (2) di mana ibu yang mengajukan cuti melahirkan tetap mendapat gaji 100 persen untuk tiga bulan pertama dan untuk tiga bulan berikutnya mendapat gaji 75 persen.

Dalam pasal 6 ayat (2) RUU Kesejahteraan Ibu dan Anak ini juga mengatur bahwa suami dapat mengajukan cuti selama 40 (empat puluh) hari apabila istrinya melahirkan, dan selama 7 (tujuh) hari apabila istrinya keguguran. Dengan adanya perpanjangan masa cuti pendampingan melahirkan dan keguguran yang dapat diajukan oleh suami, tentunya akan berpengaruh positif bagi kondisi psikis ibu, karena bisa mendapatkan suport yang maksimal dari suaminya.

Baca Juga: Kesehatan Mental di Indonesia belum Mendapat Perhatian Layak
Layanan Kesehatan Balita di Kota Bandung Tersendat selama Pagebluk
Momentum Memperbaiki Data Covid-19 Kota Bandung

Kegiatan ibu dan anak di Posyandu di Posyandu Sakura, Kelurahan Samoja, Bandung, Selasa (10/2/2022). RUU Kesejahteraan Ibu dan Anak sedang digodik pemerintah dan DPR RI. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)
Kegiatan ibu dan anak di Posyandu di Posyandu Sakura, Kelurahan Samoja, Bandung, Selasa (10/2/2022). RUU Kesejahteraan Ibu dan Anak sedang digodik pemerintah dan DPR RI. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

Kelemahan RUU Kesejahteraan Ibu dan Anak

RUU Kesejahteraan Ibu dan Anak tentunya memiliki kekurangan yang dapat merugikan perempuan saat melamar pekerjaan. Beberapa pasal yang disebutkan di atas memang memiliki banyak dampak positif bila kita lihat dari sisi ibu dan ayah yang bekerja. Namun apabila dilihat dari sisi pemilik perusahaan, beberapa pasal yang disebutkan diatas memiliki dampak yang merugikan bagi perusahaan.

Pertama, pasal 4 ayat (2) huruf a yang menyebutkan bahwa ibu yang bekerja berhak memperoleh cuti melahirkan minimal selama 6 (enam) bulan. Untuk memberikan cuti selama 6 bulan bagi ibu yang akan melahirkan, perusahaan harus mencari pengganti yang dapat menangani pekerjaan yang dimiliki ibu yang akan melahirkan selama ia cuti karena jika tidak ada yang bisa menangani pekerjaan yang dimiliki ibu yang akan melahirkan, perusahaan bisa mengalami ketidakseimbangan tergantung seberapa penting posisi yang dimiliki oleh ibu yang mengajukan cuti.

Kedua, pasal 5 ayat (2) yang menyatakan bahwa perusahaan juga harus tetap menggaji 100 persen untuk tiga bulan pertama dan untuk tiga bulan berikutnya mendapat gaji 75 persen  ibu yang mengajukan cuti melahirkan. Pasal ini memiliki dampak yang merugikan bagi perusahaan karena harus tetap memberikan gaji selama 6 bulan bagi ibu yang mengajukan cuti melahirkan.

RUU Kesejahteraan Ibu dan Anak  ini juga tidak menjamin bahwa posisi atau jabatannya akan tetap sama seperti sebelumnya. Yang berarti, karena perusahaan telah memiliki orang yang dapat menggantikan dan menangani pekerjaan yang dimiliki ibu yang mengajukan cuti perusahaan, maka perusahaan dapat menurunkan jabatan dari ibu yang mengajukan cuti untuk mengurangi biaya yang dikeluarkan untuk menggaji ibu yang mengajukan cuti tersebut.

Beberapa pasal yang dapat berdampak merugikan bagi perusahaan ini, tentunya akan memberikan dampak yang merugikan pula bagi perempuan yang akan melamar pekerjaan. Ke depannya, perusahaan hanya akan merekrut perempuan yang belum menikah atau tidak memiliki rencana menikah dalam waktu dekat. Atau mungkin hal yang lebih parah adalah, perusahaan hanya akan merekrut laki-laki sebagai karyawan karena regulasi yang mengharuskan perusahaan memberikan cuti selama 6 bulan dengan tetap memberikan gaji pada ibu yang mengajukan cuti merugikan perusahaan.

Maka dari itu, RUU Kesejahteraan Ibu dan Anak  ini perlu dikaji kembali agar tidak ada pihak yang dirugikan karena rancangan undang-undang ini. Jika dilihat dari perspektif ibu, ayah, dan anak, isi dari rancangan undang-undang ini memang memiliki banyak dampak positif, namun jika kita lihat dari sisi perusahaan, isi dari rancangan undang-undang ini memiliki dampak yang merugikan bagi perusahaan. Yang kemudian dapat berdampak merugikan pula bagi perempuan karena perusahaan hanya akan merekrut perempuan yang belum menikah atau tidak memiliki rencana menikah dalam waktu dekat atau perusahaan hanya akan merekrut laki-laki sebagai karyawan.

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//